SUAMIKU KORBAN GUNA-GUNA

Keputusanku mengizinkan suamiku menikahi Hayatun hampir saja merenggut nyawanya. Dia terkena guna-guna yang ditanam di sekitar rumah. Kami menemukan bungkusan kain putih berisi tanah kuburan, sebotol minyak wangi dan beberapa potong tulang.

Suamiku Korban Guna-Guna - Sebenarnya aku tidak rela suamiku kawin lagi. Perempuan manapun di dunia ini rasanya tidak mau dimadu. Rasanya tidak ada seoran gperempuan yang sudi berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Apoa lagi perempuan yang dinikahi Mas Baskoro, suamiku itu, adalah seorang gadis yang masih muda dan cantik. Tentu saja hal ini akan jadi malapetaka bagi rumahtanggaku. Karena lelaki biasanya akan mengistimewakan istri mudanya.

Sejak pertama kali mas Baskoro mengatakan bahwa dia mau kawin lagi, aku merasa seperti disambar petir di siang bolong mendengarmnya. Tubuhku, mendadak lemas tak bertenaga. Berbagai perasaan tercampur aduk jadi satu. Rasa marah, sedih, sakit hati dan entah rasa apa lagi, aku tak tahu! Duh. Gusti, apa salahku?

Setahuku selama ini aku tidak pernah mengecewakan suamiku. Aku merasa kalau biduk rumah tangga kami selama ini damai-damai saja. Apalagi usia perkawinan kami yang sudah cukup lama dan dikaruniai dua orang anak yang sudah dewasa. Indra anak sulungku sudah duduk di perguruan tinggi dan Novi, adiknya, baru saja lulus SMU. Sementara diriku sendiri merasa tidak ada kekurangan apapun. Sampai detik ini aku masih setia mengurus dan merawat suamiku baik secara lahir maupun batin. Kenyataan inilah yang membuatku tak habis pikir, mengapa Mas Baskoro jadi tiba-tiba berniat kawin lagi.

"Hayatun itu gadis baik, Tari. Aku akan menikahinya semata-mata demi kemanusiaan. Dia yatim piatu, hidup bersama ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Pak Jasman almarhum, ayah Hayatun, merupakan sahabatku di perusahaan perkayuan di Kalimantan dulu. Kami berpisah karena dia terlibat kasus kriminal. Dia harus mendekam di penjara selama 7 tahun karena terlibat kasus pengggelapan uang perusahaan dan selepas dari penjara dia sakit-sakitan, hingga akhirnya meninggal dunia," tutur Mas Baskoro panjang lebar.

Sejujurnya, sebenarnya cerita suamiku itu memang menggugah hatiku. Tetapi saat itu aku sama sekali tidak terpengaruh. Apapun alasan suamiku itu aku tetap tidak bisa menerimanya. Pokoknya aku tak mau dimadu.

Namun entah mengapa akhirnnya ketegaranku runtuh. Saat Nas Baskoro membawa gadis itu ke rumah dan memperkenalkan padaku, aku jadi lemah. Wajah gadis itu sangat polos. Penampilannya yang sederhana dan bersahaja membuat aku terenyuh. Dia begitu ramah dan santun ketika bertatap muka denganku dan menapa denganlembut. Dia memanggil aku dengan sebutan ibu. Sebutan yang selama ini tidak ku dengar, karena kedua anakku memanggilku mama. Lama aku memandang dirinya. Duh, dia begitu cantik sekali. Pantas kalau Mas Baskoro tertarik padanya.

"Bapak berulangkali datang pada saya dan ibu saya, dia mengatakan bahwa dia ingin saya menjadi istrinya. Saya sebenarnya menolak niat beliau, karena saya tahu beliau sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak. Bahkan Ibu saya sempat mengusirnya. Tetapi Bapak tetap bersikeras, apapun yang terjadi dia tetap ingin menikahi saya. Dia bahkan mengancam, katanya jika tidak kawin dengan saya dia akan bunuh diri dan menceraikan istrinya. Dia meyakinkan saya kalau ibu pasti memberi izin dan mau menerima saya..."

