Cinta Sejati Yang Dibawa Mati
Gambar oleh Manfred Antranias Zimmer dari Pixabay
Kanjeng Gusti, saya mau tanya, bagaimana caranya kita dapat menggambarkan dengan tepat tentang apa yang dinamakan cinta sejati itu sebenarnya. Ada enggak sih cinta sejati itu sesungguhnya? Seperti apa cinta sejati itu sebnar-benarnya, Kanjeng? Mulutku nyerocos bertanya kepada Kanjeng Gusti, orang sakti mandraguna yang selalu membantu di setiap kali aku menemukan problem dalam hari-hari di tengah kehidupanku.

Cinta Sejati Yang Dibawa Mati - "Cinta sejati itui ibarat kedekatan hubungan antara dua mata dan sepuluh jemari di tangan. Bila jemari terluka, maka, mata akan menangis. Bila mata menangis, maka jemari akan mengusap dan menghapus air mata yang mengalir dari mata itu. Keduanya saling melengkapi, saling mengisi dan saling memberikan perhatian satu dengan yang lainnya," kata Kanjeng Gusti Anggoro Asmoro, 68 tahun, guru spiritualku di rumah pohonnya di Muara Binuangeun, Banten Selatan.

Nampaknya, apa yang dikatakan Kanjeng Gusti Anggoro Asmoro itulah yang menjadi harapanku. Atau paling tidak, ada suatu chamistry, senyawa hubungan antara dua hati, du acinta, dua manusia di antara aku dan Bang Zulham Yahya, kekasih hatiku yang kini telah menjadi suamiku.

Namun, Duh Gusti, keabadian cinta dan kesejatian cinta ternyata tak pernah terengkuh, tidak pernah terwujud hingga akhirnya kami bercerai juga. Perceraian itu, nyaris membuat nafasku berakhir. Aku begitu tertekan, stress dan depresi berat. Di tengah jalan, di tengah kemesraan dan kebahagiaan, tiba-tiba kami berpisah. Bercerai karena perbedaan sikap hidup. Zulham menikah lagi dan aku tidak mau dimadu.

Harga diriku dan harga diri ayah dan ibuku, kontak terinjak. Dan kami tidak bisa menerima kenyataan, walau agama Islam, agamaku, merestui poligami. Namun, perceraian kami tidak lama. Sebelum dibawa ke pengadilan agama, kami berbaikan dan kami rujuk kembali. Akhirnya, karena dorongan gaib,m aku menerima dengan hati tulus dan ikhlas bermadu. Aku menerima dengan dada lapang dan hati yang terbuka lebar.

Bagaikan lekuk geliat ular, Sungai Seine di Parism, Perancis Eropa Barat, berkelok-kelok melingkar membelah kondisi geografi ibukota Francois Mitterand itu. Aku dan Bang Xulham mengelilingi sungai itu dan kami memasang gembok di jembatan Panthom. Tidak jauh dari menara Eifel. Gembok keabadian cinta. Kunci dengan nama kami berdua sebagai ikatan cinta kami yang terakhir. Kunci dengan nama kami berdua sebagai ikatan cinta kami yang terakhir. Kunci dengan anak kuncinya yanbg kami buang dengan sumpah setia ke Sungai Seine. Bahwa kami akan bercinta sehidup semati. Kami akan bersama, saling tunjang menunjang baik dalam keadaan susah maupun senang.

Masyarakat Perancis, Eropa Barat dan abhkan sebagian dunia, percaya betul bahwa cinta akan abadi bila sudah membuang gembok cinta dan membuang anak kunci gembok itu. Kunci itu, dianggap sebagian orang sebagai gigi setan yang mencengkram cinta hingga cinta gampang tergoyah. Percaya tak percaya, agar cinta kami abadi, kami beli gembok itu dan kami buang anak kuncinya ke Sungai Saine dengan harapan cinta kami akan abadi.

Pada bulan Maret 2011, Sabtu Legi, 12 Maret 2011, aku resmi menikah dengan Zulham Yahya. Sebuah pesta resepsi besar telah kami buat di gedung Balai Bhakti Kartini, Kuningan, Jakarta Selatan, yang super megah. Habis resepsi, kami berbulan madu ke Paris, Perancis, Italia dan Spanyol untuk menikmati keindahan perkawinan itu.

