Talaga Herang
Talaga Herang

Telaga atau talaga yang airnya bening itu konon pernah dijadikan sebagai wudhu. Pangeran Cakrabuana. Karomah dari tokoh pendiri Kota Cirebon itupun dipercaya masih tertinggal di sana.

Menyingkap Fenomena Gaib Di Obyek Wisata Talaga Herang - Karena itu tidak heran bila banyak orang yang menyambangi telaga tersebut dengan tujuan bukan hanya sekedar ingin berwisata, tetapi juga berburu karomah yang ditinggalkan oleh tokoh yang disebut-sebut dengan nama lain Mbah Kuwu Cirebon itu.

Talaga Herang adalah sebuah danau kecil di perbatasan tiga desa yaitu Jerukleueut, Padaherang, dan Desa Lengkongkulon di distrik Sindangwangi, Majalengka, Jawa Barat. Dahulu, dareah ini merupakan kawasan di distrik Rajagaluh. Air di Talaga Herang merupakan air yang mengalir dari sungai bawah tanah dan sumber airnya berasal dari gunung Ciremai yang menjadikan wilayah ini memiliki air yang melimpah serta hawa yang cukup sejuk.

Talaga Herang merupakan daerah di kaki gunung itu. Talaga Herang mengandung arti danau yang airnya jernih. Danau ini cukup dalam dan berbatu terjal namun airnya yang jernih membuat keindahan tersendiri. Ratusan ikan di danau ini bisa terlihat jelas. Uniknya ikan di danau ini tidak boleh diambil dan bagi mereka yang menangkapnya akan dikenai denda yang lumayan besar. Jadi jangan coba-coba menangkap ikan karena petugas objek wisata tersebut akan menangkap Anda.

Para pengunjung kebanyakan berasal dari kelompok anak muda. Mereka duduk di atas batu di tepi danau itu dan memandangi orang lain yang sedang berenang. Para pedagang pun berderet di sana di bawah pepohonan yang rindang. Ketika berada di danau ini kita tidak boleh sombong karena orang yang sombong bisa celaka.

Menurut cerita penduduk di tiga desa ini, sudah ada dua orang yang mati tenggelam di danau ini padahal keduanya adalah jagoan renang. Konon menurut saksi mata, sebelum berenang keduanya menyombongkan dirinya sebagai jagoan renang.

Talaga Herang, biasa di sebut oleh penduduk setempat menamakan obyek wisata ini, hanya beda bahasa saja Talaga dengan Telaga artinya sama saja. Talaga Herang mempunyai air yang bening dengan pepohonan rindang yang berada di sebelahnya yang menghiasi indahnya Telaga Herang. Banyak yang berkunjung ke objek wisata ini mulai dari penduduk Majalengka sendiri sampai Luar kabupaten Majalengka pun sering berkunjung ke objek wisata ini. Telaga herang yang berada di Desa Jeruk Leueut Kecamatan Sindangwangi Kabupaten Majalengka salah satu objek wisata alam yang cukup ramai di kunjungi di saat liburan sekolah.

Telaga herang memang berair jernih sehingga pengunjung dapat melihat ikan-ikan yang ada di telaga dengan jelas. Sebagian besar pengunjung Talaga Herang memilih duduk santai di tepian telaga sembari memberi makan ikan-ikan. Ikan-ikan yang hidup di danau relatif besar karena sengaja dipelihara. Pengunjung juga bsia berenang untuk merasakan sensasi dinginnnya air telaga. Jangan lupa sewa ban atau pelampung demi keamanan Anda. Setiap akhir pekan atau hari libur Talaga Herang ramai dipadati para wisatawan, terutama dari wilayah Majalengka.

Pengunjung pergi ke Talaga Herang biasanya ingin melihat matahari terbenam (sun set) di tepian telaga sembari minum kopi. Jajanan di sini relatif murah dan terjangkau bagi pengunjung yang dana terbatas. Sajian kuliner yang disuguhkan di rumah makan yang ada di telaga bervariasi, namun menu unggulannya adalah ikan bakar.