Sebenarnya kata-kata yang diucapkan Hayatun terasa pedih menghujam ulu hatiku. Sakit sekali rasanya! Tetapi entah kenapa kepolosan dan kalimat demi kalimat yang tulus dan mengandung kejujuran itu membuar diriku merasa nyaman mendengarnya. Aku tidak melihat sedikitpun niat buruk gadis itu. Justru kesediaannya menerima suamiku itu membuat diriku merasa pasrah.

Kalau aku menolak, maka bapak akan bunuh diri dan menceraikan ibu... Duh Gusti, kalimat inilah yang membuat hatiku runtuh. Diam-diam aku merasa bangga pada gadis itu. Bagaimana tidak? Karena kuanggap sebagai sebuah pengorbanan. Ya, kukatakan pengorbanan karena dia ingin menyelamatkan Baskoro dan rumah tanggaku. Karena aku tahu benar kalau seuamiku itu adalah lelaki yang keras. Dia bisa nekat jika niatnya tak terlaksana.

Singkat cerita, akhirnya suamiku itu menikahi Hayatun. Demi menjaga martabat dan reputasinya di mata orang sekelilingnya, Hayatun meminta agar pernikahannya itu dilaksanakan dengan sederhana saja. Akad nikahnya itu diselenggarakan di kampungnya. Aku sendiri tidak menghadiri pernikahannya itu, tetapi aku merestuinya. Begitu juga dengan kedua anakku, mereka dapat memaklumi sikap ayahnya itu.

"Yah... kalau itu memang sudah kehendak ayah. Tidak mengapa. Yang penting sikap yah terhadap kami tidak berubah dan berlaku adil pada ibu," kata Indra dan Novi.

Sebenarnya perkawinan itu ditentang oleh pihak keluarga suamiku, terutama oleh adik Baskoro sendiri. "Seharusnya Mbak Tari melarang Mas Baskoro kawin lagi. Karena ini akan menjadi contoh buat keluarganya yang lain," kata Tuti adik suamiku yang tinggal di Rajabasa, Bandar Lampung.

Ucapan Tuti kutanggapi dengan bijak. "Sudahlah, Ti. Tidak ada yang perlu disesali lagi, semuanya sudah terjadi. Kalau itu merupakan kebahagiannya kita juga ikut bahagia. Mbak sendiri tidak apa-apa kok!" jawabku lembut. Tuti pun terdiam mendengar jawabanku itu. Setelah itu dia tidak lagi mengungkit soal perkawinan kakaknya itu.

Sejak itulah suamiku tidak lagi sepenuhnya tinggal bersamaku di Bandar Lampung, tetapi waktunya telah terbagi untuk istri mudanya yang tinggal di Gedongtataan, Pesawaran. Waktu terus berlalu. Tak terasa perkawinan suamiku dengan Hayatun sudah berjalan selama dua tahun. Maduku itu sekarang sudah dikaruniai momongan seorang bayi mungil yang lucu. Dan satu hal yang membuat aku merasa bersyukur, Hayatun ternyata seorang istri yang membawa rezeki. Sejak menikah dengan Hayatun, usaha suamiku maju pesar. Pabrik penggilingan padinya di Gedongtataan semkain besar dan mampu berproduksi melebihi target. Malah saat ini suamiku akan membuat satu lagi pabrik penggilingan padi di lokasi berbeda.

Apa yang kucemaskan dulu ternyata tidak terbukti. Karena selama ini tidak ada pesaingan antara aku dengan maduku itu. Antara aku dan Hayatun bahkan sudah seperti dua orang kakak beradik. Kami saling mengunjungi satu sama lain. Kedua anakku juga menyayangi ibu tirinya. Mereka sering datang berkunjung kerumah Hayatun sambil membawa oleh-oleh untuk adik bungsunya itu.

