Mantra Penahan Hujan
Gambar oleh S. Hermann & F. Richter dari Pixabay
Semua menjadi lega, pasalnya, langit yang semula gelap, pekat, kental, perlahan-lahan kembali cerah seperti semula...

Mantra Penahan Hujan - Suasana gembira terus berlangsung di salah satu perguruan tinggi yang ada di tengah-tengah keingaran kota Jakarta. Di sana-sini, terdengar riuh suara-suara yang memberikan semangat kepada para sahabatnya yang tengah berlomba menjaga kehormatan kampusnya masing-masing.

Tetapi sayang, suasana riuh itu hanya berlangsung beberapa jam saja. Betapa tidak, perlahan tetapi pasti, udara yang semula cerah sontak berubah gelap, pekat, kental...

Desahan panjang karena menahan beban yang demikian pepat pun terdengar di sana-sini. Semua tak ada yang menyangka, sekali ini, walau musim kemarau, tetapi, hujan kadang masih juga turun. Di tengah-tengah itu, di sudut gedung sekretariat panitia, tampak, sesosok tubuh lelaki kurus berambut gondrong duduk dengan tenang dan sesekali menghembuskan asap rokoknya ke atas.

Semua teman atau yang mengenalnya, tak ada seorang pun yang mau menggangunya. Semua sadar, jika keadaan sudah seperti itu, maka, walau tidak diminta, Era akan selalu datang untuk menolong para sahabatnya.

Tanpa ada yang menyadari, seiring dengan rokok yang dihisapnya mulai habis, maka, langit pun kembali cerah seperti sediakala. Kembali, keriuhan pun terjadi.

Toa demikian sapaan akrab dari salah seorang senior yang mendatangi Era sambil menyalami dan berkata; "Makasih bro, padahal tadi gua udah ketar-ketir banget."

"Oke.. gua tinggal dulu. Kalo kopinya mau tambah minta aja sama anak-anak," kata Toa sambil berlalu.

Era hanya mengangguk. Dan tak lama kemudian, datang Ate sambil menyalami; "Makin manjur ajah tuh ilmu."

"Sialan lu," jawab Era.

"Yang gua gak nyangka, dari mantra kawi, diterjemahkan, eh kemanjurannya gak ilang juga," kata Ate setengah menggerutu, "kalo boleh, gua juga pengen belajar," imbuhnya.

"Boleh, tapi ingat, kita cuma bisa menahan hujan, bukan mengalihkan. Jadi hati, pikiran dan tindakan kita harus lurus. Serahkan semua kepada-Nya, karena, sebenarnya, manusia nggak punya kekuatan apapun," papar Era.

"Siap Boss," jawab Ate sambil memberikan sebuah buku kepada Era yang langsung menuliskan;

Mantra Penahan Hujan.

Mega belok ke barat,

Asap ke utara,

Hujan ke timur,

Tunduk lalu ke selatan,

Kakek tumenggung tegak di tengah panggung,

Diseret menepi ke utara, timur, selatan, barat,

Laahaula wala quwwata illa billaah.

Dua tahun lalu, Era hanya dikenal sebagai sosok yang ringan tangan. Walau bukan kegiatan organisasi atau fakultasnya, tetapi, walau tanpa diminta ia selalu membantu. Itulah yang membuat kenapa sosok yang bertubuh kecil dan memiliki wajah oriental ini banyak memiliki sahabat.

Sebagai sosok yang dibesarkan dari keluarga yang biasa-biasa saja di Palembang, tetapi, Era benar-benar sosok yang mampu menyatu dengan lingkungan tempat ia berada. Oleh sebab itu, hampir semua orang tahu, Era adalah sosok yang memiliki banyak sahabat baik di kampus atau di luar kampus.

Agaknya sikap inilah yang membuat kenapa ia memiliki kelebihan untuk menahan hujan yang diwariskan dari seorang kakek yang mukim di lereng Gunung Semeru. Kala itu, rombongan kecil yang dipimpin oleh Era tengah mendaki Gunung Semeru, tetapi apa daya, berbagai rencana yang telah disusun di bawah sana, ternyata, terpaksa harus berubah.

Langit mendadak gelap, petir pun berloncatan sambung-menyambung. Di tengah-tengah kegalauan itu, tampaks eorang kakek berjalan sambil membawa seikat kayu bakar. Jalan yang menanjak, tubuh yang renta ditambah dengan beban yang dibawanya cukup berat, sontak Era pun mendekati dan berkata; "Kakek, sini saya bantu."

