Ghibah
Ghibah
 

Dalam Riyadhus Shalihin, kitab al-Umurul Manhie 'anha (Hal-hal yang dilarang dalam agama), Imam Nawawi rahimahullah salah seorang tokoh ulama besar dari madzhab Syafi'i menyebutkan satu bab khusus Maa Yubaahu Minal Ghibah (Apa-apa yang diperbolehkan dari Ghibah), setelah beliau rahimahullah menjelaskan tentang haram dan bahaya ghibah, agar kita tidak mudah melakukan ghibah dan tidak pula melampaui batas dalam menjauhinya, sehingga tidak mau memperingatkan bahaya penyimpangan-penyimpangan aliran sesat.

Ghibah - Dalam kitab tersebut, beliau rahimahullah berkata: "Ketahuilah bahwa ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar sesuai dengan syariat, yang hal itu tidak mungkin ditempuh kecuali dengan ghibah. Yang demikian terjadi dengan enam sebab:

Pertama: mengaduykan kedhaliman orang yang terdhalimi diperbolehkan untuk melaporkan perbuatan pelakunya kepada penguasa, hakim atau yang lainnya yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk memperlakukannya secara adil. Seperti seorang yang berkata: "Si Fulan mendhalimi aku demikian dan demikian".

Kedua: Meminta bantuan dalam mengingkari kemungkaran atau mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar.

Untuk melakukan hal di atas, diperbolehkan unutk mengatakan kepada seorang yang diperkirakan dapat membantu menghilangkan kemungkaran: "Fulan berbuat begini dna begitu, tegurlah ia", atau kelimat-kalimat semisalnya. Tujuannya adalah menghilangkan kemungkaran dan mengembaliaknnya pada jalan yang benar. Jika bukan itu tujuannya, maka hal ini diharamkan.

Ketiga: Meminta fatwa diperbolehkan berkata kepada seorang mufti (ulama yang berfatwa): "Ayahkuy berbuat dhalim kepadaku" atau "Saudaraku, suamiku atau fulan berbuat begini dan begitu kepadaku. Apakah yang demikian diperbolehkan? Dan bagaimana sikapku untuk menghindarinya dan kembalimendapatkan hak-hakku serta menghindari kedhaliman tersebut?" atau kalimnat yang semisalnya.

Jika hal ini diperlukan, maka yang demikian diperbolehkan. Namun yang lebih utama hendaknya mengucapkannya dengan samar, seperti perkataan:

"Seseorang atau seorang suami berbuat demikian".

Karena dengan cara ini telah cukup untuk mencapai maksud dan tujuannya, tanpa perlu menyebutkan nama orang tertentu (ta'yin). Walaupun demikian menyebutkannya dengna ta'yin itu pun diperbolehkan sebagaimana yang akan kami sebutkan dalam hadits tentang Hindun, Insya Allah.

Keempat: memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan dan kejahatan seseorang serta menasehati mereka dari bahayanya Hal di atas ada beberapa sisi, di antaranya:

  • Menjauhi perawi-perawi hadits yang dhaif atau saksi-saksi yang tidak terpercaya. Yang demikian diperbolehkan menurut kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukjumnya dapat menjadi wajib ketika diperlukan.
  • Musyawarah dalam masalah pernikahan seseorang atau dalam hubungan dagang, penitipan barang atau muamalah-muamalah lainnya. Wajib bagi seorang yang diajak musywarah untuk menerangkan keadaan sebenarnya dan tidak boleh menyembunyikan keadaannya, bahkan harus disebutkan kejelekan-kejelekan dan aib-aib yang ada pada orang tersebut dengan niat menasehatinya.
  • Jika seorang pencari ilmu fiqh mendatangai ahlul bid'ah (aliran sesat) atau orang yang fasiq untuk mengambil ilmu, sementara dikhawatirkan dia akan mendapatkan kejelekan, maka kita perlu menasehatinya dengan menjelaskan keadaan orang itu sebenarnya dengan syarat meniatkannya sebagai nasehat.

    Namun ini yang sering disalahgunakan. Kadang-kadang seorang yang berbicara seperti itu ternyata hanya karena dorongan hasad (iri dan dengki), sedangkan setan mengkaburkan terhadapnya dan menggambarkan seakan-akan itu adalah nasehat. Maka hendaklah kita memperhatikannya dengan jeli.
  • Jika ada seorang yang memiliki tangggung jawab kepemimpinan, tetapi dia tidak melaksanakannya dengan baik. Apakah karena memang ia tidak cocok untuk tugas itu atau dia adalah seorang yang fasik dan lalai, dan semisalnya.

    Wajib menyebutkan keadaan orang tersebut kepada orang yang berada di atasnya dalam hal kekuasaan, agar memecat dan menggantinya dengna orang yang lebih baik. Atau paling tidak diberitahu atasannya agar orang tersebut diperlakukan sebagaimana mestinya dan tidak tertipu dengan sikapnya yang seakan baik, atau agar atasannya berupaya membimbing dan menganjurkan agar orang tersebut istiqamah atau merubah perbuatannya.

Kelima: orang yang terang-terangan dalam berbuat kefasikan atau kebid'ahan seperti dia terang-terangan minum khamr, pemeras manusia, pencatut, merampas harta manusia dan dhalim, melakukan perkara-perkara yang bathil.

Keenam: mengenalkan jika seseorang dikenal dengna julukannya seperti "si juling", "si pincang", "si tuli", atau "si buta" dan lain-lain , maka boleh mengenalkan orang tersebut dengan julukan-julukannya. Namun tidak boleh menyebutkannya dengan maksud mengejek dan merendahkannya. Kalau memungkinakn untuk dikenalkan dengan selain itu, maka hal tersebut lebih baik.

Inilah enam perkara yang merupakan sebab diperbolehkannya ghibah yang disebutkan oleh para ulama, yang kebanyakannya disepakati secara ijma'.



Ismatullah. 2013. Majalah Misteri Edisi 568. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.