Putri Kinanti
Putri Kinant
RINGKASAN KISAH LALU...

Selepas tengah malam, Punggu Tera merasakan makhluk gaib yang dipanggilnya sudah datang. Putri Kinanti- anak buah Panglima Burung, terjerat dalam mantra yang dirapal Punggu Tera. Panglima Burung adalah sahabat Gusti Zaleha. Keduanya bahu-membahu berjuang melawan penjajah Belanda. Setelah Gusti Zaleha menyerahg pada Belanda, Panglima Burung memilih untuk berjuang sendiri dengan ditemani 12 prajurit yang sangat setia. Sampai kemudian Belanda menyerah, dan Indonesia meraih kemerdekaan, Panglima Burung tetap mengembara dalam hutan dan hanya sesekali muncul ketika terjadi kerusuhan. Meski raga Panglima Burung dan anak buahnya menjelma menjadi gunung batu, namun roh mereka tetap hidup abadi di tengah belantara Kalimantan. Punggu Tera kemudian mengajak Ki Alas Purwo dan Hanggono menuju ke gunung batu yang berada di balik hutan lebat. Keduanya mengikuti langkah Punggu Tera tanpa banyak bicara. Menyusuri lembah dan hutan belantara di waktu malam, bukan pengalaman yang menyenangkan. Terlebih kemudian Panglima Burung ternyata tidak mau melepas Putri Kinanti. Panglima yang sangat cantik itu menyuruh Punggu Tera dan tamunya pulang. Punggu Tera pun menyiapkan jerat dan siap melawan Panglima Burung.

 

BAGIAN KEEMPAT

Putri Kinanti - Asap biru yang keluar dari botol Punggu Tera menyebar ke segala arah. Hanggono buru-buru menutup hidungnya. Ia tidak tahu asap biru itu mengandung zat apa. Tetapi Hanggono menduga itu asap racun yang sangat kuat. Ia tidak mau mati di tengah belantara ini. Ia tidak percaya Ki Alas Purwo mengurus jasadnya. Jangankan membawa pulang, mengubur dengan layak pun belum tentu mau.

"Pulanglah, Punggu Tera!" ujar Panglima Burung, mengulang sarannya.

"Tidak, Tuanku Panglima Burung," jawab Punggu Tera.

"Saya sudah mendapatkan jiwa Putri Kinanti. Saya ingin membawanya untukj menolong saudara saya. Bukankah itu yang Tuanku Panglima lakukan selama ini? Menolong saudara-saudara kita yang kesusahan..."

"Tapi aku melihat maksud lain di hatimu.." sahut Panglima Burung masih dengan suara rendah.

"Tidak, Tuanku Panglima. Ini hanya untuk menolong usaha saudara kita. Nanti setelah selesai, saya berjanji akan mengembalikannya lagi ke pangkuan Tuanku Panglima..."

"Apakah janjimu bisa aku pegang?" Punggu Tera mengangguk cepat.

"Apa hukumannya jika kamu ingkar janji?"

Kali ini balian itu tampak ragu. Ia melirik ke arah Ki Alas Purwo. Namun Ki Alas Purwo pun tidak berani memberikan jaminan. Ia jsutru mengalihkannya pada Hanggono. Punggu Tera kemudian memberi isyarat agar Hanggono maju.

"Ayo, maju... Berikan janji...," perintah Ki Alas Purwo kepada Hanggono.

"Apa yang harus aku janjikan?" potong Hanggono gugup.

"Tinggal sebutkan saja. Ini hanya untuk syarat," bisik Ki Alas Purwo.

Hanggono menatap wajah Panglima Burung. Betapa cantik perempuan ini, kata Hanggono dalam hati. Ia berharap Putri Kinanti tak kalah cantiknya. Namun apa yang harus aku janjikan? Setahu Hanggono, janji kepada makhluk gaib bukan berupa harta benda, tapi nyawa. Biasanya nyawa keluarganya. Hanggono bergidik. Rasanya tidak mungkin tega ia mengorbankan anak istrinya untuk dijadikan sesembahan untuk makhluk gaib. Apakah aku harus mempertaruhkan nyawaku sendiri?

"Bagaimana? Hukuman seperti apa yang kamu pertaruhkan andai ingkar janji?" tanya Panglima Burung lagi. Kelihatannya dia mulai tak sabar.

