Serumpuh bambu kuning, yang potongan batangnya bisa untuk jimat kadigdayaan
Serumpuh bambu kuning, yang potongan batangnya bisa untuk jimat kadigdayaan
Di sudut sebelah barat area makam Keblokan, tumbuh sebuah barongan (serumpun bambu) kuning yang potongan dari bambu itu diyakini mampu memberikan tuah kedigjayaan. Untuk itulah barongan itu banyak diburu orang. Setelah mereka menjalani laku ritual khusus dan mendapatkan wirasat atas berkah dari 'penunggu' gaib makam BRAy Koesoemonarso, salah satu guru spiritual dari Pangeran Sambernyawa yang dikubur di sisi kanan rumpun bambu kuning yang tumbuh subur tersebut.

Kedigjayaan Dari Bambu Makam Keblokan - Area makam di tepi Bengawan Solo tepatnya di wilayah Dusun Keblokan, Desa Sendangijo, Kecdamatan Selogiri, Wonogiri, Jawa Tengah ini pada hari-hari tertentu dikunjungi banyak peziarah. Mereka datang khusus untuk memotong bambu kuning yang akan dipakai sebagai jimat agar memiliki keuletan kulit tubuh, kebal bacokan benda tajam dan pukulan benda tumpul, sekaligus mampu memiliki ilmu kanuragan yang lain secara otomatis. Benarkah mitos tersebut erat hubungannya dengan makam yang disemayamkan di sana?

"Keyakinan peziarah yang datang ke sini kebanyakan untuk mencari potongan bambu yang dipercaya memiliki keampuhan, mereka datang silih berganti dalam kurun waktu sudah ratusan tahun lamanya sampai sekarang ini," kata Kasih Ariyanto, juru kunci makam keblokan itu kepada Kami yang menemuinya siang itu.

Dalam keterangannya, Arianto mengungkapkan, di antara makam yang dikubur di sini hanya satu yang dikeramatkan banyak peziarah, yaitu makam Bendoro Raden Ayu (BRAy) Koesoemonarso, jasad salah satu pejuang yang ikut mengusir Belanda dari bumi pertiwi. Juga diketahui, BRAy Koesoemonarso ini tidak lain eyang (nenek) dari Pangeran Sambernyawa (pendiri Pura Mangkunegaran dengan gelar KGPAA Mangkungara I). Bambu kuning yang tumbuh di sudut sebelah kanan area makam itu, semula hanya satu batang saja. Konon dulunya merupakan salah satu satang (pengayuh perahu) yang ditumpangi BRAy Koesoemonarso waktu melakukan perang gerilya di medan laga.

"Perjuangannya itu, selain ingin mengusir penjajah, juga didasari dendam kesumat," lanjutnya.

Makam BRAy Koesomonarso tidak sendirian, di sekitarnya juga dimakamkan puluhan jasad warga setempat, namun banyak peziarah melakukan ritual di makam nenek Pangeran Sambernyawa saja, utamanya para kerabat, abdi dalem dan trah (keturunan) ningrat Mangkunaran. Malah ketika Ibu Tien Soeharto masih hidup juga sering berziarah ke sana. Terutama ketika dia sedang dirundung kekalutan jiwa yang sulit ditemukan solusinya. Bahkan ujar Ariyanto lagi, ketika mendekati akhir hayatnya Ibu Tien juga datang kesana bersama suaminya, HM Soeharto. "Padahal biasanya ibu Tien berziarah ke sini bersama Tommy, putranya. Mungkin Bu Tien sudah merasakan kalau suaminya sudah berada di ujung tanduk dalam pemerintahannya selama 32 tahun itu," terang Ariyanto.

Selama ini Bu Tien memang selalu mendapatkan jalan keluar dari kesulitan atas masalah yang dihadapi setelah melakuakn ritual peziarahan di situ. Karena itulah, ketika suaminya benar-benar sedang menghadapi demo mahasiswa yang menuntut agar lengser dari kursi kepresidenannya, Bu Tien pun mengajak suaminya untuk mendapatkan jalan keluar. Sayangnya Bu Tien dan Pak Harto saat itu lupa tidak mengambil potongan batang bambu kuning keramat itu. Niatnya gagal, mereka menemui jalan buntu, sehingga akhirnya Pak Harto benar-benar lengser.

"Baru kali itu Bu Tien lupa mengambil bambu kuning di sini," jelas Ariyanto sembari menambahkan, meski begitu Soeharto sudah sempat mewarisi sebagai ahli strategi yang dulu juga pernah dimiliki oleh BRAy Koesoemonarso semasa hidupnya.