"Tidak perlu, saya masih kuat," demikian ujar si kakek.

Era hanya tersenyum dan segera mengambil ikatan kayu bakar tersebut. Kini mereka berjalan menuju ke rumah sang kakek. Walau cukup lama mereka berjalan, tetapi, hujan tak juga turun. Era pun mulai bertanya-tanya dalam hati, kenapa sejak tadi sang kakek selalu menghembuskan asap rokoknya ke udara.

Singkat kata, setelah mengantarkan sang kakek sampai ke rumahnya dna mereka juga mendapatkan minuman panas serta dapat beristirahat barang sejenak, ketika akan mohon diri, Dini yang keluar terlebih dahulu langsung berteriak riang; "Alhamdulillah, langitnya cerah..."

Semua langsung berlarian keluar, tak terkecuali Era. Dan tak lama kemudian, mereka pun mohon diri dan melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Semeru.

Agaknya, Era memang berjodoh untuk mewarisi ilmu sang kakek. Belum sampai sebulan ia berada di Jakarta, tiga orang temannya mengajaknya untuk kembali mendaki Gunung Semeru. Dan pada kesempatan ini, Era sengaja hendak bertandang barang sejenak ke rumah sang kakek. Ia sengaja membawa gula, kopi dan beberapa bungkus rokok sebagai buah tangan bagi sang kakek.

Dan benar, setibanya di sana, sang kakek pun menyambutnya degan terama gembira. Era benar-benar dianggap sebagai anaknya sendiri yang sudah puluhan tahun dirindukan. Ya, Kakek Yudo, adalah pasangan yang belum dikaruniai keturunan. Setelah sejenak berbasa-basi, kakek Yudo pun meminta Era dan ketiga temannya untuk menginap barang semalam di rumahnya. Tak ada yang bisa menolak, maklum, kala itu, hujan juga sedang turun dengan lebatnya seolah ditumpahkan dari langit.

Ketika ketiga temannya sudah bermimpi indah, Kakek Yudo pun mendatangi Era sambil mengangsurkan sesuatu dan berkata; "Terima amalan ini, mudah-mudahan bermanfaat."

Era menerima dan langsung membaca tulisan di kertas lusuh itu. Tak terbaca, maklum, semuanya tertulis dengan aksara jawa. Dengan perlahan-lahan dan penuh kesabaran, Kakek Yudo pun menjelaskan larik demi larik mantra yang sejak zaman dahulu digunakan untuk menahan datangnya hujan. Pada saat itulah, Era pun mencatat berbagai kata yang meluncur dari mulut sang kakek.

Setelah mencoret beberapa kali, akhirnya, Era pun berkata; "Kakek, boleh tidak kalau saya baca dalam bahasa Indonesia?"

"Boleh saja, yang perlu kamu uakin. Karena, mantra itu adalah hanya merupakan penguat hati dan pikiran," sahut sang kakek dengan senyum. "Sebenarnya, apapun yang diminta oleh manusia pasti dikabulkan oleh Gusti Allah. Asalkan, memintanya dengan merendah, penuh keyakinan, kalau bisa disertai dengan laku prihatin," imbuhnya.

"Laku prihatin?" Potong Era.

"Ya... bisa dengna puasa. Yang jelas mengurangi segala sesuatu yang selama ini telah menjadi ikatan dalam kehidupanmanusia. Contohnya makan minum, rokok, dan tidur bayangkan, biasa makan tiga kali sehari, harus cuma sekali, sudah itu tidak merokok selama sebulan atau tidur secukupnya. Ada yang menyatakan sebagai penyiksaan diri, itu terserah saja. Padahal, tujuannya, agar yang melakukan bisa merasakan betapa sulitnya menjalani kehidupan ini. Dengan begitu, maka, mereka tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang telah diberikan oleh Sang Maha Hidup."

Malam itu, akhirnya, Era sengaja memutuskan untuk mengurangi tidur agar bisa menggali keterangan yang lebih dalam tentang hak dan kewajiban manusia di dunia ini. Era menyimak seluruh keterangan dari Kakek Yudo dengan mengangguk tanda mengerti dan sesekali menggeleng-gelengkan kepala karena kagum. Betapa tidak, ia benar-benar tak pernah menyangka, Kakek Yudo yang mukim di lereng Gunung Semeru memiliki pandangan yang begitu dalam terhadap hidup dan kehidupan manusia.

Esoknya, ketiganya pun mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Inilah perjalanan yang paling berkesan buat Era.



Prakosa, B. 2014. Majalah Misteri Edisi 589. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.