Helaian Kapas yang sudah menjadi benang yang siap menjadi kain lawon |
Kain Lawon Pengganti Kafan Bagi Trah Bonokeling - Desa Pekuncen yang keberadaannya masuk di wilayah Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, merupakan salah satu desa yang masih kukuh dan patuh dalam memegang adat istiadat dan tradisi. Apalagi di antara mereka merupakan pengikut setia aliran Islam Aboge yang ditularkan oleh leluhur mereka yakni Kyai Bonokeling.
Sedangkan tradisi pembautan Kain Lawon yang masih dipegang teguh warga masyarakat Pekuncen tersebut sangat terlihat jelas dair masing-masing rumah yang selalu ada alat-alat pembuat kain lawon itu, tradisi ini sudah dilakukan turun temurun sejak ratusan tahun silam.
Seperti yang terlihat di rumah salah satu warga desa setempat, yaitu Nidiah (69), yang tinggal di RT 05 / RW 01. Tampak rumahnya dipenuhi wanita-wanita tua yang masih sangat terampil dan cekatan dalam mengantih kapas menjadi benang. Selanjutnya benang itupun dirajutnya hingga menjadi lembaran kain lawon yang siap dipasarkan ke desa-desa tetangga, dan juga kepada para kerabat Kyai Bonokeling yang tinggal di wilayah-wilayah lain seperti Kabupaten Cilacap, Jakarta dan kota-kota lain yang ada warga masyarakat perantauan dair desa Pekuncen.
"Ya beginilah Mas, kesibukan kam sehari-hari sebagai warga Desa pekuncen dalam membuat Kain Lawon sebagai pengganti kain kafan atau mori. Pembelinya tidak selalu warga desa sini tapi dari desa-desa lainnya juga banyak yang minta dianterin. Biasanya mereka masih kerabat Kyai Bonokeling yang tinggal di luar desa hingga keluar Kabupaten Banyumas," ucap nenek puluhan cucu yang lebih suka disapa Mbok Nidah.
Mbok Nidah Cukup Terampil dan Cekatan Meski Usia Tidak Lagi Muda |
Seperti yang dilakukan Tarsem, wanita tua berusia 71 tahun, warga Desa Gunung Wetan I Kecamatan Jatilawang, yang ternyata sudah lebih dari 50 tahun mengabdikan dirinya sebagai tenaga pemasaran kain lawon produksi warga Desa Pekuncen.
"Harga per lembar Kain Lawon berukuran 2,5 x 1,25 meter ini saya jual seharga Rp 200 ribu. Ya seukuran jenazah pada umumnya, tapi kan tidak cukup satu lembar Kain Lawon saja untuk membungkus jenazah, tapi minimal 7 lembar bagi wanita yang meninggal dan bagi prianya mencapai 9 lembar," jelas Nini Tarsem, sembari memperlihatkan lembaran kain lawon yang sudah siap dipasarkan.
Dia mengaku memasarkan sendiri Kain Lawon ini keliling desa hingga keluar wilayah Banyumas karena banyak warga pengikut kepercayaan Islam Aboge keturunan dari Kyai Bonokeling yang tinggal di luar daerah. Sementara kalau cukup jauh biasanya mereka SMS atau telepon untuk minta dikirimkan beberapa lembar kain untuk persediaan.
Memang warga tidak beli sekaligus 7 atau 9 lembar kain, imbuhnya, tapi secara bertahap dengan cara membelinya selembar demi selembar melihat kondisi keuangan mereka dari setiap tahunnya. "Ada juga yang setiap bulan membeli per lembar, namun ada juga yang mungkin satu tahun baru memiliki 1 atau dua lembar," jelas wanita tua itu sembari membenahi kinang yang ada di mulutnya.
Dari harga Rp 200 ribu, Nini Tarsem secara jujur mengungkapkan, hanya mengambil keuntungan Rp 25 ribu rupiah saja. karena bahan baku kapas yang cukup mahal perkilogramnya yang bisa mencapai Rp 25 hingga Rp 30 ribu. Sedangkan untuk mendapatkan kapasnya sendiri sekarang ini cukup sulit, mereka harus antri kiriman dari wilayah Kabupaten Cilacap yang biasa droping kapas ke Desa Pekuncen.
"Kami sudah langganan beli kapasnya dari wilayah Cilacap. Terkadang kalau cukup lama mereka tidak bisa mengirimkan kapas, maka terpaksa kami membeli 'lawe' yaitu kapas yang sudah menjadi benang. Tapi benang tersebut diperkeras kembali dengan memakai kanji atau aci, sementara kami biasanya pakai kapas yang di perkeras dengan memakai nasi basi. Ini adat tradisi kami yang sebenarnya," timpal Mbok Dawen (72), sembari mengurai kapas untuk dipersiapkan diantih.
Suasana kekeluargaan yang terjalin di antara mereka terlihat dair cara mereka bahu membahu dalam berkarya membuat Kain Lawon. Namun menurut penuturan Mbok Nidah, semua warga di Desa Pekuncen itu bisa membuat Kain Lawon yang diawali dari bahan baku yang masih berupa kapas hingga menjadi lembaran kain. Proses pembuatan selembar kain lawon yang dikerjakan secara tradisional dan manual dan menghasilkan ukuran standar 2,5 meter x 1,25 meter, memakan waktu pembuatan hingga satu bulan lamanya.
"Yang bikin waktu pembuatannya adalah memilah-milah kapas dair biji hingga diurai, yang kemudian diantih menjadi benang. Itu bisa memakan waktu satu hingga dua minggu. Untuk satu produksi kain berukuran standar tersebut membutuhkan empat kilogram kapas jenis Sanggris, kapas yang biasa kami pakai," papar Mbok Nidah, sembari mempertontonkan cara memilah kapas dari bijinya.
