Pesanggrahan Paras Boyolali
Pesanggrahan Paras Boyolali
Anantaboga atau Antaboga, adalah seekor ular raksasa yang hidup dibawah tanah. Setelah dewasa, ia ditunjuk oleh Shang Hyang Jagad Giri Nada, penguasa Triloka, untuk menjadi penguasa dasar Bumi. Dia bergelar Shang Hyang Antaboga (Anantaboga), atau Shang Hyang Nagawasesa, dan atau Shang Hyang Basuki, sebagai penguasa dasar bumi yang istananya disebut Kahyangan Saptapertala atau lapisan ketujuh dari bumi. Walaupun terletak di kerak bumi, keadaan kahyangan Saptapratala tidak beda jauh dengan kahyangan lainnya. Dari isterinya yang bernama Dewi Supreti, telah terproduksi dua hasil kasih, yaitu Dewi Nagagini dan Naga Tatmala.

Keris Anantaboga - Keris Pusaka Berbentuk Raja Ular Telah Muncul Kepermukaan Bumi - Berkaitan dengan Shang Hyang Anantaboga, beberapa waktu lalu telah ditemukan sebuah pusaka berbentuk raja ular, Shang Hyang Antaboga, disekitar Pesanggrahan Paras, peninggalan Ingkang Minulya Sinuhun Paku Buwono X, raja teragung dinegeri Surakarta Hadiningrat.

Peanggrahan Paras terletak di lereng Gunung MErapi. Dan yang menarik, salah satu Dahyang penguasa pesanggrahan Paras adalah Eyang Parasari. Menarik ditelusuri, siapa Eyang Parasasri, bawahan Shang Hyang Anantaboga atau nama lain Anantaboga? Dan kenapa Sinuhun Paku Buwono X yang nama kecilnya Malikul Kusno ini menamakan Pesanggrahan tersebut 'Paras'?

Sewaktu menjejakkan kaki di Pesanggrahan Paras - Boyolali, Jawa Tengah ini, memang tidak terawat dengan baik. Memang bangunannya tidak menunjukkan kekunoan, karena memang dibangun semasa PB X. Yang mencirikan itu peninggalan Keraton, didepan bangunan rumah terdapat beberapa patung sebagai ciri khas milik para bangsawan tempo dulu.

Menarik sekali, krentek (niat) batin ini menapak lebih jauh dunia astral tempat tersebut. Dengan mengosongkan kehendak, menuju jati diri alam 'hanong-heneng-hening' tertuju pada Ciptaning rasa pangrasa. Terbukalah hijab, 'byar terawangan'. Ternyata di pesanggrahan paras ada pintu astral ke keraton Merapi yang didasarnya itulah merupakan Kahyangan Saptapratala, yang dijaga spesies melata ular dengan bentuk dari utuh seekor ular, setengah manusia dan ular, dan yang sempurna berbentuk sosok manusia.

Shang Hyang Anantaboga adalah tokoh sentral yang disebut-sebut oleh warga sekitar dan bila keraton Yogya melakukan labuhan di Merapi sebagai tokoh ke lima. Dia dipercaya menjaga keseimbangan gunung sebagai punjer bumi agar tidak tenggelam ke dasarnya.

Saat manekung inilah, penulis bertemu sosok naga, pakai jamang (mahkota kecil) dengan warna keemasan yang berarti memiliki makna untuk kemakmuran. Dia mengaku bernama Naga Kalpika Bumi, juga sering disebut Eyang Parasari. Mungkin karena nama Dahnyangnya Eyang Parasari, maka pesanggrahan ini dinamakan Pesanggrahan Paras.

Seorang teman yang trah dari Pulau Dewata, mengatakan Kalpkika adalah cincin, sedang bumi adalah pertiwi, yang berarti Cincin Jagad. Mungkin pusaka ini diciptakan untuk para pemimpin, untuk menjadi sipat kandel. Dalam kearifan lokal, dunia lelembut itu dihargai keberadaannya, tapi bukan untuk dipuja. Namun seringkali, manusia yang memiliki banyak kelebihan dibanding makhluk lainnya, suka merendahkan diri mengabdi pada lelembut.