ASAL USUL NAMA CIREBON

Tidak sulit bagi penulis menemukan lokasi Talaga Herang di Kecamatan Sindangwangi Kabupaten Majalengka ini. Meski moda transportasi umum tidak ada yang mengambil rute ke sana, kita masih bisa memanfaatkan jasa ojek motor dengan ongkos yang relatif murah.

Talaga Herang berjarak sekitar 21 km dari Majalengka, kota/pusat Ibukota Kabupaten Majalengka. Menuju objek wisata ini bisa melalui jalan Rajagaluh - Cirebon kemudian berbelok menuju Desa Sindangwangi, setelah itu berbelok menuju Desa Jerukleueut. Ikuti saja jalan yang beriringan dengan aliran irigasi yang berair jernih hingga bertemu dengan gerbang masuk menuju objek wisata ini. Jalan menuju objek wisata ini cukup baik bahkan sebagian sudah di hotmiks.

Bila telah tiba di tempat itu, silahkan menikmati kesejukan alam sembari bermain dengan ikan-ikan yang genit berseliweran di dalam situ (telaga). Ikan bakar yang menggoda selera juga bisa kita beli dengan harga yang sangat terjangkau di beberapa rumah makan yang berdiri tak jauh dari tepi Talaga Herang.

Penulis emndapatkan semua kenikmatan tersebut saat mobil kijang tua keluaran 1991 berhenti di sebuah rumah makan. Rumah makan yang tampak sederhana itu berdiri tepat di telaga, sehingga penulis bisa menikmati secangkir teh manis panas sambil menatap gemas ikan-ikan yang bermain di bawah air sana.

Pemilik rumah makan, Mayang Yaya (52 tahun), berkenan menemani penulis sambil bercerita banyak perihal sasakala Talaga Herang yang konon tidak bisa lepas dari upaya syiar Islam dan pengembangan wilayah Kesultanan Cirebon di masa silam.

"Wewengkon (daerah) di sekitar sini konon masih masuk ke dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon di masa lalu," ujar Mang Yaya seraya menunjukkan beberapa sudut di sekitar area Talaga Herang yang dipercaya masyarakat setempat pernah disinggahi oleh seorang tokoh kharismatik pendiri kota Cirebon yakni Pangeran Cakrabuana atau lazim dikenal dengan nama Mbah Kuwu Cirebon. Beberapa areal yang kelihatan berbukit-bukit juga disinyalir menjadi tempat beristirahat beliau ketika singgah di tempat itu dulu.

Syahdan, pada kurun berabad silam Talaga Herang masih merupakan hutan lebat dan daerah perbukitan yang masih sepi penduduk. Kalau pun ada penduduk yang tinggal di sana, saat itu, adalah penduduk asli yang jumlahnya bisa dihitung dengan sebelah jari tangan. Jarak yang jauh dari pusat pemerintahan saat itu mungkin yang membuat orang enggan membuat tempat tinggal di daerah tersebut.

Namun rupanya tidak demikian dengan Pangeran Cakrabuana yang menurut beberapa catatan sejarah lama sangat piawai dalam urusan mencari ikan di sungai atau menjaring udang kecil (rebon) di laut sepanjang pesisir utara Jawa. Keahlian beliau mencari rebon itulah yang kelak menjadi cikal bakal nama kota Cirebon yang berasal dari kata "cai" (air) dan "rebon" (udang berukuran kecil).

Beliau berhitung, daerah tersebut yang memiliki sumber air alam melimpah sangat cocok jika dikembangkan menjadi sentra penghasil ikan darat (kolam). Produksi perikanan dari daerah itu, menurut perhitungan beliau, bisa dijadikan semacam aset untuk menyuplai kebutuhan protein masyarakat setempat maupun masyarakat yang tinggal di daerah Cirebon.