Kami melakukan bulan madu selama seminggu di negeri parfum itu dan menginap di hotel termewah La Forte. Kami mengeluarkan biaya cukup besar, Rp 200 juta untuk berbulan madu itu. Kami menikmati uang hasil kerja kami untuk dihabiskan berbagi cinta di negeri Eropa Barat.

Setelah seminggu di Perancis, kami beranjak ke Milan, Italia. Sebuah kota mode terbaik di dunia. Dan aku dibelikan busana termewah oleh suamiku. Memesan langsung ke galeri Malgini Vagliali. Perancang sohor itu memberi patokan harta Rp 50 juta per-busana dan suamiku membelikan aku dua potong, bernilai Rp 100 juta atau sekian ribu Euro.

Selesai menikmati masa bulan madu di Eropa Barat, kami kembali ke Indonesia. Kami berdua tidak pulang ke rumah kami yang baru di Simprug Golf, Permata Hijau, tapi kami langsung ke bandara I Gusti NGurah Rai, Denpasar, Bali, dari bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, untuk melanjutkan bulan madu ke Mengwi, bali selama seminggu lagi.

Bang Zulham Yahya adalah pengusaha muda yang sukses besar. Dia menjadi pengusaha properti yang membangun rumah-rumah mewah dan paartemen berjouis di ibukota. Kekayaannya semakin hari semakin tambah karena dia sangat pandai berbisnis properti. Semua usahanya berjalan lancar dan banyak investor yang percaya kepadanya. Investor itu bukan hanya dari Indonesia, tapi juga dari Jepang, Korea Selatan dan China.

Pada usia yang begitu muda, 33 tahun, Bang Zulham sudah punya kekayaan lima trilyun rupiah. Tetapi, untuk menutupi gengsi, sebagai peekrja juga, aku tidak mau berbulan madu berdasrkan uang suamiku sendiri. Aku juga ikut patungan, memebrikan share kepada suami buat perjalanan bulan madu yang akhirnya menghabiskan dana semilyar rupiah itu.

"Gengsimu ternyata dua ton ya, sampai harus ikut patungan dengan orang kaya seperti aku ini," kata Bang Zulham, bercanda.

Setelah selesai melakukan masa bulan madu di tempat terindah, kami pulang ke Jakarta. Kami mulai aktifitas kami masing-masing. Bang Zulham kembali ke kantor dan aku juga kembali bekerja.

Di luar dugaan, tepat pada tanggal 12 Mei 2012, setahun usia perkawinan kami, Bang Zulham menikah lagi. Dia menikahi gadis keturunan Arab bermarga Alatas, tanpa seizinku. Mengetahui hal itu, ayah dan ibuku murka. Mereka tidak terima kenyataaan ini.

"Cerai saja mendingan, jangan maudimadu, memalukan." kata ayahku, amrah-marah.

Karena aku memang berkeras tidak mau dimadu, akhirnya, aku menggugat cerai. Namun, kanjeng Gusti Anggoro Asmoro, melarangku menuntut cerai.

"Jangan, jangan bercerai, sabarlah, teruskan hubunganmu dengan ZUlham, kau akan bahagia nantinya. Bahagia di dunia amupun di akhirat, percayalah sama Kanjeng," desis Kanjeng Gusti Anggoro Asmoro, kepadaku.

Karena aku sangat percaya ekpada Kanjeng Gusti Anggoro, maka kau membatalkan niatku mengugat cerai. Namun ayah dan ibuku semakin murka. Aku dianggap plin plan dan mencla mencle soal gugat cerai itu.

"Yang merasakan kan engkau, bukan ayah dan ibumu. Sekarang yakinkan ayah dan ibumu, bahwa kau bahagia dan ikhlas dimadu," kata Kanjeng Gusti Anggoro, kepadaku.

"Karena engkau yang menjalani, ya terserahlah engkau, tapi bagi ayah, Zulham itu bukan lagi menantu ayah, ayah tak akan mau bertemu dengan dia lagi," kata ayahku sambil mengurut dada.