"Sudah, katakan saja. Toh tidak berpengaruh apa-apa selama kita tidak mengingkari janji untuk mengembalikan Putri Kinanti setelah urusan kita beres," desakj Ki Alas Purwo.

Hanggono melangkah ke depan. Ia lantas membungkuk. "Jika usahaku sudah normal kembali, aku janji akan mengembalikan Putri Kinanti. Jika aku ingkar janji, aku siap menerima hukuman yang dijatuhkan Tuanku Panglima..."

"Sebutkan!" perintah Panglima Burung.

"Usahaku hancur lagi," sahut Hanggono tanpa sadar. Ia heran mengapa justru mempertaruhkan hartanya. Namun ia tidak punya pilihan lain lagi. Lagi pula, kalau usahaku sudah pulih, untuk apa pula aku memelihara makhluk gaib? Pasti akan aku kembalikan lagi ke habitatnya, kata Hanggono dalam hati.

"Baik," ujar Panglima Burung. "Aku akan pinjamkan Putri Kinanti. Rawat dia baik-baik. Sebagai jaminannya, aku akan menahan Punggu Tera di sini..."

"Tidak bisa," potong Punggu Tera. "Ki Alas Purwa saja..."

Spontan Ki Alas Purwo terlonjak. Dia hendak lari, namun tangan Panglima Burung sudah menangkapnya. Diiringi jerit yang melengking, tubuh Ki Alas Purwo hilang di balik tubuh Panglima Burung. Sesaat kemudian tubuh Panglima Burung pun lenyap. Bersamaan dengan itu muncul asap putih dan langsung masuk ke dalam botol yang di pegang Punggu Tera. Dengan sigap Punggu Tera menutup botol itu dengan penutup berbahan gabus.

"Supaya Putri Kinanti bisa bernafas," jelas Punggu Tera tanpa diminta. Hanggono mengangguk tanpa ia tahu kemana arah pembicaraan Punggu Tera. Bukan kalimatnya yang terlalu cepat diucap, tapi Hanggono tidak tahu, proses apalagi yang akan dilakukan.

Dengan tangan gemetar, Punggu Tera lantas memberikan botol itu kepada Hanggono. "Ingat, gurumu ada di dalam gunung ini. jangan pernah ingkar janji," pesan Punggu Tera.

Hanggono kembali mengangguk. Ia masih bingung dengan rntetan kejadian yang barusan dialaminya. Di mana sekarang Ki Alas Purwo? Mungkinkah dia bisa bertahan hidup di dalam gunung batu itu? Hanggono menggeleng-gelengkan kepala sambil mengikuti langkah Punggu Tera kembali ke rumahnya.

Menjelang pagi, mereka tiba di rumah Punggu Tera. Meski tubuhnya sangat penat, namun Hanggono tidak mau menerima tawaran dukun itu untuk beristirahat di rumahnya. Hanggono memberikan tas kecil berisi uang yang sudah dipersiapkan sejak di Jakarta. Jumlahnya sangat banyak, sesuai arahan Ki Alas Purwo. Punggu Tera menerimanya tanpa dihitung lagi. Jarnag ada tamu yang berani memberikan mahar kurang dari yang sudah ditentukan.

Sampai kembali di atas speedboat yang menunggunya sejak semalam, Hanggono belum berani melihat botol kecil yang digenggamnya. Baru setelah turun dari speedboatdi Pucuk Cahu, dan menginap di hotel lebih pas disebut losmen, Hanggono berani melihat isi botol itu. DI dalamnya ada perempuan sebesar jari kelingking tengah duduk. Dia memakai baju terusan putih. Rambutnya panjang, tersibak ke belakang sehingga hidungnya yang mancung terlihat jelas.

Hanggono mundur ketika gadis itu menatapnya dengan tajam. Ada marah di sana. Perlahan gadis itu berdiri dan seperti ingin ngomong sesuatu. Hanggono mendekat. Diperhatikan gadis itu dengan lebih seksama. Tidak ada yang menakutkan pada diri gadis itu. Dadanya utuh. Demikian juga dengan anggota tubuh lainnya. Bahkan jari-jarinya terlihat lentik. Hanya ukurannya saja yang sangat kecil. Tapi dia gadis normal! Gadis bernama Putri Kinanti itu menunjuk ke atas. Ke tutup botol. Dia minta tutup botolnya dibuka, pikir Hanggono. Nmaun Hanggono tidak berani menuruti permintaan itu. Ia takut akan berakibat fatal. Namun ia juga tidak tega melihat kondisi Putri Kinanti. Dia tampak tersiksa. Mungkin karena terlalu lama terkurung dalam botol kecil itu. Hanggono mengambil kertas kecil yang tadi diberikan Punggu Tera. Ia membaca tulisan yang tertera di atas kertas itu. Ini mantra, pikirnya.

