Bukit di Pesisir Pantai Utara
Bukit di Pesisir Pantai Utara

Banyak petilasan-petilasan para leluhur agung yang tersebar di pesisiran pantai utara Pulau Jawa, yang ramai di kunjungi ribuan peziarah dari berbagai belahan bumi Nusantara. Salah satunya adalah Gua Aswotomo yang terletak tak jauh dari bibir Pantai Ujung Negoro, Kabupaten Batang.

Gua Aswotomo - Tempat Pengislaman Ratu Pantai Utara - Meski posisi gua kini semakin ambles ke dasar bumi dan tertutup juga oleh pasir-pasir tinggal menyisakan atap mulut gua yang tak begitu lebar.

Koridor Pantai Ujung Negoro
Koridor Pantai Ujung Negoro
Untuk mencapai lokasi yang telah di lindungi oleh pagar tembok bercat warna kuning, bisa melewati jalan bawah tepat obyek wisata pantai Ujung Negoro atau jalan atas bukit jalan samping makam Syekh Maulana Maghribi.

Lereng bukit yang tak berapa lama ini lognsor membuat petilasan tokoh besar anggota walisongo tersebut terlihat semakin memprihatinkan, juga berefek kuat terhadap kondisi Gua Aswotomo kemungkinan lebih parah. Pondasi-pondasi penahan yang terbuat dari rangkaian cakar besi dari bahan pilihan seakan tak mampu menahan gerak tanah tersebut. Perlindungan terhadap salah satu cagar budaya tetap diusahakan dan mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah.

Gua Aswotomo sendiri bagi masyarakat sekitar memang masih di yakini menyimpan energi mistis, di aman tiap malam jumat kliwon dan selasa kliwon masih tampak aneka sesaji lengkap diletakkan di sekitar mulut gua, juga tak lepas dari pengamatan ada juga yang masih menjalani laku nenepi baik peziarah lokal maupun dari luar daerah Batang.

Konon, di dalamula di jaman kewalian menjadi saksi bisu Syekh Maulana Maghribi bersahabat dengan Ratu Pantai Utara (Dewi Lanjar). Dari segi usia golongan makhluk halus memiliki rentang panjang dari pada manusia. Dewi Lanjar lebih awal tercipta dan menghuni bumi sebelum adanya manusia belum menyandang keyakinan. Meski beda dimensi pada intinya sama mereka juga mengenal ketuhanan.

Dewi Lanjar sebagai penguasa tunggal Pantai Utara merupakan adik angkat dari Kanjeng Dewi Sekar Jagad, Ratu bangsa lelembut yang bertahta di Pantai Selatan. Awal pertemuan beda alam antara ratu lelembut dengan sesepuh penyiar agama Islam tersebut bermula dari pengembaraan panjang Syekh Maulana Maghribi dari Kasultanan Demak, yang mengemban tugas mencari para trah-trah ningrat dari negeri wilwatikta yang tercerai berai oleh kecmuk peperangan untuk dibina merasuk ajaran baru dan bersedia mengakui kedaulatan Demak Bintoro.

Syekh Maulana Maghribi diiringi oleh empat santri pilihan mengambil jalan masuk wilayah pantai utara, menembus Alas Roban yang ditengarainya sebagai tempat persembunyian aman para pelarian. Dari sepanjang jalan banyak putra-putra Majapahit di islamkan dan keluar dari tempat persembunyian.

Singkat cerita sampailah beliau di sebuah Bukit di atas permukaan laut bernaung di bawah pohon besar, tinggal berminggu-minggu juga mengajar para santri yang tak sedikit mengikuti tiap langkah kakinya. Tempat berpijaknya itu adalah rimba perawan yang belum pernah di jamah anak manusia, karena di jaga oleh lelembut yang selalu siaga dan siap membinasakan barangsiapa saja berani menginjakkan kaki di wilayah angker tersebut.