Hingga pada suatu malam di bulan Juli 2011 terjadilah peristiwa itu. Malam itu suamiku menelepon aku dari rumah Hayatun. Deg! Tiba-tiba hatiku merasa tidak enak. Dadaku berdebar tak karuan. Aku merasa heran bercampur cemas, karena Mas Baskoro tidak pernah melepon aku malam-malam begini. Ada apa? Apakah Hayatun sakit?

"Halo... Ada apa mas?" tanyaku.

"Suruh Edi ke sini sekarang," suara suamiku agak parau.

"Ya, tapu ada apa?" tanyaku penasaran.

"Tidak ada apa-apa. Pokoknya suruh Edi cepat jemput aku sekarang!"

Jarak antara Bandar Lampung dengan Gedongtataaan tidak begitu jauh. Dua jam kemudian Edi, supir kami sudah muncul kembali.

Astaga! Aku kaget sekali. Kulihat suamiku turun dari mobil degnan dipapah Edi. Aku segera melompat membantu memapah suamiku membawanya ke kamar. Mas Baskoro tampak lelah sekali. Yang membuat aku jadi histeris karena kulihat wajah suamiku itu tampak membiru seperti habis dipukuli orang.

Aku segera menelpon dokter Salim, dokter pribadi kami. Rumah dokter Salim tidak begitu jauh, sepuluh menit kemudian dokter Salim muncul dan segera memeriksa keadaan Mas Baskoro. Dokter Salim menyatakan kalau suamiku tidak apa-apa, karena dia tidak menemukan penyakit tertentu di tubuh suamiku.

Penasaran, keesokan harinya aku segera mendatangkan Kyai Sulaiman, seorang ustadz yang juga ahli metafisik. Setelah memeriksa dan mengamati dengan seksama keadaan suamiku, Kyai Sulaiman menyimpulkan bahwa apa yang dialami suamiku saat itu memang bukanlah disebabkan penyakit tertentu. Tetapi sepertinya suamiku terkena guna-guna!

"Ku kira yang diderita suamimu bukan sakit biasa, Tari..." kata Kyai Sulaiman sambil menyapu kedua telapak tangannya.

"Maksud Kyai?" tanyaku.

"Dia kena guna-guna!"

Deg! Aku langsung mencurigai Hayatun. Perempuan sok suci itu pasti yang melakukannya. Apalagi suamiku terkena pas sedang berada di rumahnya, batinku. Sebenarnya ada sedikit keraguan di hatiku. Aku tidak yakin kalau Hayatun yang melakukannya. Tapi kenyataan yang kuhadapi sekarang, suamiku menderita akibat diguna-guna orang. Setahuku suamiku tidak punya musuh, lalu siapa kalau bukan Hayatun, maduku itu! Tanpa pikir panjang aku mengajak Kyai Sulaiman ke Gedongtaan menemui Hayatun.

"Bapak kan suamiku, ayah dari anakku Mbak. Jadi mana mungkin aku tega berbuat sekeji itu kepadanya. Dia adalah suami dan ayah yang baik," jawab Hayatun saat aku mendampratnya.

"Sudah... sudah, hentikan sandiwaramu! Aku tidak percaya pada mulut manismu. Buktinya sekarang Mas Baskoro terkena guna-guna. Siapa lagi pelakunya kalau bukan kamu. Sekarang cepat kau pergi sebelum aku melaporkan dirimu ke polisi!" teriakku histeris. Kurang puas, aku mencoba meraih rambutnya, tetapi Kyai Sulaiman dengan sigap meleraiku.

Dan kulihat Hayatun sambil menangis berlari keluar. Persetan, biar saja perempuan Iblis itu pergi, rutukku.

"Seharusnya kau tak perlu emosi begitu Tari," kata Kyai Sulaiman menasehati aku. "Kukira bukan dia pelakunya," sambung Kyai Sulaiman.

"Kalau bukan dia, lalu siapa?" tanyaku gemas.

Kyai Sulaiman tidak menjawab. Dia mengarahkan pandangannya ke sekeliling urangan. Matanya nanar memperhatikan dengan seksama setiap sudut ruangan itu.

