Raja Hantuen
Raja Hantuen

Karena mendapat malu besar, akhirnya, pasangan suami istri yang merupakan jelmaan dari binatang itu menyingkir ke hutan belantara dan beranak-pinak menjadi suatu keluarga besar yang terkenal dengan seutan hantuen atau kuyang. 

Raja Hantuen - Hatta, pada zaman dahulu, di Baras Semayang, hidup sebuah keluarga yang dikaruniai seoarng anak gadis jelita yang bernama Tapih. Sebagai orang tua yang bermata pencaharian sebagai pembuat topi tanggul dareh (topi yang memiliki tepi lebar) dan hanya dikenakan pada waktu mengadakan upacara yang berkaitan dengan daur hidup manusia untuk pertama kali memandikan anak di sungai dan seterusnya oleh karena itu, keluarga ini hidup dengan bahagia.

Pada suatu hari, ketika sedang mandi di sungai, tiba-tiba, berhembus angin kencang hingga menerbangkan topi Tapih yang kemudian jatuh ke sungai Rungan yang berarus lumayan deras. Karena merupakan topi kesayangannya, maka, dengan ditemani orang tuanya, Tapih pun menyusuri sungai untuk menemaninya. Setiap orang yang ditemui di desa-desa yang ada di sepanjang Sungai Rungan pasti ditanyai. Tetapi sayang, tak ada seorang pun yang melihatnya.

Akhirnya, sesampainya di Desa Sepang Simin, Tapih dan orang tuanya berhasil mendapatkan topinya kembali dair tangan Antang Taung, pemuda yang telah menemukannya.

Sebagai tanda terima kasih, orang tua Tapih pun menghadiahi pemuda itu dengan emas. Namun, Antang Taung menolaknya, ia bahkan meminta Tapih dapat dijadikan sebagai istrinya. Gayung pun bersambut, orang tua Tapih menerima pinangan langsung itu dengan senang hati.

Tak lama kemudian, keduanya dinikahkan di Desa Baras Semayang. Dan menurut adat setempat, sepasang mempelai yang baru menikah wajib mukim di rumah orang tua masing-masing dengan secara bergiliran. Tetapi, Tapih dan Antang Taung merasa keberatan, maklum, jarak antara desa mereka dibatasi dengan hutan nan lebat. Untuk memecahkan masalah yang satu ini, akhirnya diputuskan untuk membuat jalan yang dapat menghubungkan di antara kedua desa tanpa melalui hutan tersebut dengan menggunakan tenaga para budak atau kuli masing-masing keluarga.

Menurut penduduk setempat, jalan yang dimaksud masih ada dan dikenal dengan nama Jalan Langkuas yang terletak di antara Desa Baras Semayang dengna Desa Sepang Simin.

Gangguan pun mulai datang, tak hanya alam dan binatang buas, makhluk gaib pun turut pula melancarkan gangguannya. Hampir tiap saat, tiap pekerja hendak pulang beristirahat, gubuk mereka selalu dalam keadaan centang perenang bahkan makanannya pun habis. Kata sepakat pun didapat.

Pada hari yang ditentukan, mereka kembali keluar seolah-olah untuk bekerja, padahal, semuanya bersembunyi di semak-semak yang letaknya tak jauh dari gubuk itu. Tak perlu menunggu terlalu lama, tiba-tiba ada seekor angsek (binatang sejenis landak) yang sedang menaiki tangga. Dan ketika di dalam gubuk, binatang itu langsung menggoyang-goyangkan tubuhnya dan tak lama kemudian berubah menjadi seorang pemuda yang teramat tampan. Sontak, para pekerja pun langsung menangkapnya.

"Jangan bunuh... jangna bunuh, jangan sakiti saya," ujar pemuda itu dengan suara memelas.

"Hajar... bunuh... bunuh!" Demikian kata para pekerja dengna secara bergantian.

"Lepaskan saya, saya berjanji akan membantu kalian dengan sekuat tenaga," sambung si pemuda penuh harap.

"Apakah engkau mampu?" Tanya salah seorang pekerja.

"Saya akan membuktikannya, tetapi dengan syarat, jika berhasil, maka, biarkan saya bebas," ujar sang pemuda tak kalah mantap.

Para pekerja hanya bisa saling berpandangan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melepaskan pemuda itu. Dan benar, pemuda tampan jelmaan binatang angsek itu mampu menyelesaikan pekerjaan membuat jalan yang cukup panjang dalam waktu tiga hari.