Alhasil, beliau pun disebut-sebut sering singgah ke tempat itu dengan tujuan selain untuk membudidayakan ikan juga melakukan syiar Islam di kalangan penduduk sekitar.

"Nah, salah satu tempat yang menjadi persinggahan beliau adalah di sekitar talaga ini," sambung Mang Yaya yang kabarnya semasa muda pernah mendalami beberapa ilmu kanuragan, sehingga tidak heran bila saat itu dirinya disegani oleh banyak orang.

Lazimnya tempat yang pernah disinggahi kaum auliya, Talaga Herang pun dipercaya oleh masyarakat sekitar banyak menyimpan aura atau karomah yang ditinggalkan oleh Pangeran Cakrabuana. Anugerah yang diberikan Allah SWT kepada beliau konon masih membekas di sana dengan bukti-bukti berupa air situ (telaga) yang tidak pernah mengering sekalipun pada musim kemarau panjang, ikan-ikan yang hidup di telaga yang berkembang lebih baik dan lebih pesat, serta tidak ketinggalan cerita-cerita berbau mistik yang hingga kini masih kental beredar di kalangan warga sekitar.

Menurut keterangan Mang Yaya maupun beberapa warga setempat yang sempat diajak berbincang oleh penulis, tidak sedikit pula orang yang memercayai bahwa air di telaga mengandung khasiat luar biasa yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit tertentu, dijadikan sebagai media penyucian diri, bahkan bsia dimanfaatkan untuk melancarkan ritual kebatinan seseorang.

"Karena itulah," kata Mang Yaya, "Tidak sedikit pelaku spiritual datang ke sini hanya untuk mandi membersihkan diri seraya bermunajat kepada Allah SWT agar hajar dan keinginannya terkabul."


KOMUNITAS GAIB

Apa yang diungkapkan oleh Mang Yaya tadi sepertinya jauh dari logika sehat manusia. Namun kenyataan yang ada memang menunjukkan limpahan air di dalam telaga sepertinya mengandung beberapa aura mistis yang bersifat positif. Setidaknya itu bisa dilihat dari hasil kontemplasi Ustadz Mawan Suganda di tempat tersebut. Meski penulis tidak tahu persis apa yang ia lakukan di pinggir situ Talaga Herang, ia menyebutkan bahwa di sana bermukim beberapa makhluk dari alam astral yang uniknya kebanyakan mengaku pengikut setia ajaran Islam. Jika pun ada beberapa makhluk halus dari kelompok lain, mereka membentuk komunitas sendiri yang tidak pernah bersinggungan dengan kelompok lainnya.

Ustad Mawan Suganda dan Mang Yaya
Ustad Mawan Suganda dan Mang Yaya

"Kehidupan para penghuni alam astral memang demikian adanya," ujar Ustadz Mawan Suganda atau akrab dipanggil Ustadz Ade.

Masih berdasarkan penglihatan mata batinnya, ia juga menengarai di salah satu sudut bawah air telaga ada sebuah kerajaan makhluk halus. Uniknya aktivitas penghuni dimensi alam astral di bawah air itu selayak dengan aktifitas bangsa mereka yang tinggal di daratan. Dan salah satu titik kerajaan mereka berada pada sebatang pohon entah jenis pohon apa yang terbenam di dasar situ seluas 300-an meter persegi itu.

Salah Satu Sudut Talaga Herang
Salah Satu Sudut Talaga Herang
 

Hasil penerawangan Ustadz Mawan Suganda memang tidak disangkal oleh Mang Yaya yang sudah bertahun-tahun mukim di sana. Dulu warga sekitar, demikian kata Mang Yaya, masih melakukan ritual yaitu mengangkat sebatang pohon dari dasar situ untuk kemudian "dicuci" dari kotoran berupa lumut atau lumpur. Konon ritual tersebut menjadi agenda rutin setiap menjelang Maulid dan akan disaksikan oleh para pemimpin desa maupun orang-orang yang dianggap sebagai sesepuh kampung.