Syekh Maulana Maghribi memang sengaja dan mengetahui bahwa disitu di huni kumpulan jin-jin jahat. Niat kuat untuk menyadarkan kelak suatu saat tidak mengganggu anak cucunya yang suatu waktu nanti menghuni tempat tersebut, begitulah penilaiannya sebagai orang waskita yang sedikit banyak bisa membaca ke masa depan.

Jin-jin penguasa setempat tak lain adalah para prajurit penjaga kantung-kantung wilayah kerajaan kajiman Dewi Lanjar. Perseteruan gaib tentunya tak bisa terelakkan. Para lelembut dengan tak ksatria beramai-ramai mengeroyok Syekh Maulana Maghribi yang telah berusia lanjut. Ilmu kebathinan Beliau tak di pandang mata oleh lakcar jin, sebagai waliyullah dan sesepuh walisongo peletak pondasi keislaman di Kasultanan Demak yang dengan kebijaksanaannya mengambil kedaulatan atas wilayah Jawa dari negeri leluhurnya Raden Patah, tingkat ilmu kebathinan jauh di atas serta tak sulit mengalahkan lawan tanpa banyak tenaga besar.

Pasukan jin porak-poranda dan tak kuasa mengalahkan lawan bersama-sama tiupan angin puting beliung, kilatan petir di angkasa membahana, awan mendadak kelam menurunkan hujan, mereka melarikan diri dan menghadap ratu pantai Utara.

Sontak murkalah beliau mendengar anak buahnya di hancur luluhkan. Dari singgasananya, di tengah samudera dalam sekejap mata Dewi Lanjar sampai dihadapan Syekh Maulana Maghribi, yang waktu itu masih duduk bersila dan melantunkan ayat-ayat kitab suci bernadakan khas serta liukan suara menyentuh nurani bagi tiap pendengarnya.

Bukannya mendaprat atau menantang perang tanding, akan tetapi Dewi Lanjar dari balik batang pohon besar tersentuh nurani mendengar lantunan dari seorang kakek berpakaian serba putih. Mereka berucap salam serta saling memperkenalkan diri, keinginan kuat Kanjeng Ratu Dewi Lanjar untuk memakai baju baru sangat kuat, serta mengutarakannya agar dibimbing membaca syahadat sebagai pertanda sahnya masuk Islam.

Konon, di ketenangan Gua Aswotomo tersebut Syekh Maulana Maghribi menuntun Dewi Lanjar berucap kalimat suci syahadat. Mereka juga sepakat menjadi saudara angkat beda dimensi, setelah itu Den ayune Dewi Lanjar di berikan sebuah nama baru dengan sebutan Hajah Fatimmah. Beliau juga sering menampakkan diri dan bergabung dengan ratusan peziarah memakai busana muslimin bercorak warna putih serta beraroma bunga melati alami, di sekitaran petilasan Syekh Maulana Maghribi yang berada tepat di atas Gua Aswotomo.

Petilasan Syekh Maulana Maghribi
Petilasan Syekh Maulana Maghribi
Kemungkinan Hajah Fatimah datang mengenang pertemuan dengan sang kakak sebagai agenda tahunan mengenang sang kakak angkat yang telah memberikan nama baru dan menuntunnya merasuk ajaran mulia. Sosok ratu kajiman yang bijaksana memiliki toleransi di alamnya dan tak memaksakan satu agama, namun beragam keyakinan sama halnya berbhineka tunggal ika.

Maka tak aneh juga bila banyak cerita-cerita seputar pelaku nenenpi di Gua Asnowoto ini mengaku bertemu Dewi Lanjar serta mendapatkan wejangan, restu atas hajat yang di panjatkan kepada Sang Pencipta alam.

Umumnya, menyamar sebagai wanita biasa, seperti gadis desa nelayan, pengemis tua, atau bahkan terkadang menjelma orang gila yang bsia membuat takut atau jijik orang sekitar. Maka jangan sembrono bila berada di areal wisata pantai ujung negoro, petilasan Syekh Maghribi, Gua Aswotomo, bertindak kurang santun atau seenak sendiri, bisa kualat kalau yang kita hadapi adalah Hajah Fatimah.