Ketika hal itu diceritakan kepada Tapih dan Antang, keduanya juga sangat mengagumi kesaktian dan ketampanan pemuda itu dan langsung mengambilnya sebgai anak angkat. Sejak itu, pasangan Tapih dan Antang Taung dapat dengan mudah datang dan pergi ke desa masing-masing tanpa harus melalui hutan yang lebat itu.

Purnama pun terus berlalu, dan Tapih mulai mengandung anak pertamanya. Suatu saat, ketika berada di Desa Sepang Simin, Tapih mengidam ingin menyantap ikan sungai. Antang Taung pun dengan segera meluluskan permintaan sang istri, kebetulan ia mendapatkan tangkapan dalam jumlah yang lumayan banyak. Tetapi, ketika akan menepi, mendadak, hujan turun dengna lebat sehingga dengan tanpa sengaja ia meninggalkan seekor ikan tomang yang besar di dalam perahunya.

Esoknya, ketika akan mengambil ikan tersebut, alih-alih ikan, yang ada di dalam perahunya adalah seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Antang Taung segera membawa bayi mungil itu pulang dan menjadikannya sebagai anak angkat.

Anehnya, dalam waktu beberapa bulan, sang bayi mungil itu telah tumbuh menjadi gadis dewasa nan menawan. Kedekatan di antara makhluk jelmaan itu membuat keduanya saling jatuh cinta. Akhirnya, keduanya dinikahkan dan hidup dengan bahagia. Sebgai makhluk jelmaan yang memiliki banyak kelebihan, maka, dalam beberapa waktu, sang istri telah mengandung dan tak lama kemudian melahirkan bayi laki-laki yang tampan. Sayangnya, bayi itu mati tak lama setelah kelahirannya dengan meninggalkan perasaan sedih yang mendalam pada kedua orang tuanya.

Rupanya, kesedihan sedang bergayut di keluarga Antang Taung. Beberapa hari kemudian, anak laki-lakinya pun meninggal dunia. Menurut adat setempat, sebelum arwah yang meninggal menuju ke Lewu Tatau, atau sorga bagi orang Dayak Ngaju, harus dilakukan dua upacara penting; yakni penguburan dan Tiwah atau pembakaran tulang belulangnya yang bertujuan untuk membebaskan roh dari badan kasarnya untuk selama-lamanya.

Mendengar hal itu, kedua orang tua jelmaan binatang itu juga berkeinginan agar anaknya yang menigngal turut di Tiwah. Sontak, Antang Taung dan Tapih pun menentangnya tetapi apa daya, mereka tetap bersikukuh untuk melakukan Tiwah bagi anaknya.

Dan apa yang terjadi, ketika kubur anak itu digali, ternyata, yang tinggla bukanlah tulang-belulang manusia, melainkan tualng belulang binatang dan ikan. Sudah barang tentu, kejadian menghebohkan itu telah membuat malu pasangan yang berasal dari makhluk jelmaan binatang tersebut. Mereka langsung menyingkir dari Desa Sepang Simin, dan membangun sebuah rumah yang akhirnya menjadi desa jauh di tengah-tengah hutan belantara.

Seiring dengan perjalanan sang waktu, akhrinya, mereka berkembang biak menjadi kelaurga besar dan keturunannya dikenal dengan sebutan Hantuen dan jadilah pasangan suami istri penjelmaan binatang tadi menjadi Raja Kuyang selanjutnya, manusia jadi-jadian ini selalu meninggalkan desanya dan masuk ke desa-desa yang dihuni manusia serta berbaur dengan manusia biasa.

Menurut tutur yang berkembang dan keyakinan masyarakat di aliran Sungai Kahayan, sebagaimana legenda namun dianggap benar-benar terjadi, konon Hantuen yang asli sudah tidak ada, yang tinggal hanyalah keturunannya yang sudah menikah dengna manusia.

Masyarakat Kalimantan Tengah percaya, sosok yang mempunyai darah Hantuen akan memiliki kemampuan gaib untuk mengubah diri menjadi hantu siang menjadi manusia biasa pada malamnya, walau di laur keinginannya, mereka kan menjadi hantu tanpa tubuh yang gemar menghisap darah bayi atau darah ibu anak itu.

(Dari berbagai sumber terpilih)



Sridana. 2013. Majalah Misteri Edisi 568. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.