"Aku merasakan ada sesuatu yang ganjil di rumah ini. Udaranya terasa sangat panas sekali."

Tentu saja kalimat yang diucapkan Kyai Sulaiman terasa aneh ditelingaku, karena aku tak meraskan apa-apa. Malah aku merasakan sebaliknya udara di sini cukup sejuk.

"Maksud Kyai?"

"Aku mencium bau aneh, pasti ada sesuatu yang tak biasa di sekitar sini. Biar aku cari dulu." Kyai Sulaiman berjalan mengitari rumah. Di sebuah sudut dia berhenti tepatnya di depan pintu samping. Dia memandang kebawah sambil berkata, "Aku yakini di sini ada sesuatu. Sebaiknya kita gali!"

Benar sja. Setelah dilakukan penggalian, kami menemukan sebuah bungkusan kain putih. Bungkusan itu perlahan dibuka oleh Kyai Sulaiman. Isinya tanah kuburan, sebotol minyak wanti dan beberapa potong tulang.

"Ini perbuatan orang sakit hati!" ujar Kyai Sulaiman seraya membungkus kembali benda-bendar tersebut. Dari hasil terawangan yang dilakukan oleh Kyai Sulaiman, ternyata suamiku memang terkena guna-guna. Sebenarnya guna-guna itu bukan ditujukan pada suamiku, tetapi pada Hayatun, karena pelakunya adalah seorang pemuda yang merasa sakit hati pada Hayatun.

Sebut saja nama pemuda itu Somad. Dia memang tetangga dekat denga nHayatun. Rupanya diam-diam ia menaruh hati pada Hayatun. Somad selalu menunjukkan perhatian khususnya pada Hayatun. Somad yang pekerjaan sehari-harinya sebagai penjual buah-buahan itu sering memberi Hayatun oleh-oleh setiap pulang dari pasar. Hayatun gadis miskin dan polos itu tentu saja merasa senang menerima pemberian pemuda tetangganya itu, tanpa punya pikiran apa-apa.

Tetapi lain halnya dengan Somad. Sikap Hayatun itu diartikannya sebagai pertanda kalau Hayatun juga menyukai dirinya. Tak heran kalau kemudian Somad merasa terpukul sekali setelah menerima kenyataan bahwa Hayatun menikah dengan lelaki lain. Untuk membalas sakit hatinya itulah maka Somad diam-diam melakukan perbuatan tak terpuji itu pada Hayatun. Tetapi sialnya santet kirimannya itu malah mengenai Mas Baskoro.

"Biar saja tak usah dibalas perbuatannya itu. Karena nantinya akan menimbulkan masalah baru," ucap Kyai Sulaiman, ketika aku meminta agar bungkusan itu dikembalikan pada pemiliknya.

"Jadi apa yang harus kita lakukan?" tanyaku.

"Aku akan membuat ramuan penawar guna-guna yang sudah terlanjur menyerang tubuh Baskoro. Sementara bungkusan ini akan kubuang ke laut lepas supaya tidak mengenai orang lain," jawab Kyai Sulaiman.

Berkat bantuan Kyai Sulaiman dan seizin Allah SWT penyakit yang diderita suamiku berangsur sembuh. Kepada suamiku aku menceritakan semua yang telah terjadi dengan sejujurnya, termasuk perbuatanku terhadap Hayatun. Kusesali sikapku itu. Dihadapan suamiku aku meminta maaf.

Mas Baskoro memaafkan diriku. Dan atas permintaanya, aku menemui Hayatun di kampungnya. Kepadanya aku juga menceritakan tentang apa yang terjadi sebenarnya. Subhanallah, Hayatun memang seorang wanita yang berhati mulia. Dia memelukku, kami berdua saling bertangisan dan saling memaafkan. Aku sendiri tak henti-hentinya mengucap syukur pada Allah SWT yang telah mengembalikan kebahagiaan kami.

(Seperti yang diceritakan Ibu Sri Lestari pada Kami)



Lesmana, Syamsul. 2013. Majalah Misteri Edisi 557. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.