Gua Aswatama Di Pantai Ujung Negoro
Gua Aswatama Di Pantai Ujung Negoro

Konon, menemui manusia berkondisi yang tak wajar serta kita tetap menghormatinya, tulus memberikan sedekah bila memang pantas untuk menerimanya, maka akan mendapat keberuntungan yang lebih, apalagi kalau makhluk tersebut jelmaan langsung dari Dewi Lanjar yang sedang mengetes kadar keimanan kita. Dari beberapa masyarakat yang pernah nenepi dan terbuka indera keenamnya waktu itu di dalam Gua Aswotomo dihuni gaib siluman landak.

Siluman landak berduri emas, besarnya memang wajarny hewan landak kadang orang terkecoh dan berniat menangkapnya untuk koleksi binatang langka berharga jual tinggi. Binatang misterius ini menjadi pembuka atas kedatangan penguasa pantai utara bila berkunjung ke sekitar. Karena Landak berduri emas tersebut merupakan klangenan dari Hajah Fatimah.

 

PEDANG SAKTI

Masih seputar Gua Aswotomo, selain sebagai sasana pertemuan Syekh Maulana Maghribi-Dewi Lanjar, juga diyakini menjadi tempat tersimpannya pusaka sakti berupa pedang yang mempunyai sebutan Kyai Soklidang. Senjata ampuh turun temurun tersebut telah menewaskan banyak manusia di tiap medan pertempuran. Konon, bila dalam medan laga pedang itu tercabut dari sarungnya pasti memakan ratusan tumbal. Sebagai pemilik awalnya adalah Raja Dubriksorojo, yang tewas juga oleh pedang Soklidang miliknya yang telah berpindah tangan di genggaman Kyai Ageng Pengkilingan (Raden Bahurekso).

Selanjutnya di wariskan keputranya yang diyakini berjasad setengah manusia setengah siluman Raden Bahubanteng. Mendapat wejangan dari Dewi Lanjar ketika bertapa di tengah laut yaitu Karang Maeso. Menyarankan agar pedang warisan turun-temurun Kyai Soklidang untuk di kuburkan selamanya, untuk meredam hawa jahat selalu meminta tumbal darah segar serta ratusan nyawa tiap tahunnya di kesunyian Gua Aswotomo.

Dari tempat bersemedi sekuat tenaga juga ulmu kesaktiannya tosan-aji tersebut dilempar tepat masuk ke mulut Gua Aswotomo tertancap dalam ke dasar tanah dan tertimbun bebatuan. Dari dulu sampai kinipun masih terdengar di telinga beberapa paranormal berusaha untuk menarik keluar wujud pedang Kyai Soklidang. Yang telah di pagari oleh mantra sakti Raden Bahu Banteng. Tak satupun usaha dari mereka yang berbuah, mungkin bsia di pikir ulang atau menjadi bahan kajian mistis siapapun yang bsia merusak pagar gaib yang melilit pedang Kyai Soklidang berarti memiliki kesaktian jauh lebih dahsyat dari sang pemiliknya.

Casmuri
Casmuri

"Dari cerita mbah-mbah saya dulu memang ceritanya di situ tersimpan pedang sakti Soklidang, milik Raden Bagus Banteng, Putra Raden Bahurekso. Yang memiliki wujud setengah manusia juga setengah siluman. Banyak orang memburunya, namun tak pernah muncul dari perut bumi," cerita Casmuri.

Mungkinkah masih ada orang yang mampu bertapa menahun lamanya dan melebihi kemampuan Bagus Banteng? Terpendam ratusan tahun di tanah yang berkadar garam yodium, kemungkinan juga keberadaan bilahan pedang sakti itu juga sudah hancur termakan karat di dasar bumi. Terkadang pula para penghobi pancing melihat cahaya berwarna biru tua keluar masuk dari areal mulut Gua Aswotomo, dan itu banyak yang mensinalir adalah khodam dari pedang Raden BahuBanteng keluar dari sarangnya. Konon, juga tersiar kabar bahwa suatu saat nanti pedang Soklidang akan keluar dengan sendirinya, karena masih menantikan tuannya.

