TIGA KALI NYAWAKU NYARIS DIRENGGUT IBLIS

Siluman harimau dan ular itu bersemayam dalam tubuhku. Berbagai usaha untuk menyingkirkan kedua makhluk gaib itu telah aku lakukan, termasuk ruqyah, namun hanya belum ada. Aku benar-benar sudah lelah dengan semua ini.

Tiga Kali Nyawaku Nyaris Direnggut Iblis - Entah harus dari mana aku memulai kisah ini, yang hingga sekarang masih menjadi bagian dari cerita kelamku. Semua rentetan kejadian demi kejadian yang terjadi dalam hidupku, benar-benar di luar nalar dan kekuasaanku. Bahkan seakan-akan memaksaku, mau tidak mau harus percaya dan menjalani sendiri, yang menurut physiater peristiwa ini telah melenyapkan sepertiga memori ingatanku. Hingga saat ini, aku tidak tahu apa dan bagaimana masa kecilku.

Semua kejadian ini menurut orang tuaku, berawal sejak aku masih duduk di bangku enam Sekolah Dasar. Semua yang aku perbuat nyaris di luar kekuasaanku. Seolah-olah ada satu kekuatan yang mengendalikanku dan hal ini terus berlanjut sampai aku emnginjak bangku kuliah pada semester akhir disebuah universitas swasta di Bandung. Aku merupakan anak bungsu dari keluarga lima bersaudara, di antara saudara-saudaraku yang semuanya perempuan.

Dengan pertimbangan agar aku bisa lebih tenang belajar, menginjak bangku SMA orang tuaku memilihku untuk sekolah di salah satu pondok pesantren terkenal di Garut. Berada di kota dengan udara sejuk, dan kauya dengan produksi pertanian. Aku merasa bebas karena jauh dari pegnawasan orang tua, kendati hampir setiap akhir pekan aku dijenguk kedua orang tuaku.

Di luar kendali diriku, aku mulai bertindak sesuka hati, karena tidak ada yang berani melarang. Pertama kali aku masuk di pesantren, aku mulai berurusan dengan kakak kelas karena teman wanita yang dia liriknya malahan berbalik melirik padaku. Perkelahian pun tidak bisa dihindari. Aku dikeroyok enam orang teman kelasnya, tapi anehnya dengan sangat mudah aku menjatuhkan semuanya.

Sejak saat itu aku merasa diriku jagoan, dan tak ada yang berani menentangku. Hari demi hari yang aku lalui di ponpes sangatlah membanggakanku, karena hampir setengah santri dengan mudah bisa aku kuasai. Akhirnya satu demi satu para ustadz pun mengundurkan diri mengajar di kelasku. Semua yang aku lakukan, benar-benar di luar kendali dan jalan pikiran saya seakan dikendalikan oleh sebuah remote control.

Di ponpes pun aku tidak bertahan lama. Kurang dari setahun aku sudah kabur dan bergabung dengan teman lamaku, sebut saja namanya Deni. Dengan dia aku merasa lebih leluasa untuk berbuat lebih jauh, narkoba dna perkelahian menjadi santapanku sehari-hari. Sampai suatu saat semua ini tercium oleh keluargaku, kakakku memergoki pada saat aku sedang mabuk, dan hari-hari berikutnya aku di sekap di dalam rumah.

Tiba pada suatu hari, saat malam Jumat Kliwon, menjelang tengah malam seolah-olah ada suatu kekuatan yang mengajakku untuk keluar paviliun. Bersamaan dengan itu, terdengar sayup-sayup ada suara derap kaki kuda, yang ditingkahi gemerincing suara kereta yang datangnya dari langit. Suara itu semakin lama semakin jelas mendekat.

Ternyata dugaanku tidak meleset, memang suara yang datang itu berasal dari sebuah kereta kerajaan yang didepannya dikawal sepasukan pengawal berpakaian busana kerajaan tempo dulu. Tapi ada sesuatu yang ganjil, raja dan para punggawanya pun sama tanpa kepala. Yang tampak hanya bagian tubuhnya hingga kaki dengan busana kerajaan lengkap. Melihat semua ini nyaris aku pingsan, karena seumur hidup baru pertama kali melihat makhluk seperti itu.

"Jangan takut, Ngger, aku sengaja datang dari negeri Atas Angin hanya untuk menyerahkan kulit harimau kumbang yang di baliknya bertuliskan huruf Sunda Kuno," kata dia.

