Danyang Manyung Penguasa Sungai Cipanas
Gambar oleh Heri Santoso dari Pixabay
Istilah Danyang, begitu popular di dunia supranatural (alam gaib). Jika di alam manusia ada jabatan kepala dusun maupun kepala desa, maka di alam gaib dikenal sebutan Danyang. Dari sisi kewenangannya, Danyang sama seperti kewenangan kepala dusun atau kepala desa yakni penguasa wilayah tertentu.

Danyang Manyung Penguasa Sungai Cipanas - Di aliran Sungai Cipanas, sejak zaman Kolonial Belanda, sudah tersohor dengan penguasa alam gaibnya, yang menguasai aliran sungai mulai hulu hingga hilir atau sebelum pintu masuk muara, yakni Danyang Manyung. Adapun di wilayah muara sungai ini, yakni Kedung Cowet dikuasai Danyang Buaya Buntung.

Kekuasaan Danyang Manyung, tercatat paling luas dibanding Danyang yang lainb. Kekuasaannya mencapai radius ratusan kilometer, mulai wilayah Smedang hingga pintu gerbang muara Kedung Cowet. Hanya saja, Danyang Manyung hanya sebagai penguasa koloni siluman ikan tidak menguasai jenis makhluk gaib lainnya.

Keberadaan Danyang Manyung di alam fisik, sudah menjadi rahasia umum. Nyaris sebagian penduduk yang bermukim di sisi tanggul Sungai Cipanas pernah menyaksikan aksi Danyang Manyung. Tiap kali menunjukkan eksistensinya, niscaya tak ada satupun manusia yang mampu bertahan, meski hanya berdiri di atas tanggul untuk menyaksikan aksi tersebut.

Betapa tidak, kepala ikan lengkap dengan tulangnya bergerak paling depan lalu di belakangnya diikuti jutaan jenis ikan, akibatnya permukaan air sungai sama sekali tidak terlihat. Jutaan jenis ikan ini bahkan tumpang tindih saking berjejalnya.

Ya, dalam radius ribuan meter, permukaan sungai tertutup rapat jutaan ekor ikan berbagai jenis, menimbulkan suara gemuruh sangat menggidikkan. Suara dan pemandangan super musykil itulah yang mampu melemaskan lutut penduduk yang menyaksikan.

Terlebih lagi jika memergoki Danyang Manyung, niscaya orang yang melihatnya langsung lunglai. Betapa tidak, kepala ikan sebesar drum minyak tanah itu, terlihat hidup padahal hanya disambung tulang dan duri tanpa daging sedikitpun. Biasanya, jika Danyang Manyung memperlihatkan wujudnya, sebuah isyarat akan terjadi bencana banjir ditandai jebolnya tanggul Sungai Cipanas.

Bagi penduduk Desa Pangkalan, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, sebagian besar menekuni pekerjaan buruh tani. Mereka hanya menjual jasa manakala sawah milik juragan desa setempat dilakukan pengolahan pasca pembajakan. Mereka tiap hari bekerja menanam benih padi atau warga setempat menyebutnya, tandur.

Selesai penanaman benih padi, pekerjaan selanjutnya, penyiangan rumput saat padi sudah bertunas sekitar usia setengah bulan. Selama 30 hari itu, secara otomatis para buruh tani menganggur lantaran tak ada juragan yang memanfaatkan tenaga mereka.

Hujan yang terus mengguyur sepanjang hari, secara otomatis, kalangan buruh tani mengalami masa paceklik, sebab mereka hanya duduk-duduk di jondol untuk ngobrol menunggu redanya hujan. Saat hujan reda, sebagioan warga memanfaatkannya untuk mancing ikan di Sungai Cipanas. Hasil mancing hanya untuk lauk makan keluarganya masing-masing.

Di lingkugnan tempat tinggalnya, Carpan Muhtadi (52), suah tersohor menjadi jawara mancing. Ikan yang diperoleh Carpan, selalu lebih banyak dibanding teman-temannya, hal itu sempat jadi buah bibir kalangan pemancing. Beberapa diantaranya, ada yang sengaja mengorek penjelasan berbagai hal terkait dengan kelihaiannya memancing. Tapi, ada satu hal yang dirahasiakan, yakni terkait umpan yang digunakan Carpan.