Orang itu natninya adalah Putra Batang asli yang kelak menduduki kursi penting di pemerintahan. Sebagai ciri khusus atau tanda-tanda yang dapat di baca seputar putra berkharisma sebagai pewaris lanjut tidak tersebutkan. Teka-teki yang belum terungkap dan terbaca sampai detik ini ajang perburuan yang bersifat pribadi masih terus berlangsung, meski nyawa menjadi taruhan bila nekad melawan kekuatan yang menaungi pedang Soklidan.


TEMBUS SAMPAI DIENG

Di pegunungan Dieng banyak ditemukan peninggalan-peninggalan kuno bangunan candi yang tersusun oleh bahan-bahan batu berukir, meninggalkan jejak sejarah bahwa di masa lampau merupakan tempat pemujaan umat Hindu yang dibangun oleh dinasti Mataram Kuno, yaitu wangsa Sanjaya di era abad ke 9-10, sedang Kabupaten Batang sendiri terbaca dari peta berbatasan langsung sisi selatannya dengan pegunungan Dieng. Dan merupakan masih wilayah kedaulatan Kerajaan Mataram Kuno, serta menjadi rute menuju pantai utara sebagai jalur perdagangan dengan kerajaan-kerajaan seberang.

Kembali ke Gua Aswotomo, Konon lorongnya tembus sampai ke Dieng sebagai jalur rahasia. Dari tempat pemujaan tersebut menyambung tepat ke bibir pantai yang dulu juga sebagai Bandar besar perdagangan antar negara. Karena jauh dari pusat kerajaan dan hanya terpantau sedikit prajurit Mataram Kuno, maka di sini pula sering terjadi pertumpahan darah melawan para perompak yang datang dan pergi tiba-tiba. Bila prajurit kerajaan terdesak kalah, maka secara rahasia mereka menembus kegelapan Gua Aswotomo menuju gunung Dieng.

Hanya beberapa pembesar kerajaan yang mengetahui jalan menuju pegunungan Dieng. Konon, kabarnya di dalam perut gua tersebut banyak lorong bercabang yang membingungkan dan membutakan arah. Selain bercabang-cabang juga ditanami mantra sakti untuk menjaga kerahasiaan jalur pelarian raja, bagi yang tak bertrah ningrat Sanjaya tak megnetahui kata kunci menuju jalan yang asli dan lorong alternatif.

Misteri seputar Gua Aswotomo tak terungkap sampai hari ini, melihat kondisinya yang tak memungkinkan dimasuki, karena terbenam di antara pasir-pasir laut. Pernah ada cerita dair pemancing juga yang sering datang melepaskan hasrat berburunya tersebut melihat seekor gajah besar lengkap dengan baju perang perak berkilau tertimpa sinar purnama di malam itu, di atas punggungnya terletak tenda kecil peneduh bagi penunggangnya, berhiaskan kain berwarna kuning, merah, dan hitam berjalan menyusuri bibiran pantai.

Mirip gajah yang didesain untuk keperluan sarana pendukung medan tempur. Sedangkan zaman kerajaan Mataram Kuno telah mengenal dan memanfaatkan gajah perang. Bahkan Gajah menjadi simbol kekuatan, keuasaan, kebijaksanaan, menjelmakan pnji-panji kenegaraan yaitu Gajah Airawata, binatang yang pintar, kuat, sakti, serta cerdas kendaraan pribadi Dewa Indra. Gajah Airawata juga merupakan kendaraan tempur para dewa penguasa khayangan yang paling di andalkan untuk menumpas raksasa yang selalu mengancam ingin menghancurkan kedaulatan negeri atas angin tersebut.

