Petirtaan Jolotundo
Petirtaan Jolotundo
Membicarakan Pulau Dewata atau Pulau Bali tentu tak pernah bisa lepoas dari membicarakan seni budaya dan tradisi di dalamnya. Tidak pula bisa untuk tidak membicarakan seni budaya dan tradisi di dalamnya. Tidak pula bisa untuk tidak membicarakan aneka ritual dan kepercayaan terhadap kegaiban yang dianut masyarakat. Ya, Bali adalah pulau yang unik di mana seni, adat, tradisi, ritual dan kegaiban dijaga dan dilestarikan secara bersama-sama.

Jolotundo - Pusat Kegaiban Bali Di Tanah Jawa - Meski demikian, tak banyak yang tahu bahwa aneka tradisi dan kepercayaan yang ada di Bali memiliki hubungan erat dengan Pulau Jawa. Tak banyak yang tahu pula bahwa di Tanah Jawa terdapat pusat kegaiban Pulau Bali. Dari tempat inilah, energi spiritual dibangkitkan dan dikumpulkan untuk menyelematkan Pulau Bali yang saat itu tengah terpuruk di kaki penjajahan.

Sejarah mencatat, Pulau Bali pernah mengalami masa kehancuran dan kegelapan akibat serangan dari penjajahan Sriwijaya. Bahkan sang Maharaja yang memerintah pun terpaksa harus terusir dari tahtanya. Rakyat Bali yang terkenal santun, religius dan berbudaya pun harus hidup di bawah cengkeraman penjajah. Kekayaan alamnya dirampas sehingga rakyatnya menjadi sengsara dan menderita.

Sayangnya, tak banyak yang tahu tempat yang menjadi pusat spiritual tersebut. Tempat dimana Maharaja Udayana mesu diri dan mesu budi setelah kehilangan tahtanya atas kerajaan Bali akibat diserang oleh Kerajaan Sriwijaya yang tengah berusaha memperluas daerah jajahannya. Dalam kegalauan dan keterpurukan itulah Udayana mendapat petunjuk dari para dewa agar melarikan diri ke Pulau Jawa dan mendirikan sebuah pusat spiritual terpenting untuk kejayaan Bali.

Kisah sejarah itu terjadi pada tahun 899 Saka atau 977 Masehi. Saat itu, Bali sudah dikenal sebagai pulau yang indah dan gemah ripah loh jinawi di bawah kepemimpinan dinasti Warmmadewa yang memerintah sejak 835 Saka atau 913 Masehi. Raja yang berturut-turut memerintah adalah Sri Kesariwarmmadewa, Sri Tabenendrawarmmadewa, Indra Jayasingha Warmmadewa, Janasadhu Warmmadewa dan Maharaja Dharma Udayana Warmmadewa.

Sayangnya, ketika Udayana memerintah terjadi keruwetan politik yang luar biasa. Sriwijaya, sebuah kerajaan besar dari Pulau Sumatera tengah menerapkan politik ekspansif untuk menyerang dan menguasai daerah-daerah lain. Sebagai kerajaan yang strategis dan makmur, Bali turut menjadi incaran. Melalui beberapa kali peperangan, Bali akhirnya jatuh ke tangan Sriwijaya.

Sang Maharaja Bali, Udayana sesungguhnya igin melakukan peralwanan sampai titik darah penghabisan dalam perang puputan menghadapi serangna Sriwijaya. Tetapi ia sadar bahwa itu bukan jalan terbaik karena jika ia kalah maka Bali selamanya akan ada di tangan penjajah.

Dalam goncangan batin yang luar biasa itu, Udayana mencoba mengasingkan diri di Pura Suci Tirta Hampul yang dibangun leluhurnya, Tabenendra Warmmadewa.

Di tempat suci ini, Udayana mendapat petunjuk agar melarikan diri untuk membangun pusat kekuatan spiritual untuk dapat kembali merebut Bali dan menyelamatkan seluruuh rakyatnya. Seperti wangsit yang ia terima, Udayana lari menyeberangi segara rupek atau laut sempit yang memisahkan pulau Jawa dan Bali. Selanjutnya ia berjalan tak tentu arah menuruti kata hatinya sesuai wangsit yang ia terima.

Perjalanan itu akhirnya sampailah pada sebuah gunung kecil, tetapi memiliki bentuk istimewa dan telah dikeramatkan masyarakat Jawa sejak ribuan tahun sebelumnya. Adalah gunung Penanggungan yang menjadi akhir dari pelarian sang Maharaja Bali yang terusir itu. Gunung ini memang dikeramatkan dan disucikan karena dianggap potongan gunung Himalaya dari India.