Rendahnya martabat inilah yang sekarang terwarisi pada generasi sekarang. Bukan pada lelembut, tapi pada harga dirinya sendiri. Seperti banyak orang kaya (mampu) berebtu BLT. Atau para orang tua yang suka meminta 'Surat Miskin' demi bebas SPP anaknya dan syukur-syukur dapat bantuan lainnya, untuk keperluan shopping baju, untuk tampil modis penuh gaya. Tidak pejabatnya, tidak rakyatnya, sebagian telah tererosi akhlaknya.

Keraton Surakarta Hadiningrat, sewaktu pemerintahan Paku Buwono X, yang terkenal kaya dan arif bijaksana ini, untuk Pesanggrahan Paras ada ritual caos sesaji. Meski pada raja-raja berikutnya tidak dilanjutkan karena krisis keuangan di keraton kala itu. Namun warga Desa Lencoh, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tetap melakukan caos sesaji yang dilakukan tiap malam 1 Asyuro, dengan menumbalkan seekor kerbau ke Gunung Merapi. Sedang sekarang yang dipersembahkan cuma kepalanya saja. Sebab, wargapun juga makin pintar, kalau dagingnya dapat dimakan untuk pesta, untuk para lelembut Gunung Merapi cukup kepalanya saja yang tidak ada dagingnya.

Saat mau pulang dari Pesanggrahan Paras, dan diwaktu istirahat, tiba-tiba muncul sosok lelaki berbaju karang pradesan. Apakah ini manusia atau jelmaan lelembut? Alhamdulillah, ternyata satu sepesies, dia Titah Sawantah; manusia biasa.

Dari balik baju kumlanya, dia menyerahkan sebulah keris pusaka, dan dia bilang, "Titip pusaka ini, berikan pada teman anda."

"Lho!?" pikirku penuh tanya, kenapa bukan aku?

Belum hilang rasa heranku, "Tolong diganti dengan rokok aja, ya?"

"Saya tidak merokok, Pak?"

"Bego amat, ya, bisa seharga rokok kan? Masa ga punya uang segitu?"

Kurang asem, pikirku, lalu kuberikan uang selembar Rp 50.000,-

"Benar berikan temanmu, yang akan cerita pada kamu kalau di rumahnya didatangi seekor burung elang. Dialah pemiliknya," katanya, lalu ngeloyor pergi. Aku amati terus, kok, gak hilang-hilang seperti kisah-kisah misteri.
Keris Sang Anantaboga
Keris Sang Anantaboga
Aku amati pusaka ligan (tanpa warangka) dengan penuh karat. Ternyata berbentuk sosok dewa yang sedang naik naga. Kebetulan sangat menykai Eksoteri maupun Esoteris pusaka-pusaka lama. Dan dari pengamatan penulis, pusaka ini termasuk tangguh Madya, Dibuat oleh seniman/Mpu yan gbernama Eyang Karto Mandrangi, sewaktu pemerintahan Paku Buwono X.

Sedangkan Kangjeng Pangeran Hamidjojo, Ba., sesepuh yang penulis mintai pendapatnya mengatakan: "pusaka ini gubahan dari tombah tua yang sudah aus namun ampuh, karena auranya sangat pekat di zaman Majapahit. Manfaat auranya untuk Kedrajatan dan keselamatan, bukan untuk perorangan tapi keluarga/orang serumah, akan kajen keringan (dihormati orang)."

Dari sisi Esoteris (gaib) lainnya pusaka itu menunjukkan siluet sosok orang tua berjanggut putih rambut panjang terurai memakai kuluk kanigoro, naik seekor naga berwarna kuning keemasan. Untuk merangsang bangkitnya aura beri wewangian (aromatherapy) tiap hari sekali (Anggara Kasih) olesi minyak kasturi dan bunga liman. Cocok untuk kasepuhan dan tetulung (membantu/memberi pertolongan).

Di sisi belahan lain di Jakarta, seorang teman menghubungi, "Dua hari ini ada dua burung elang coklat Jawa berputar-putar di atas kantorku di lantai 19. Padahal seumur-umur kerja di tempat ini belum pernah ada kejadian seperti ini." Kata KRT Puspahadi Wijaya, sahabat karibku, lanjutnya, "malah beberapa teman bilang, "Sepertinya di kantor ini ada yang punya pusaka ampuh nih!"