Aju sendiri tidak mengerti, apa artinya tulisan pada kulit itu. Namun yang jelas kulit itu disuruh dibakar dan abunya dijadikan kopi untuk diminum. Aku tidak kuasa untuk menolaknya. Apa yang diperintahkan semuanya kuturuti. Sejak kejadian itu kehidupanku rasanya makin tidak karuan, malahan aku hampir tidak ingat apa=apa yang aku perbuat.

Dalam dadaku selalu haus ingin mencari lawan untuk diajak ebrkelahi, yang dengan alasan sepele saja aku bisa memukul orang. Sudah tidak terhitung perkelahian ku lakukan, demi memuaskan hawa nafsuku. Aku baru tersadar, setelah berada di rumah dalam keadaan muka lebam-lebam dan baju yang aku pakai robek.

Kesulitan hidupku lainnya ternyata sudah menungguku. Pertengahan tahun 96 secara tiba-tiba saja aku kerasukan. Selama lima hari kesadaranku hilang, dan selama itu pula badanku memperlihatkan hal yang aneh. Tubuhku meliuk-liuk dan mendesis seperti ular disertai gerakan tanganku menjulur ke depan persis menyerupai ular cobra.

Pada saat kejadian itu, ayahku sedang tidak berada di rumah bertugas ke luar kota. Otomatis yang tinggal hanya ibu dan kakakku yang kesemuanya perempuan, dan mereka panik tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kejadian ini. Baru pada hari ke empat ayahku pulang, tetapi keadaanku sudah sangat parah, nyawaku rasanya sudah berada di tenggorokan.

Saat itu aku merasakan bagian atas kepalaku sakit sekali, mungkin karena nyawaku dipaksa keluar oleh iblis yang merasuki badanku. Antara setengah sadar dan tidak, aku melihat bayangan kakek, dan ennekku, juga orang berjubah putih dan berpakaian layaknya seorang wali duduk berjejer sambil meratapi keadaanku.

"Allahu Akbar," kata ayahku yang sekonyong-konyong datang, disambut tangisan keluarga dan kerabatku yang sudah berkumpul di depan tubuhku yang terbujur kaku. Ayahku kaget begitu melihat keadaanku yang sudah dalam keadaan tak berdaya. Nyawaku benar-benar sudah berada diujugn tanduk. Suasana semakin mencekam. ditingkahi kakak dan ibuku dan saudara lainnya pada menangis sambil membacakan ayat-ayat Allah.

Tanpa membuang waktu, ayahku mengucapkan beberapa kalimah Allah, dan pada detik itu pula iblis yang merasuki ragaku langsung terlempar jauh. Begitu sadar, aku langsung memeluk ayahku sambil menangis.

"Itu... itu! Setannya ada di situ!" jeritku sambil menunjuk ke arah kursi.

"Mana? Di sebelah mana?" tanya ayahku sambil melayangkan angkinnya (sabuk berajah) warisan kakekku.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama, tiba-tiba ular siluman itu sudah bertengger di atas kursi, wujudnya sangat mengerikan ukurannya sangat pendek sekitar satu meter. Di atas kepalanya berambut seperti rambut kuda, berwarna-warni dan bergerak-gerak seperti tertiup angin. Diatas kepalanya bertengger sebuah mahkota emas, yang menandakan kalau dia adalah seorang raja.

Dia tersenyum menyeringai, sambil memperlihatkan giginya yang sangat runcing dan berlendir hijau, makin komplitlah kesangaran tampangnya. Dalam hitungan detik, di amasuk lagi ke dalam ragaku lewat ibu jari kakiku sebelah kiri. Dalam keadaan kalut, ayahku membawaku pada orang pintar yang rumahnya lumayah jauh dari rumahku. Selama perjalanan menuju orang pintar itu, aku sendiri tidak pernah berhenti meliuk-liuk sambil terus meracau tidak karuan.

Sesampainya di tujuan kami tidak langsung masuk dan diobati, tapi sempat menunggu karena orang pintar yang bernama Pak Ara itu sedang ada pasien. Di ruang tunggupun, tingkah laku aku saat itu tidak pernah diam hingga membuat para pasien ketakutan. Mungkin karena indra keenamnya cukup tajam, Pak Ara bergegas keluar dari tempat prakteknya dan langsung menangani aku yang kala itu hampir mengamuk.