Di tempat inilah Udayana membangun pusat spiritual, sebuah pertapaan lengkap dengan kolam penyucian diri. Di sinilah selama bertahun-tahun Udayana menempa diri dalam tapabrata, mesu diri, mesu budi dan tirakat untuk mengembalikan kekuatan batinnya agar bisa kembali merebut Bali dan memerdekakan rakyatnya dari penjajahan Sriwijaya.

Tapabrata Udayana pun didengar para dewa, segala keinginannya dikabulkan. Udayana tidak saja mendapat kesaktian tetapi maharaja Tanah Jawa yang bertahta saat itu, Mpu SIndhok, berkenan mengambilnya menantu. Dengan kesaktian dan dukungan politik itu Udayana berhasil merebut kembali tahtanya atas kerajaan Bali. Ia memerintah bersama istrinya, putri kesayangan Mpu Sindhok, Mahendratta, hingga meninggal pada tahun 933 Saka.

Besarnya energi spiritual di tempat itu juga membuat Airlangga, raja Kahuripan yang merupakan cucu Udayana memilihnya untuk bertapabrata ketika kerajaannya juga dihancurkan oleh Sriwijaya. Tentu bukan hanya karena leluhurnya pernah bertapa di tempat ini, energi spiritual yang besarlah yang pasti menjadi alasan Airlangga untuk memilihnya sebagai pusat spiritual. Nyatanya, Airlangga juga berhasil mampu merebut tahtanya yang dikuasai Worawari, Raja bawahan Sriwijaya.

Ketika kerajaan Majapahit berdiri, keistimewaan tempat ini tetap tak berubah. Menjadi jujugan para raja, pangeran dan bangsawan untuk menempa diri guna memperoleh kemampuan spiritual yang diinginkan. Bahkan, Majapahit pernah mendirikan istana di lereng gunung yang sama, tak jauh dari Jolotundo. Catatan para peneliti sejarah baik dari luar negeri maupun para sejarahwsan Indonesia memperkuat pandangan tersebut.

Adalah Candi Jolotundo yang menjadi pusat spiritual Udayana, Airlangga dan raja-raja Majapahit tersebut. Sebuah bangunan percandian yang ada di lereng gunung Penanggungan. Sesungguhnya, Jolotundo bukanlah candi tetapi merupakan pentirtaan, Masalahnya, masyarakat Jawa telah salah kaprah dengan menyebut apapun bentuk bangunan kuno yang terbuat dari batu sebagai candi, tak terkecuali Jolotundo.

Salah satu sudut Petirtaan Jolotundo
Salah Satu Sudut Petirtaan Jolotundo
Candi yang terletak di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto ini berbentuk pemandian atau pentirtaan dengan bagian utama berbentuk pancuran air yang berasal dari mata air pegunungan tersebut. Dua ruangan di kanan kiri bangunan utama berfungsi sebagai kamar mandi bagi para raja dan bangsawan. Air dari kamar mandi dan pancuran tersebut akhirnya bermuara pada kolam besar yang mengelilingi bangunan utama dan bilik-bilik candi.

Sampai saat ini, Jolotundo masih menjadi tempat favorit bagi para pemburu kesaktian. Itu terlihat dari banyaknya bunga-bungaan, dupa dan aneka sesaji yang terserak di sekitar candi. Setiap saat juga terlihat orang-orang yang bermeditasi di beberapa bagian candi. Menandakan bahwa Jolotundo masih menjadi pusat spiritual dengan energi yang masih sangat diperhitungkan.

Air Mancur Petirtaan Jolotundo
Air Mancur Petirtaan Jolotundo
Sayangnya, tak banyak masyarakat Hindu Bali yang mengunjungi tempat ini. Hanya orang-orang yang paham sejarah dan mengetahui pancaran aura mistiknya saja yang sengaja mengarungi perjalanan jauh menerobos jalanan berkelok pegunungan berjarak puluhan kilometer dari kota Mojokerto, Jawa Timur, menuju tempat keramat ini. Pusat spiritual para raja-raja Jawa dan Bali.

Adapun bagi para pembaca yang berminat mengunjungi pemandian bersejarah ini, di sini penulis hendak sampaikan sedikit informasi seputar transportasi menuju lokasi. Apabila posisi Anda di Surabaya, naiklah bis menuju Mojokerto. Setelah tiba di stasiun bis, berganti mobil menuju Ngoro Tekuk. Lalu dari perempatan di lokasi tersebut, naik ojek menuju pemandian Jolotundo yang berjarak 10 kilometer.



Dwi Hersudi, Anna. 2014. Majalah Misteri Edisi 589. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.