Terdorong rasa penasaran, Hanggono meraih botol itu. Mengapa tidak dicoba di sini? Untuk apa dibawa ke Jakarta jika aku belum tahu faedahnya? pikir Hanggono. Perlahan ia membuka tutup botol itu. Seketika gumpalan asap putih keluar. Gumpalan asap itu sangat tebal. Hanggono sampai terbatuk-batuk karena menghirup asap itu. Matanya terasa pedih. Hanggono mengucek-ucek matanya.

Namun ketika matanya terbuka, spontan Hanggono memekik. Di depannya berdiri perempuan cantik jelita. Tubuhnya langsung. Dia lebih tinggi dari Hanggono. Rambutnya panjang terurai meski tertata rapi. Wajah dan dandanannya, termasuk baju yang dikenakan mirip Panglima Burung.

"Siapa Kamu?"

"Saya yang harus bertanya, siapa Tuan? Mengapa Tuan membawaku ke sini?"

"Ceritanya panjang. Namun intinya aku mau minta bantuanmu karena usahaku sedang bangkrut. Aku meminta bantuan balian Punggu Tera. Aku tidak tahu apa-apa. Kata balian, kamu bisa membantuku keluar dari kesulitan yang tengah aku hadapi..."

"Saya tidak tahu bagaimana caranya membantu Tuan..."

"Jangan panggil aku tuan. Panggil saja Pak. Pak Hanggono," ujar Hanggono sambil mengulurkan tangan meski ragu-ragu. Seperti apa kulitnya. Apakah dia nyata?

"Ilum," sahut perempuan itu sambil menyebut namanya.

"Ilum?" Dahi Hanggono berkerut. Bukankah Panglima Kumbang dan juga Punggu Tera memanggilnya dengan Putri Kinanti?

"Ya, nama saya Putri Kinanti, tapi keluarga saya memanggil dengan sebutan itu..."

"Oh..." Mulut hanggono ternganga. Telapak tangan Putri Kinanti atau Ilum, sangat lembut. Bahkan Hanggono merasa telapak tangan Ilum tidak memiliki tulang. Digenggamnya tangan itu lalu dicium punggungnya.

"Aku mohon bantuanmu, Putri Cantik. Apapun akan aku lakukan agar bisa mengembalikan kejayaan usahaku. Tolong aku ya..."

"Sebisa mungkin saya akan menolong Tuan, eh, Bapak. Tetapi Bapak harus mengembalikan saya ke Joloi sesuai janji yang diucapkan kepada Panglima Burung!" tegas Ilum.

"Baiklah, saya janji," sahut Hanggono sambil melepas tangan Ilum. Ia mulai memikirkan bagaimana caranya membawa Ilum ke Jakarta. Kalau dibawa seperti kondisi saat ini, tentu akan menimbulkan banyak pertanyaan. Apa yang harus aku katakan jika ada yang menanyakan siapa Ilum? Wajah Ilum sama sekali tidak ada kemiripan dengna wajahnya sehingga jika diakui sebagai anaknya, pasti tidak ada yang percaya. Aku harus memasukkan kembali ke botol, putus Hanggono.

Hanggono lantas membaca mantra yang diberikan Punggu Tera. Perlahan terjadi perubahan pada diri Ilum. tubuhnya berubah menjadi asap, bergulung seperti angin puting beliung, sebelum kemudian masuk ke dalam botol kecil di tangan kiri Hanggono. Setelah seluruh asap itu masuk ke dalam botol, Hanggono lalu menutupnya. hati Hanggono mendadak merasa gembira ketika dilihatnya ada dalam botol itu. Ternyata memelihara makhluk gaib itu tidak rumit, gumamnya. Jika tahu seperti ini,m seharusnya sejak dulu aku meminta bantuan Ki Alas Purwo dan Punggu Tera.