Tanpa banyak basa-basi, Pak Ara langsung menangani aku. Sambil membacakan mantra beliau mengambil Qur'an Istambul (Qur'an kecil) dan menempelkannya di punggungku. Hari itu Allah memperlihatkan kekuasaannya kepadaku, sewaktu beliau menempelkan Qur'an kecilnya itu beberapa detik kemudian dair paha sebelah kiri keluar ular kecil sebesar kelingking bayi berwarna hitam, dan diatas kepalanya ada huruf "V" berwarna merah.

Ular itu terliaht begitu liar dan mencoba kabur, tapi dengan sigap Pak Ara mengambil sebilah keris dan menyabetnya beberapa kali. Tapi anehnya ular setan itu tidak mati malahan bertambah liar. Namun setelah membacakan beberapa kaliamt Allah lainnya, barulah ular itu mati. Ajaib! Dari tubuhnya yang kecil, keluar darah segar yang cukup banyak. Dengan sikapnya yang tenang, Pak Ara mengambil ular itu dan memasukkannya ke pembakaran arang. Aneh begitu tubuh ular dimasukkan, apinya langsung membesar seperti disiram bensin.

Beberapa saat setelah kejadian itu, kemudian aku tersadar, barulah beliau menceritakan perihal semua rentetan kejadian tadi. Katanya ada yang mencoba mengirimkan santet Samber Nyawa pada ayahku. Tetapi karena proteksi dibatinnya kuat santet itu terpental dan menyambar sama aku yang kala itu masih polos. Konon katanya, santet itu sudah mengendap dalam tubuhku sekitar enam tahun lebih.

Pengaruh lain dari serangan ini sempat membuat memori di otak kecilku hilang sehingga lupa akan semua catatan masa kecilku termasuk nama teman maupun saudara selama lebih satu tahun. Kami merasa saat itu peristiwa kelam tersebut sudah berakhir. Namun ternyata belum dan masih ada fase kelam lainnya. Kondisi itu terus berlanjut sehingga sangat mengganggu kehidupan, terutama saat aku sudah berkeluarga. Dampak nyata dari semua ini adalah seringnya terjadi percekcokkan antara aku dan istriku karena persoalan sepele.

Selain itu aku juga masih tetap disibukkan dengan eringnya kerasukan, entah itu ular siluman atau harimau. Aku sudah sangat lelah dengan semua itu. Aku sudah mencoba dengan berbagai pengobatan termasuk dengan ruqyah, tetapi tetap hasilnya hanya sementara. Setiap ruqyah untuk menghilangkan harimau yang merasuk, makhluk baru akan datang lagi menggantikan harimau yang sudah dibasmi.

Lama kelamaan aku menjadi capek dengan semua ini, karena tidak ada habis-habisnya. Yang terakhir beberapa bulan ke belakang, aku sempat mau menemui ajal yang ketiga kalinya. Saking jengkelnya dengan ulah-ulah makhluk gaib itu, suatu malam aku coba menantang makhluk gaib yang tiba-tiba di depan mataku menampakkan wujudnya seekor macan kumbang sebesar anak kerbay, dengan taring panjang menyembul dari mulutnya persis seeprti binatang purba harimau taring pedang. Tanpa basa-basi di langsung menerkam aku, dan perkelahianpun tak bisa dihindari.

Mungkin karena perkelahian yang tidak seimbang, atau ilmunya terlalu tinggi aku semakin terdesak. Akhirnya dia mampu menguasaiku dna mencoba mencekikku. Sementara dari dalam ragaku ditambah lagi kedatangan siluman ular kiriman orang yang benci sama ayahku yang sebesar pohon kelapa masuk ke arena perkelahian menyerangku. Saat itu keadaan jadi tambah parah, ayah yang datang membantu tidak mengubah keadaan. Usianya yang sudah uzur jadi keteter, aku sudah pasrah menghadapi hal ini.

Dalam keadaan terdesak, kakakku meminjam kaset doa-doa ruqyah dari tetangga, dan kaset itu disetel keras-keras dalam arena perkelahian. Akhirnya lama-kelamaan setelah mendengar lantunan ayat-ayat suci itu, kedua siluman itu pun melemah dan menyerah. Bahkan mereka bersedia masuk Islam.



Hendrawan, Risyana. 2013. Majalah Misteri Edisi 557. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.