Namun wargapun tak kalah siasat untuk mengungkap misteri umpan yang ada di dalam bekas kaleng susu kental manis milik Carpan. Suatu saaat, ketika Carpan kebelet buang hajat besar dan lupa mengamankan kaleng susu kentalnya, secara diam-diam Supandi menghampiri seklaigus memeriksa isi kaleng bekas dair dalam ember plastik itu. Saat diperiksa, spontan Supandi terkesima, ternyata umpan andalan Carpan tak lain kotoran manusia dicampur tanah liat atau biasa disebut dolet.

Ketika mengetahui resep umpan milik Carpan, satu demi satu wargapun mulai meniru dengan hasil sangat memuaskan. Namun banyak di antaranya yang memilih umpan konvensional, mengingat cara membuat resep dolet butuh kekuatan mental serta mampu nahan nafas dan nahan jijik. Meskipun kotorannya sendiri, mengaduk feses dengan tnaah lempung bukan pekerjaan mudah, terbukti beberapa warga yang coba-coba membuat resep dolet justru muntah-muntah karena bau busuk dan jijik.

Jumat 20 Desember 2013, hujan begitu bersemangat mengguyur Desa Pangkalan, mulai pagi hingga menjelang sholat Jumat. Seakan mendung tebal tak pernah lelah mencurahkan isi perutnya dan seolah tak rela memberi kesempatan bagi matahari untuk memperlihatkan wajahnya.

Satu jam usai sholat Jum'at langit kembali menurunkan rintik gerimis. Peluang itu tidak disia-siakan Carpan dan puluhan orang  tetangganya untuk memancing ikan di aliran Sungai CIpanas. Segala persiapan sudah aman termasuk dolet andalannya sudah memenuhi kaleng bekas.

Begitu mantap pria kurus beranak dua putri itu menyusuri jalan setapak menuju tanggul sungai. Seperti biasanya, Carpan mengambil posisi mancing di bawah rindangnya pohon waru. Sedangkan warga lainnya memilih lokasi yang berdekatan satu sama lain, tujuannya tentu saja agar nyaman saat ngobrol sambil menanti ikan menyambar umpan kailnya.

Sesuai pengalaman, rindangnya daun waru, menjadi daya tarik koloniikan berada di sana. Sehingga, berpotensi berebut umpan kail, dan faktanya sudah dialami Carpan, dimana hasil tangkapan ikan jauh lebih melimpah dibanding teman-temannya.

Satu jam sudah berlalu, belum ada satupun ikan yang menyentuh umpan kail Carpan. Dua jam terus berputar dan kini mulai menyambut temaram tanggul Sungai Cipanas yang masih menyisakan gerimis kecil. Ternyata bukan hanya Carpan, puluhan pemancing yang menyebar di sekitar pohon waru itupun terlihat uring-uringan, lantaran mereka masih belum mendapatkan ikan. Hal itu memang tidak biasa, seapes apapun, minimalnya lima ekor ikan masih dapat dibawa pulang.

Ditilik dari suasana teduh disertai gerimis kecil, biasanya ikan-ikan sangat rakus dan akan berburu makanan di sepanjang aliran sungai paling dangkal. Semakin menjelang senja, serbuan ikan biasanya semakin agresif, sehingga para pemancing, akan panen hasil tangkapan untuk dibawa pulang dan menjadi lauk buat keluarga masing-masing.

Kondisi sepahit itu, membuat semua pemancing kesal. Sebaliknya, predikat jawara membuat emosi Carpan bergolak. Secara lantang, Carpan memaki-maki penunggu gaib yang ada di sekitar pohon waru. Menyaksikan kelakuan Carpan, membuat puluhan warga yang ada di sepanjang tanggul sungai terbelalak seraya mengerutkan kening. Sejurus kemudian, mereka memperlihatkan ekspresi penuh ketakutan.

"Apa-apaan sih Kang Carpan? Apa dia tidak tahu, kalau tempat ini angker, tidak boleh sembarangan bicara...," bisik Supandi ditujukan kepada teman disampingnya.

"Iya, Kang Carpan sembarangan saja, pakai maki-maki segala," jawab Peyang.

Ternyata bukan hanya Supandi dan Peyang yang mulai gelisah dan tidak nyaman. Nyaris seluruh pemancing mulai salah tingkah. Sangat dimaklumi bahkan sudah bukan rahasia lagi, kalau sekitar tanggul Sungai Cipanas sangat angker. Bagi penduduk Desa Pangkalan, jangankan melontarkan makian seperti yang dilakukan Carpan, hanya bicara kasar saja, mereka sama sekali tak berani.