Nah... apa yang dikatakan orang di Pesanggrahan Paras kemarin benar adanya itu. maka segera penulis katakan kisah penyerahan pusaka Shang Hyang Anantaboga itu. Teman pun menyambut dengan gembira, dan tentunya ia tak lupa memberikan pengganti uang rokok yang penulis keluarkan dikali 20, impaskan?

Menurut sahabat dari Pulau Dewata, Parasari artinya inti ajaran. Sedangkan Ananta adalah tiada berhenti memberi, Boga berarti makanan/rezeki. Mungkin keris kecil dari gubahan tombak tua Majapahit ini oleh pembuatnya Eyang Mandrangi diharapkan dapat kelimpahan rezeki tiada henti dan tak kan kekurangan makan, dan semoga ingat untuk berbagi menjadi dermawan.

Menelusuri tentang Eyang Parasari, penulis menghubungi sahabat yang ada di Kota Kembang Bandung, bernama Ronni Samikan, penjual Gudeg Yogya. Sebuah profesi yang unik, oran gBandung jualan Gudeg Yogya. Mungkin ia terinspirasi dengan lagu yang berjudul "Gudeg Ypgya Peuyeng Bandung". Dia menceritakan tentang ksiah masa lalunya yang suka belajar ilmu gaib.

Dulu waktu belajar gaib, ada nama raja ular yang bernama Eyang Parasari (ada kesamaan dengan Pesanggrahan Paras - Boyolali, peninggalan PB X), oleh guru diberi mantra:

"Bismi warisi suma bil qolbi... Allahumma doa puter bumi nu muter nabi Muhammad di puter kusahadat tunggal ning iman bali tulak dunya balak tulak akhirat bumi rucita jagad rucita anikaken maling Allah dipinu kurasullah kaping tilu kumalaikat kaping opat ku wali songo kaping lima wali tunggal kang linggihing di cirebon girang. Simang mang simanggung simatullah sima manuso hakum. Hidung bulem bungkem reep meneng atine wong sajagad kabeh."

Kata Ronni Samijan - Bandung; "Dulu awalnya belajar elmu ngemat (mangil dalam bahasa SUnda dinamakan Ngemat Pamacan atau manggil ilmu macan. Dan manggil ilmu hewan lain seperti Paucing (kucing), kalong, ular, gagak, yang masuk ke badan wadag saya ada 2; macan lodra (rajanya macan) dan Gagak Lumayung. Kata guru saya yang masuk ke badan saya juga 2 raja: Gagak Lumayung (Prabu Kian Santang) dan Ciung Wanara.

Lewat medium teman seperguruan, saya diberi tahu Gagak Lumayung dan oleh guru saya adalah Eyang Parasari, raja ular. Untuk memanggilnya ada manteranya (seperti diatas). Katanya kekuasaan gaibnya Eyang Parasari cuma di Jawa Barat. Nama Guru saya Pak Ohid, yang sekarang pindah ke Jambi.

Sedang menurut kakek saya yang jadi juru sembuh bagi orang yang kena gigitan ular berbeisa, Eyang Prasari ini kekuasaannya di seluruh Pulau Jawa, Madura, hingga Bali. Hal ini diperkuat oleh guru gaib saya Gagak Lumayung.

Pernah kejadian dirumah ada ular masuk, saya bunuh, malamnya saya mimpi didatangi sosok naga yang mengaku bernama Eyang Prasari, dan naga itu marah karena saya telah membunuh anak buahnya, hingga jatuh sakit berbulan-bulan.

Dan akhirnya diobatin oleh kakek saya. Ia berpesan jangan pernah lagi membunuh ular yang masuk ke rumah. Sedangkan sahabat Eyang Parasari bernama Eyang Panjaratan, salah satu nama wali yang hidup di dalam air. Itulah gaib, sulit di rasio/nalar.



Puspowijoyo, Raden Tumenggung Goenawan. 2013. Majalah Misteri Edisi 568. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.