Selintas Hanggono teringat pada Ki Alas Purwo. Di mana dia sekarang? Mungkin dia terperangkap dalam gunung batu itu dan tubuhnya mengeciul seperti Ilum. Ah, nanti saja aku pikirkan bagaimana caranya membebaskanmu, Ki! Saat ini yang penting usahaku bisa pulih dulu, simpul Hanggono. ia menyimpan botol ajaib itu di bawah tempat tidur. Setelah itu Hanggono menghempaskan tubuhnya di atas kasur tipis. Jika tidak sedang terpaksa, mungkin ia tidak bisa tidur di atas kasur seperti itu. Apalagi kamarnya sangat sumpek tanpa pendingain ruangan. Namun ini jauh lebih baik dari pada aku tidur di tengah belantara, pikir Hanggono. Sesaat kemudian matanya terpejam.

Esoknya Hanggono membawa Ilum ke Jakarta. Ia menyewa apartemen dan menempatkan Ilum di situ. Ilum diangkat menjadi pegawai dan mendapat kedudukan tinggi yakni sekretaris perusahaan induk atau holding company. Posisi itu sangat strategis karena hanya setingkat di bawah komisaris utama. Ilum bisa melakukan pemeriksaan terhadap seluruh keuangan perusahaan. Setiap hari selama lebih dari seminggu, Hanggono mengajarinya soal seluk-beluk perusahaannya. Hal itu dimaksudkan agar karyawan lain, terutama istrinya tidak curiga. Apa jadinya jika seorang sekretaris perusahan tidak tahu tentang istilah-istilah perusahaan?

"Beliau lulusan USA. Saya harap kehadiran Saudari Ilum akan memperkuat bisnis kita di semua lini. Dalam kondisi seperti yang kita alami saat ini, kita membutuhkan karyawan yang fresh graduate. Kita butuh pemikiran-pemikiran segar untuk membuat terobosan bisnis di masa mendatang," ujar Hanggono ketika memperkenalkan Ilum kepada jajaran komisaris dan direksi.

Tidak ada yang menolak atau mempertanyakan asal usul Ilum Hal itu terjadi karena sebelumnya Ilum atas perintah Hanggono, menggunakan ilmunya untuk mempengaruhi pikiran semua peserta rapat. Setiap kali Ilum bicara, meski kadang tidak menyambung dengan konteks bahasan, tetap saja yang terdengar decak kagum. kecantikan Ilum membuat ruang rapat yang biasanya tegang menjadi cari dan penuh gelak tawa. Beberapa keputusan penting dibuat dan semua jajaran terkait dengan senang hati melaksanakan keputusan itu tanpa protes!

Pada saat bersamaan, Hanggono memberi tugas rahasia kepada Ilum. Tugas pertama, menghabisi Tan Tjun dan mengambil dokumen penting terkait kepemilikan saham perusahaan konstruksi. Setelah menguasai saham itu, Hanggono memerintahkan pengacara membuat surat jual beli dan melaporkannya pada otoritas bursa saham. Bersamaan dengan hari ditemukannya jasad Tan Tjun yan gmeninggalkan akibat serangan jantung setidaknya demikain laporan medis yang diterima keluarganya, harga saham perusahaan konstruksi yang tengah mengerjakan pembangunan bandara di salah satu provinsi di Indonesia bagian timur, melonjak drastis. Sebab otoritas bursa efek mengumumkan Hanggono sebagai pemegang saham terbesar dan akan menarik sebagian saham di pasar!

Atas keberhjasilan itu, Hanggono menghadiahi Ilum baju-baju mahal dan sebuah mobil sedan bergaya sport. Meski Ilum bisa pergi ke manapun dalam waktu sekejap tanpa perlu kendaraan, namun untuk acara-acara resmi, seperti ke kantor  Hanggono memaksany agar  memnbawa mobil untuk menghindari kecurigaan orang-orang kantor. Apa jadinya jika suatu ketika ada yang memergoki Ilum muncul mendadak di depan mereka.

Ternyata hanya butuh lima menit untuk mengajari gadis dari Joloi itu menyetir mobil. Selesai Hanggono menerangkan kegunaan masing-masing alat yang terpasang, Ilum langsung bisa menjalankan mobil matic itu dengan lincah. Hanggono yang duduk di jok tengah bengong ketika Ilum begitu lincah menjalankan mobil itu. Meski jalan Sudirman cukup lengang di malam hari, tetap saja Hanggono merasa jantungan. Ia minta diturunkan di depan Gelora Bung Karno dan pulang naik taksi. Setelah menurunkan Hanggono, Ilum kembali memacu mobil mengelilingi Jakarta.

BERSAMBUNG...



Wahyono, Yon Bayu. 2013. Majalah Misteri Edisi 568. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.