Diduga akibat ketakutan itulah, satu demi satu pemancing meninggalkan tanggul sungai, meski di dalam ember belum ada seekorpun ikan yang dibawa pulang. Kini yang masih bertahan, selain Carpan masih ada Supandi, Peyang dan dua warga lain. Mereka berusaha menahan diri dan menghalau rasa takutnya masing-masing. Alasannya tentu saja, berharap masih ada ikan yang mau menyambar umpan pancingnya.

Carpan kembali melempar umpan ke dalam cekungan berair tenang. Dia terus berharap, masih ada sedikit rezeki meskipun hanya beberapa ekor ikan yang dapat dibawa pulang. Dia sudah terlanjur menjanjikan kepada istrinya, kalau sore ini akan membawa ikan banyak. Dia membayangkan muka istrinya yang masam, apabila dia pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Dia juga tak tega membayangkan anak-anaknya hanya makan nasi dengan garam, lantaran tak ada uang yang bisa dibelikan lauk di warung.

Sebagai buruh tani, Carpan termasuk warga yang kurang beruntung. Tak adanya juragan yang mempekerjakannya di sawah, secara otomatis tak ada upah yang di dapat. Di sisi lain, kebutuhan dapur keluarga tak mungkin diajak kompromi, begitu juga perut istri dan anak-anaknya harus tetap diisi makanan.

Lamunan Carpan buyar dalam sekejap. Dari kejauhan terdengar gemuruh begitu menggidikkan. Sekilas mirip air bah yang sangat popular nun jauh di daerah hulu sungai. Tak berapa lama, dia saksikan Supandi, Peyang dan warga lainnya lari serabutan meninggalkan bibir tebing aliran sungai lalu berdiri termangu seraya menatap ke arah aliran sungai di hadapan mereka.

Carpan masih kebingunan melihat tingkah teman-temannya. Saat dia alihkan pandangan dari teman-temannya ke aliran sungai, Carpan tertegun. Detak jantung nyaris berhenti, dan tulang sepasang kakinya seperti dilolosi secara gaib. Betapa tidak, ikan dalam jumlah banyak tengah bergerak dari arah selatan menuju ke arah muara. Jutaan ikan itu bergerak mengikuti arus air, sementara akibat rapatnya jutaan ikan, Carpan benar-benar tak dapat melihat air sungai, seluruhnya tertutup ikan aneka ukuran.

Tapi yang membuat Carpan shock, beberapa meter di depan barisan jutaan ikan itu, terlihat kepala ikan dengan ukuran sebesar drum minyak tanah. Sepasang mata ikan itu terlihat liar dengan warnyanya yang memancarkan sinar merah. Sedangkan badan ikan yang mestinya sebesar perahu tambagnan itu, hanya berupa tulang belulang. Kerangka ikan itu ternyata hidup, bergerak meliuk-liuk.

Pemandangan ngeri semacam itu, membuat lemas sekujur tubuh Carpan hingga tak sempat menyelamatkan ember yang jatuh menggelinding ke bibir air sungai. Pergerakan jutaan ikan itu berlangsung hingga belasan menit. Pada barisan terakhir, Carpan mulai mendapatkan kembali tenaganya yang seakan telah tersedot habis. Dia bruu-buru menyambar batang kailnya dan bermaksud pulang. Baru beberapa langkah meninggalkan pohon waru, dia ingat ember yang nyangkut di bawah sana. Sekuat tenaga dia pompa keberaniannya untuk menuruni tebing sungai. Ember berhasil diraih dan langsung diangkat. Tapi Carpan kesulitan untuk mengangkat ember itu.

Saat diperiksa, sepasang mata Carpan terbelalak takjub. Betapa tidak, ember yang semula kosong, kini terlihat penuh ikan aneka jenis. Seperti berada di alam mimpi, Carpan sulit mempercayai apa yang dia lihat. Meski belum yakin dengan penglhatannya sendiri, Carpan bergegas menenteng ember ke bawah pohon waru. Saat kembali diperiksa, ternyata bukan halusinasi, melainkan ember itu benar-benar terisi penuh ikan. Bagaimana caranya ikan-ikan itu masuk ke dalam embernya, sampai hari ini masih jadi teka-teki di ruang benak Carpan dan tak akan diceritakan kepada teman-temannya.



Koeswara, K. Hendy. 2014. Majalah Misteri Edisi 589. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.