DENDAM KESUMAT

Dikisahkan dulu ketika BRAy Koesoemonarso masih hidup, selalu mendampingi cucunya, Pangeran Sambernyawa untuk memberikan arahan dan nasehat sebelum melakukan penyerangan terhadap musuh. Memang sejak masih kecil Pangeran Sambernyawa menjadi asuhan BRAy Koesoemonarso. hal itu dilakuakn, karena ibu kandung Pangeran Sambernyawa, Raden Ayu (RAy) WUlan, sudah mendahului wafat saat anaknya ini masih balita. Lebih jauh Ariyanto menjelaskan, BRAy Koesomonarso sebenarnya masih merupakan salah satu garwa ampil (selir) dari Amangkurat Emas, penguasa Kraton Kartasura. Namun BRAy Koesoemonarso terpaksa oncat dari Kraton Kartasura bersama Pangeran Sambernyawa, karena dia sakit hati dan punya dendam kesumat terhadap penjajah Belanda, karena ayahnya, KPH Panambang dibuang VOC ke Srilangka.

KPH Panambang yang menjabat sebagai pengatur keuangan Kraton Kartasura tersebut, memang dibenci oleh Belanda yang bersekutu dengan Amangkurat Emas. Disingkirkannya KPH Panambang itu, karena dia selalu menentang kebijakan pihak musuh dalam menjalankan tugasnya sebagai pegnatur keuangan, sehingga dianggap menylitkan Belanda untuk melakukan tipu muslihat. Aksi licik Belanda itu tentu saja, menambah kebenciannya, maka dia bertekat untuk melakukan perlawanan bersama cucunya dan pengikutnya. Dalam pelarian nenek dan cucu itu juga diikuti Kyai Tumenggung Kudanawarsa dan Raden Ngabei Rangga panambang (Keduanya penasehat spiritual kraton).

"Mereka melakuakn pelarian kearah tenggara dengan naik turun tebing dan jalanan yang terjal," jelasnya.

Pangeran Sambernyawa ini memang pemuda yang tangguh dan pilih tanding atas gemblengan eyang putrinya tersebut sehingga bisa diibaratkan jalma mara jalma mati (setiap musuh yang berhadapan dengannya pasti akan menemui ajalnya). Maka dari itulah Raden Mas Sahid dijuluki sebagai Pangeran Sambernyawa. Hal ini jelas saja menambah kebencian pihak musuh, sehingga rombongan pelarian dari Kraton Kartasura ini selalu diburu musuh dimanapun berada. Namun pengejaran itu selalu sia-sia, karena mereka tidak mampu meringkusnya. Bahkan sekalipun, ratusan pasukan Kompeni Belanda dikerahkan, namun tetap saja tidak mampu menaklukkan.

"Justru sebaliknya, semakin diburu, semakin banyak korban yang harus disandang bagi pihak penjajah," tambahnya.

Memang awalnya pihak Penjajah Belanda seolah-olah mendapatkan angin segar, dengan menggunakan cara liciknya devide et impera (politik adu domba) yang mampu memecah belah hubungan teman, kerabat, maupun sahabat hingga saling bermusuhan, bahkan mampu menaklukkan penguasa kraton. Namun setelah muncul perlawanan penjajah menjadi kalang kabut. Rasa dendam kesumat BRAy Koesoemonarso terhadap penjajah in seolah menurun kepada Pangeran Sambernyawa. Sayangnya perjuangan BRAy Koesoemonarso tidak sampai tuntas karena BRAy Koesoemonarso tewas di medan laga, tetapi jasadnya tidak mungkin dimakamkan di Astana Imogiri (makam raja-raja trah Mataram), sebab dia dianggap orang yang membangkang kepada aturan dari kraton.

Dengan alasan itulah, maka perundingan antara Raden Panambang, Kyai Tumenggung Kudanawarsa dan Pangeran Sambernyawa memutuskan agar jasadnya dilarung saja melalui aliran Bengawan Solo. Sebab jika dikuburkan di suatu tempat dan diketahui pihak musuh, pasti kuburan itu akan dirusak atua diporak-porandakan. Jasad itu lantas ditumpangkan di atas rakit yang jgua diberi satang sebagai pengayuh rakit yang terbuat dari bambu kuning. Tentu saja, ujar Ariyanto melarungnya dengan cara sesideman (sembunyi-sembunyi), agar tidak diketahui pihak musuh.