Namun begitu Mang Yaya hingga sekarang tidak pernah tahu apa sesungguhnya tujuan dari ritual yang dilakukan oleh warga di sana.

"Saya hanya berpikiran positif saja, yakni ritual tersebut bertujuan untuk menghormati tokoh-tokoh di masa lalu yang pernah singgah dan tinggal di sana serta telah berjasa mengembangkan agama Islam," ujar Mang Yaya. Kecuali itu hingga sekarang penduduk setempat masih mempercayai adanya sebuah tempat yang terletak tidak jauh dari situ bernama Pungguk Guha. Konon Pungguk Guha merupakan pintu gaib yang berhubungan dengan beberapa tempat lain seperti Cirebon, Banten, Indramayu, Sumedang, hingga Mekkah.

Berabad-abad silam Pangeran Cakrabuana maupun para auliya yang biasa berkumpul di Talaga Herang bisa menggunakan Pungguk Guha untuk menghantarkan mereka bepergian ke tempat lain. Benar atau tidak cerita yang beredar dari mulut ke mulut itu, jawabannya hanya satu: Wallahu a'lam. Hanya Allah SWT yang tahu.

Demikian pula saat Mang Yaya menyebut nama seorang tokoh yakni Mbah Jasih yang dipercaya warga setempat sebagai "penjaga" tiga kampung atau desa yang ada di sana yaitu Desa Lengkong, Desa Jeruk Leueut, dan Desa Padaherang penulis hanya bisa berucap dalam hati: Hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui Segalanya.

Pada kesempatan itu pula Mang yaya mengatakan kepada penulis bahwa di tengah telaga terdapat sebuah masjid yang megah.

"Orang-orang yang memiliki kemampuan melihat dimensi gaib yang mengatakan itu kepada saya," ujar Mang Yaya. "Mereka bilang ada sebuah masjid megah di tengah telaga."


MENCOBA MENANGKAP IKAN

Pada bagian lain Mang Yaya "menantang" penulis untuk singgah ke rumahnya yang berjarak tidak kurang satu kilometer dari situ Talaga Herang. Di rumahnya itu ia menyilakan penulis untuk menangkap sendiri ikan-ikan mas peliharaannya di kolam.

Ikan-Ikan Cantik Di SItu Talaga Herang
Ikan-Ikan Cantik Di Situ Talaga Herang

"Silahkah ambil sendiri ikan-ikan di kolam dan makan sepuas-puasnya...," ujar Mang Yaya yang wanti-wanti agar penulis tidak lagi menyebut dirinya jawara. Pasalnya ia sudah lama meninggalkan dan menanggalkan semua ilmu kanuragan yang dimilikinya dan kini dirinya merasa lebih enjoy menjadi warga biasa seperti penduduk kampung lainnya.

Tantangan Mang Yaya pun diterima dengan senang hati oleh penulis. Alhasil, setelah menggulung ujung celana penulis langsung terjun ke kolam yang dalamnya hanya sebatas betis orang dewasa. Akan tetapi hingga beberapa lama tidak ada seekor ikan pun yang berhasil penulis tangkap. Ikan-ikan itu begitu gesit menghindar dari jala yang dipakai oleh penulis. Itu merupakan bukti bahwa tidak boleh ada pengunjung yang mencoba menangkap ikan yang ada.

"Aku menyerah, Mang Yaya...!" teriak penulis setelah nihil menangkap ikan dari kolam. Pasalnya bukan ikan yang didapat tetapi baju dan celana jadi basah kuyup. Dari kejauhan Mang Yaya cuma tersenyum kecil, setengah mengejek penulis. Lalu tanpa basa-basi laki-laki berbadan sedikit kurus itu terjun ke dalam kolam tanpa membawa jaring. Dan, hup, hanya butuh waktu sedetik seekor ikan mas berukuran sedang sudah tergenggam di tangannya.