Akhirnya, aku bertahan bermadu. Istri muda Bang Zulham dibelikan rumah di Pondok Indah, sebuah ryumah mewah serharga Rp 30 milyar. Ada taman besar, kolam renang dan mobil lamborgini di garasi. Dalam seminggu, Bang ZUlham tiga hari di rumah bersamaku, selebihnya bersama istri mudanya yang cantik dan muda itu.

Rasanya, aku ingin melabrak wanita itu. Tapi Kanjeng Gusti Anggoro melarang. Jangan perlihatkan bahwa kau cemburu. Ikhlaskan Zulham memberi kemewahan kepada istri mudanya. Bahkan dukung saja supaya Zulham terus mengabulkan apa tuntutan madumu itu. Kata Kanjeng Gusti, menasehatiku.

"Semakin kau berbesar hati, semakin engkau ikhlas, maka kau semakin bahagia dalam kehidupan dunia dan akhirat nanti. Hadapilah kenyataan pahit ini dengan senyum. Tidak ada yang pahit dan katakanlah bahwa yang sedang kau hadapi itu adalah manis adanya," desis Kanjeng Gusti Anggoro lagi.

Ayah dan ibuku memang patah arang kepada Bang Zulham. Bang Zulham yang bolak-balik mau bertemu mereka, mereka tidak mau menemui.Zulham dianggapnya cacing yang menjijikkan. Bang Zulham pun, akhirnya patah arang, dia tidak mau lagi berusaha bertemu ayah dan ibuku.

Hatiku terjepit di antara orang tua dan suamiku. Yang satu suami, yang lainnya ayah dan ibuku. Namun, peran Kanjeng Gusti sangat luar biasa. Dengan ilmunya, dia menundukkan hati Zulham dengan cara mistik. Begitu juga dengan ayah ibuku, juga ditundukkannya dengan mantra-mantra linuwih yang dikuasainya. Akhirnya, pada bulan Januari 2013, Bang Zulham mendatangi orang tuaku di rumah dan orang tuaku menerima mantunya itu dengan baik.

Pada tanggal 13 Febuari 2012, hari Senin Pahing, Bang Zulham meninggal dunia. Penyakit jantung yang dideritanya, tiba-tiba kambuh dan merenggut nyawanya di rumah istri mudanya. Aku diminta untuk memutuskan, mau disemayamkan di mana suamiku itu. Mau dibawa ke rumahku atau tetap di Pondok Indah, di rumah istri mudanya yang tanpa anak itu.

Karena wafatnya di rumah istri muda, aku mengikhlaskan Bang Zulham disemayamkan di sana. Aku datang ke sana dan berpelukan dengan Wilda Alatas, maduku. Kami sama-sama mengurus jenazah dengan baik, lalu mengurus pemakamannya di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Selesai pemakaman, malam harinya, Wilda Alatas dan aku membuat tahlilan di Pondok Indah. Setelah itu lanjut tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari dan seratus hari. Kami berdua bahu membahu membuat tahlilan untuk almarhum Bang Zulham.

Hingga tahun 2014 ini, aku tetap sendiri. Begitu juga dengan Wilda Alatas. Dia juga tetap sendiri dan tidakberniat menikah lagi, walau banyak pria kaya raya yang melamarnya. Aku juga demikian. AKu tidak mau menikah lagi walau aku sebenarnya tetap membutuhkan pendamping hidup. Kini, pendamping hidupku adalah Wilda Alatas. Kami berdua sangat kompak seperti adik dan kakak.

Pada bulan Maret 2014 lalu, kami berdua melakukan perjalanan ke Paris, Perancis. Aku melayari Sungai Saine, tempat di mana dulu aku dan Bang Zulham berbulan madu. Sementara Wilda Alatas, mendengarkan kisahku dengan baik.

Kuceritakan tentang gembok cinta di Panthom dan janji setia kami di Sungai Saine ini. Wilda Alatas menjadi pendengar yang baik, dia sangat serius kemudian beberapa saat setelah itu, dia menangis.

"Kenapa kamu menangis?" kataku.

"Aku telah menyakiti hati Mbak yang tulus dan ikhlas, yang sudah berjanji setia sehidup semati dengan Bang Zulham," katanya, lirih, sambil kusapu airmatanya.