Sementara itu menurut Karsidem (35) mencoba merinci cara proses pembuatan Kain Lawon. Proses pembuatan kapas untuk menjadi helaian benang, diawali dengan memijat-mijat kapas serta memilin untuk dipersiapkan menjadi benang. Setelah kapas siap diantih, lalu Karsidem sebagai generasi penerus pembuat Kain Lawon tersebut juga mempraktekkan cara mengantih kapas menjadi gulungan benang. Cukup cekatan tangan ibu muda ini dalam mengantih.
Tangan kanan memutar roda pengantih sementara tangan kirinya menari-nari mengurai kapas yang sudah terlilit di sebatang kayu hingga menjadi gulungan benang. bahkan ketika menyambung sehelai kapas dengan kapas berikutnya, terlihat sangat cepat dan terampil.
Selesai kapas tersebut diantih menjadi gulungan benang, selanjutnya dilikas atau digulung menjadi lingkaran besar dengan memakai alat sederhana pula yaitu berjejernya tiang bambu sebanyak tujuh batang. Usai dilikas kemudian benang dari kapas sanggris direbus di dalam kuwali besar dengan diberi air secukupnya. Dan terus dicampur dengan nasi basi lalu diaduk-aduk agar benang nantinya mengeras setelah setelah dijemur. Menurut istilah warga Desa Pekuncen adalah 'di-sekul'.
"Sesuai aturan adat di sini untuk proses pengerasan benang memang harus pakai nasi basi, tidak boleh pakai kanji atau aci. Hal ini sudah menjadi tradisi dari jaman nenek moyang kami. Tapi kalau sedang kesultian mencari kapas maka terpaksa kami membeli benang yang sudah jadi yang disebut Lawe, yang perebusannya memakai kanji. Hal ini dibolehkan karena sudah dari pabriknya direbus pakai kanji bukan kami yang merebusnya," jelas Karsidem yang sudah mempunyai 3 momongan.
Langkah selanjutnya, setelah benang di Sekul kemudian di Pani atau dibersihkan terlebih dulu dari sisa-sisa nasi yang masih menempel. Pembersihan dilakukan dengan memakai sikat. Langkah berikutnya dijemur hingga kering. Setelah kering maka mereka pun siap menenun benang menjadi Kain Lawon.
Dengan mempergunakan alat tenun tradisional berukuran sekitar panjang dua meter itu Mbok nidah dan rekan-rekan seprofesi di Desa Pekuncen menjalankan roda kehidupannya sebagai pembuat Kain Lawon. Dengan penuh kesabaran, satu persatu benang dikaitkannya ke dalam alat tenun. Tak kurang dari 10 menit, tangan-tangan terampil yang sudah tak lagi muda dan perkasa itu memasukkan benang kapas terus mengangkat serta mengayaknya dengan kedua tangan hingga membentuk lembaran Kain Lawon.
PANTANGANNYA
Secara terpisah, tetua adat Desa Pekuncen, Ki Wiryatpadha (84), mengakui kalau di desanya hingga sekarang ini masih ada sekitar 17 kelompok usaha yang masih aktif memproduksi Kain Lawon. "Hal ini dikarenakan untuk kebutuhan kain lawon itu sendiri masih cukup tinggi. Sementara para pengikut trah Kyai Bonokeling memiliki prinsip yang sangat kuat terhadap tradisi yang hingga sekarang ini masih terus kami jalani. Termasuk pemakaian Kain Lawon bagi warga pengikut Kyai Bonokeling yang meninggal dunia," jelas Ki Wiryatpadha.
Kyai Wiryatpadha |
"Kalau bicara apa alasannya, maaf kami tidak bisa mengatakannya. Karena hal ini sesuai petunjuk dari Kyai Bonokeling agar tidak disebarluaskan tentang alasan tradisi Kain Lawon dijadikan syarat mutlak bagi warga keturunannya yang meninggal dunia," tegas pria yang masih sangat kuat mengikuti beragam tradisi peninggalan Kyai Bonokeling.
Untuk pemakaian kain lawon ini pun, sambungnya, ada aturannya. Bagi kaum wanita yang meninggal harus dibungkus kain lawon hingga 7 lembar, sedangkan untuk kaum lelaki sebanyak 9 lembar. Ini sudah menjadi aturan adat kepecayaan Islam Aboge Kyai Bonokeling. Oleh karenanya, kain lawon yang akan dipakai bagi warga yang meninggal, sudah dipersiapkan oleh pihak keluarganya sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Apalagi jika mengukur harga Kain Lawon yang cukup mahal bila dibandingkan dengan kain mori atau kafan di toko.
Sementara itu, dalam proses pembuatan kain lawon pun ada pantangan yang harus mereka ingat-ingat agar tidak dilanggarnya. Seperti adanya larangan bagi warga untuk membuat Kain Lawon di saat ada warga lain di desa Pekuncen yang meninggal dunia. Bahkan tidak hanya itu, setiap hari Selasa Kliwon dan Jum'at Kliwon serta Senin Pahing, semua kegiatan pembuatan Kain Lawon harus dihentikan.
"Ini merupakan pantangan yang harus dipatuhi. Selama ini kami bersyukur tidak ada warga yang melanggar aturan adat tentang adanya waktu-waktu yang tidak diperbolehkan untuk produksi Kain Lawon. Sangsinya ya pasti ada, hanya saja tidak pernah terjadi pelanggaran tersebut," pungkas Ki Wiryatpadha.
D, Ali. 2014. Majalah Misteri Edisi 589. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.