Entah berapa banyak ikan mas yang diambil Mang Yaya dari kolam. Ia pun dengan begitu lincahnya menyiangi ikan-ikan tersebut sebelum akhirnya masuk ke dalam penggorengan. Semerbak harum goreng ikan membuat perut penulis berbunyi kencang. Cacing-cacing penghuni perug sepertinya sudah tidak sabar ingin menikmati ikan mas goreng racikan Mang Yaya.

Mang Yaya Menangkap Ikan Cukup Dengan Tangan
Mang Yaya Menangkap Ikan Cukup Dengan Tangan

Sambil menunggu Mang Yaya bersibuk ria di dapur, penulis tertarik oleh sebuah patung harimau yang dipasang di depan rumah Mang Yaya. Penulis tidak punya kemampuan di bidang metafisika maupun supranatural seolah-olah menangkap ada getar-getar aneh yang bersumber dari patung macan itu. Patung yang sesungguhnya hanya benda mati itu tiba-tiba di mata penulis seperti hidup dan bernyawa.

Patung Macan Yang Konon Bisa Hidup
Patung Macan Yang Konon Bisa Hidup

"Patung di depan sana buatan siapa, Mang Yaya?" tanya penulis seraya menghampiri tuan rumah yang masih sibuk di dapur.

"Bikinan saya sendiri. Memangnya kenapa, Mas?" kata Mang Yaya balik bertanya.

"Hebat ya patungnya bisa hidup...," ujar penulis berlagak seperti orang yang punya kemampuan menembus dimensi alam gaib. Padahal itu cuma omongan mulut yang sekenanya.

Mendengar omongan penulis, Mang Yaya tertawa terbahak-bahak. Sambil memberi isyarak kepada penulis untuk membawa ikan goreng yang telah matang ke ruang makan, ia pun bercerita soal patung yang ada di depan rumahnya.

"Banyak orang yang ngomong begitu, Mas. Penduduk di sini tidak sedikit yang dibuat lari terbirit-birit lantaran melihat patung itu berubah jadi macan sungguhan," ujar Mang Yaya seraya menyebutkan, sesungguhnya fenomena seperti itu merupakan ulah makhluk halus sebangsa jin.

Konon mereka adalah "mantan" anak buahnya dulu semasa masih menggeluti dunia metafisika dan supranatural. Jin-jin itu enggan menyingkir dari tempat tersebut karena mungkin masih menganggap Mang Yaya adalah tuan mereka. Kemunculan macan gaib di depan rumah Mang Yaya seperti itu membuat warga jadi enggan melintas ke sana terutama pada malam hari.

Lain warga beda pula Mang Yaya. Jika orang-orang enggan dan takut lewat depan rumah Mang Yaya terutama pada malam hari, justru Mang Yaya sangat terbantu oleh keberadaan makhluk-makhluk alam astral itu.

Menurut pengakuan dia, keluar malam jam berapa pun dirinya tidak perlu membawa alat penerang. Perjalanan rumit seperti memeriksa ikan-ikan yang ia budidayakan di beberapa kolam lain yang terkadang harus melalui jalan yang gelap gulita, Mang Yaya sedikit pun tidak membutuhkan senter atau alat penerang lainnya. Ia sama sekali tidak merasa takut saat melewati tempat-tempat sepi dan gelap karena merasa mendapat pengawalan dari macan-macan gaib tersebut.

Lebih dari setengah hari penulis berkunjung ke rumah Mang Yaya dan Talaga Herang yang menyajikan bukan hanya kecantikan alam pedesaan, tetapi juga cerita-cerita berbau mistis yang dikait-kaitkan dengan syiar Islam yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana. Berhubung perut sudah terisi penuh dengan goreng ikan mas buatan Mang Yaya, maka penulis pun permisi cabut. Mobil kijang tua kesayangan penulis perlahan meninggalkan Talaga Herang dengan penuh kenangan.



Shanta, Bagaskara. 2014. Majalah Misteri Edisi 589. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.