"Stelah beberapa hari rakit itu menempuh perjalanan jauh di aliran Bengawan Solo, akhirnya terhenti, karena tersangkut akar pohon preh yang besar," katanya.

Selanjutnya oleh warga setempat jasad itu lantas dikubur dirawat di pinggir sungai. Sedangkan bambu kuning bekas santang tadi ditaruh begitu saja di area yang tidak jauh dari kuburan itu. Anehnya bambu itu sampai sekarang masih saja tumbuh hingga menjadi barongan (serumpun bambu) yang berkembang subur. Bahkan serumpun bambu tersebut hingga sekarang dikeramatkan, Potongan bambu kuning tersebut diyakini mampu memberi berkah kadigjayaan bagi orang yang menyimpannya dengan baik. Ibarat otot kawat, tulang besi jika digunakan untuk berkelahi, sehingga tubuhnya tidak mampu tergores benda tajam dan tanpa lebam jika kena pukulan benda tumpul. Lalu bagaimana caranya bisa mendapatkan tuah dari potongan bambu itu?

Menurut Ariyanto, setelah peziarah melakukan sesuci (mandi keramas), melakukan peziarahan, umbul donga (memanjatkan doa) di Makam BRAy Koesoemonarso, dilanjutkan dengna ritual pemotongan batang bambu kuning tersebut. Potongan bambu itu agar selalu diselipkan di antara pakaian yang dikenakan, sehingga tidak jauh dari badannya, asalkan jika untuk buang air kecil atau BAB harus ditaruh di tempat yang aman. Baru setelah selesai buang hajat bisa diselipkan lagi. Nama Dukuh Keblokan itu sendiri, kata Ariyanto, dulunya berasal dari kata keblok yang artinya, batang bambu kuning itu ditaruh begitu saja (sembarangan), tanpa ditanam dan dirawat. Tetapi, nyatanya malah tumbuh subur dan memiliki khasiat yang pilih tanding khsususnya untuk oleh kanuragan.

Kisah Ariyanto di makam BRAy Koesoemonarso sedang melakukan ritual umbul donga
Kisah Ariyanto di makam BRAy Koesoemonarso sedang melakukan ritual umbul donga
Untuk mengasah keampuhan bambu kuning tadi, tentu saja ada ritual khususnya, yakni melakukan ritual persembahan khusus dengan sesaji kemenyan ratus dinyalakan dan kembang setaman ditaburkan untuk mengiringi umbul donga dalam semadi di bawah rumpun pohon bambu tersebut, pada hari-hari tertentu, utamanya Kamis Wage atau Senin Wage dengan waktu malam hari. Dalam semadi itu, biasanya para peziarah akan mendapatkan wangsit atau firasat tentang cara merawat potongan bambu kuning tersebut. Mengenai firasat itu tidak sama untuk masing-masing pesemadi, tetapi yang jelas wangsit itu pasti mengarah akan datangnya musibah yang bakal dialami.

Shingga melalui sarana jima tersebut semua masalah bakal dapat teratasi dengan hasil yang baik. Bagi orang yang terserang penyakit berat (akut) potongan bambu itu bisa dimasukkan dalam air putih dan diminumkan si sakit, niscaya penyakit tersebut akan segera sembuh. Untuk 'penjaga' rumah, potongan bambu ini bisa digunakan dari gangguan kejahatan, baik yang berupa makhluk halus maupun makhluk jahat yang kasat mata.

"Asal Bambu kuning itu ditaruh di tempat yang posisinya di atas, sehingga tidak sampai dilangkahi." tutur Ariyanto, sembari menambahkan, bisa juga potongan bambu kuning itu ditempelkan di dinding atau ditaruh di atas di pintu masuk rumah sebagai hiasan yang berguna untuk tolak balak dari gangguan jin setan maupun perprayangan.

Termasuk tolak santet, teluh, tenung dan sejenisnya. Namun semua itu hanya merupakan sarana saja, sehingga boleh percaya juga boleh tidak. Tergantung dari keyakinan masing-masing orang.

"Tetapi yang jelas, banyak orang yang sering mengambil potongan bambu kuning di sini sebagai jimat. Namun banyak juga orang yang melakukan kenduri di sini sebagai pengungkapan rasa syukur, atas terkabulnya keinginannya setelah melakuakn ritual peziarahan di sini," kata Ariyanto menutup perbincangannya dengan Misteri pekan lalu.

 

 

Honggo, Herryanto. 2014. Majalah Misteri Edisi 589. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.