Tak aneh bilama gajah misterius itu juga tak lepas dari kejelasan hubungan wilayah Batang dengan Kerajaan Mataram Hindu. Banyak di sekitaran pegunungan Kabupaten Batang di temukan arca-arca gajah Airawata, maupun patung-patung dewa lainnya, juga lingga-yoni yang dimanifestasikan kesuburan dan kemakmuran, yang merupakan peninggalan masa pemerintahan HIndu di pulau jawa, yaitu kerajaan Mataram. Ada yang meyakini bahwa yang menunggang gajah misterius tengah malam di areal Gua swotomo adalah raja Rakay Sanjaya yang masih menguasai atas mistis sepanjang luas wilayah kekuasaannya dulu.


TOPO NGLANDAK

Sebutan Aswotomo sendiri diambilkan dari nama tokoh pewayangan dari wangsa Kurawa. Dia adalah senopati perang yang dinilai oleh bangsanya sebagai mata-mata Pandawa, namun yang pasti tokoh ini mempunyai strategi sendiri di saat bangsanya mulai kewalahan dan hampir musnah di hancur lebur oleh pasukan musuh yang digawangi lima bersaudara yaitu Puntadewa,Werkudara, Janaka, Nakula, Sadewa, beserta anak-anaknya yang berdiri sebagai senopati agung di barisan terdepan, juga mempunyai dendam terdalam dengan Dewi Banuwati dari Astina yang telah menuduhnya berkhianat. Putri kedaton tersebut dilarikan dari istana dan akhirnya di bunuh di tengah perjalanan.

Aswotomo lari dari medan laga dan bersembunyi ke belantara dan mencoba menyebrang mencari suaka dari negara tetangga. Salah satu pelariannya adalah gua yang berada di wilayah kabupaten Batang ini, konon kabarnya seperti yang di amini oleh beberapa warga yang masih mengenal riwayatnya. Bambang Aswotomo putra guru Durna dan Bathari Wilutama singgah di sini untuk melakukan topo nglandak menahun, sampai akhirnya kembali lagi ke medan bharatayuda. Sebelum beranjak pergi tempat pertapaan itu ia tutup dengan tanah dan bebatuan supaya jejak tak terlihat siapapun, tak membutuhkan waktu lama berkat kesaktian yang telah merasuk ke dalam tubuhnya sekejab gua raib dari pemandangan tinggal atap guanya saja seperti yang kita lihat sekarang.

Dari hasil menepinya itulah di amendapatkan kesaktian berlipat ganda, dengan cara menyusup ke abrak militer Wangsa Pandawa banyak dari panglima-panglima perang yang binasa secara mengenaskan ditangannya. Tak bisa dielakkan bahwa di dalam gua selain menerima kesaktian yang dahsyat untuk menuntut balas juga dia menerima bisikan bahwa kelak dirinya juga akan menjadi bagian dari korban perang Baratayuda.

Sepan, terjang Raden Aswotomo terhenti oleh seorang bayi putra Raden Arjuna yaitu Bambang Parikesit. Semua trah Pandawa tak megnenal belas kasihan, wanita, ataupun jabang bayi yang ditemukan akan ditikam dengan keris saktinya. Suatu ketika dalam penyusupannya ke basis pertahanan lawan, ia menemukan bayi mungil yang baru berusia satu bulan berwajah tampan dan kelihatan menggemaskan.

Begitu dekat ke ranjang pemabringan, tak sampai hati megnakhiri hidup calon korban. Malah sebaliknya bayi Parikesit digoda-goda kegirangan. Tak disangka pada kaki bayi terikat sebilah keris sakti Kyai Pasopati dan sewaktu menendang-nendang itu menancap tepat di leher Bambang Aswotomo dan meninggal di tempat. Ittlah wangsit yang diterima di gua bukit ujung negoro terbukti dan terjadi, namun tetap di terjangnya demi kepuasan hasrat menuntut balas dendam atas apa yang telah diterimanya atas perlakuan bangsanya maupun kebencian mendalam pada wangsa Pandawa.



Sarwanti. 2014. Majalah Misteri Edisi 589. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.