Wilda Alatas merasa sangat berdosa, bersalah kepadaku. Dengan menerima pinangan Bang Zulham yang sudah beristri, dia merasa telah mengkhianati cinta kami, merusak cinta sejati kami dan mengganggu kebahagiaan rumah tangga kami.

"Tidak Wilda, tidak, aku tidak sakit hati dan tidak tersiksa kala itu. Aku ikhlas, aku tulus dan terbuka menerima kehadiranmu dalam kehidupan suamiku," sorongku.

Kami berdua menangis. Kami sadar bahwa semua itu adalah takdir dan kehendak Allah Azza Wajalla. Kami berpelukkan di perahu sambil terus menyusuri Sungai Saine yang damai. kami berjanji untuk saling menjaga, saling bersama dan saling memperhatikan sampai kapanpun, berdua.

Pada saat perahu masuk wilayah Moitore, sebuah rumah antik di Mondeivu, aku melihat pria yang mirip sekali dengan Bang Zulham. Tinggi badan, kumis dan sosoknya, persis sekali dengan Bang Zulham. Wilda Alatas juga melihat hal yang sama dan dia terpaki karena pria berbaju kotak-kotak merah itu, seratus persen Bang Zulham.

"Abang, Abang, Bang Zulham, ini aku, Wilda, ini Mbak Erna," teriaknya.

Pria itu tiba-tiba raib. Dia menghilang ke dalam rumah antik buatan abad ke 13 tersebut. Aku dan Wilda minta tukang perahu menunggu. Kami mengejar mencari ke mana arah pria yang mirip sekali dengan Bang Zulham tersebut.

Kami masuk ke Pesteo de Darcink, dan di mana pun, kami tidak menemukan lagi orang yang mirip Bang Zulham itu. Aku lalu menelpon Kanjeng Gusti Anggoro Asmoro. Kuceritakan bahwa aku dan Wilda melihat pria baju kotak-kotak merah bercelana jeans yang mirip sekali Bang Zulham di Paris. Di luar dugaan, Kanjeng Gusti Anggoro menyebut, bahwa pria itu adalah Zulham betulan. Arwahnya maujud di tempat yang pernah menjadi tempat kami berjanji untuk cinta sejati. Berjanji sehidup semati dalam cinta kasih dan kesetiaan.

"Cari dan temukanlah, saya akan ritual akan dia dapat berjumpa dengan kalian di Paris, di Sungai Saine itu," kata Kanjeng Gusti Anggoro Asmoro, gembira.

Benar saja, setelah perahu dilanjutkan pas di bawah jembatan Pour Voux, Bang Zulham muncul dengan senyum khasnya. Kami minta perahu mengejar pria itu dan kami mendapatkannya.

"Bang," kataku, berbarengan dengan suara Wilda, yang memanggil Bang Zulham.

Bang Zulham berbalik dan benarlah, dia adalah Zulham suamiku dan suami Wilda. Bang Zulham memeluk erat tubuhku dan mencium keningku. Setelah itu, beberapa saat kemudian, dia memeluk pula Wilda dan mereka berdua menangis.

"Ingat, saya mencintai kalian berdua dan cinta itu cinta sejati karena aku bawa mati," bisik Bang Zulham, kepadaku dan kepada Wilda.

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Bang Zulham raib, pergi entah ke mana. Hingga kami pulang ke tanah air, kami tidak menemukannya lagi. Bahkan, hingga sekarang, kami tidak menemukan lagi suami yang kami cintai tersebut. Aku mencintainya dan Wilda Alatas pun, sangat mencintainya pula. Cinta sejati itu, kata Kanjeng Gusti, adalah cinta yang dibawa mati. CInta yang belum berakhir hingga jasad terpisahkan dari roh.

"Jasad Zulham boleh hancur terkubur di Tanah kusir, tapi roh nya tetap ada dan bergerinjang di hati kalian berdua," bisik Kanjeng Gusti Anggoro kepada aku dan Wilda.

(Kisah yang dialami Erna Werdaningsih. Henny Nawani menulis untuk Kita semua.)



Nawani, Henny. 2014. Majalah Misteri Edisi 589. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.