Dipaksa Menikah Dengan Jin
Dipaksa Menikah Dengan Jin

Tumpukan uang itu akan segera menjadi milikku. Jumlahnya sangat banyak, berlipat-lipat dari yang aku butuhkan untuk menutup hutang. Aku tinggal bilang 'iya', maka aku akan resmi menjadi istri jin muslim berwajah tampan yang masih berusia belasan tahun.

Dipaksa Menikah Dengan Jin - Suatu hari dimana kesulitan sedang melanda kehidupanku, ada seorang kenalan di pasar, tempat aku mencari nafkah, sebut saja nama panggilannya Mbak Wita. Dia seorang guru. Mbak Wita datang kepadaku menawarkan sesuatu yang akan meringkankan beban hidupku yang sedang mengalami kesusahan.

Dengan niat baiknya, mbak WIta mengatakan bahwa aku mau ditolong, siapapun orangnya pasti akan berkata mau bila dalam kesulitan ditawarkan sesuatu yang menjanjikan. Dia berkata, aku akan diangkat derajatnya, aku akan dibantu untuk bisa membayar hutang-hutangku.

Betapa senang aku mendengarnya. Aku ingin sekali cepat-cepat melunasi hutang-hutangku, apalagi hutangku pada rentenir yang membuat aku sengsara. Sepulang dari pasar, aku cepat-cepat mandi dan melaksanakan sholat dhuha, dan tak henti-hentinya ku ucapkan puji syukur kepada Allah SWT. Apa benar di zaman sesulit ini masih ada orang yang peduli pada orang miskin seperti aku ini. Di tengah malam, aku bangun untuk melaksanakan sholat malam. Aku bersujud sambil mulutku tak henti-hentinya ku ucapkan alhamdulillah.

Keesokan harinya aku dijemut oleh lima orang pria, salah satunya dalah suami mbak Wita, pak Guru SD PP Sumber Cirebon. Tepatnya 15 Febuari 2008 mereka datang mengendarai mobil kijang berwarna coklat. Salah seorang diantara mereka, menyuruh aku agar mencatat semua hutang-hutangku.

"Ingat bu hutang-hutang ibu jangan sampai ada yang terlupa, sebesar apapun hutang ibu akan terlunasi," kata mereka.

Setelah aku mencatat hutang-hutangku, kuserahkan catatan hutangku pada mereka. Setelah itu kami berangkat. Aku berangkat tidak sendiri, aku ajak anakku yang paling besar besar, juga anakku yang paling kecil, yang usianya waktu itu baru 2 tahun. Di dalam mobil kudengar mereka membicarakan tentang persiapan yang akan diserahkan pada seorang Kyai. Mereka menyebut-nyebut kembang tujuh rupa juga kain kafannya untuk mas kawin.

Mendengar hal itu hatiku mulai curiga. Mau diapakan aku ini, apa benar ada seorang kyai yang akan melimpahkan hartanya hanya untuk menolong orang miskin seperti aku. Tapi mereka menyebut-nyebut mas kawin? Apa aku mau dikawinkan? Tapi mas kawin masa kain kafan? Bukankah kalau mas kawin biasanya itu sejumlah uang atau perhiasan? Tapi yang kudengar kali ini kok kain kafan dan kembang tujuh rupa, pikirku.

Tapi akhirnya aku tak amu peduli, aku tak mau tahu dengan urusan mereka. Aku hanya diam sambil memeluk anak-anakku. Tak lama kemudian mobil memasuki perkampungan, dan sepertinya perkampungan itu aku kenal, perkampungan yang bernama kampung Jaha, Cirebon Girang. Aku pernah melewati kampung ini, waktu aku ke kampung Plaosan, pergi memenuhi undangan temanku yang hajatan. Memang perjalanan dari rumah menuju kampung Jaha tidak memakan waktu lama, hanya sekitar satu setengah jam saja. Tak lama kemudian kami tiba di tempat yang dituju, dimana ada seorang kyai yang mau menolongku dari kesusahan yang menghimpit.

Mobil berhenti persis di depan pondok bambu, bangunannya unik. Pondoknya tidak besar, hanya satu kamar juga di panggung. Pondok itu jauh dari rumah penduduk lainnya. Banyak pohon jati dan pepohonan lainnya mengelilingi pondok itu, membuat tempat sekitar pondok terkesan angker. Di atas pintunya, ada kepala rusa yang sepertinya sengaja diawetkan. Juga ada beberapa bambu yang ujungnya runcing yang dibalut dengan kain putih.

Dari halaman pondok sudah tercium bau dupa serta wewangian yang menusuk hidung. Begitu aku mencium bau dupa aku menghentikan langkahku. Dalam hati aku bertanya-tanya, tempat apakah ini? masa seorang kyai tinggal di tempat seperti ini. Rasanya janggal sekali. Namun aku percaya pada keyakinanku, aku hanya percaya Allah SWT. "Aku berdiri di atas jalanMu ya Allah," bisikku dalam hati.

"Ayo bu jalan, Pak Kyai sudah menunggu kita," pak Guru memerintah agar aku berjalan. Aku pun melangkahkan kakiku berjalan ke arah pondok yang ada di hadapanku.

Salah satu dari kami segera mengucapkan salam, dari dalam pondok terdengar jawaban salam kami. Tak lama keluar seorang pemuda yang kira-kira berumur 20 tahun, yang segera mempersilahkan kami masuk dan membawa kami ke tempat yang sudah tersedia. Kami duduk di dalam hanya beralas tikar yang terbuat dari daun pandan. Aku duduk sambil memeluk anakku yang kecil, sedangkan anakku yang besar tidak ikut masuk, dia menunggu di luar pondok.

Aku lihat di setiap dinding yang terbuat dari bambu itu ada beberapa keris terselip dengan dengan berkalung untaian melati. Juga ada beberapa foto tergantung di dinding yang aku kenal. Di antaranya ada foto laki-laki berambut panjang bersama orang yang aku kenal mbak Riris, bersama seorang pejabat. Juga ada foto laki-laki itu, sang pejabat bersama mbak Wita.

Menurut keterangan anak muda yang menyambut kami, bahwa para pejabat itu adalah para tamu pak Kyai atau kliennya pak Kyai. Aku sedikit tidak percaya, masa sih mereka mau ke tempat seperti ini, apa ini hanya rekayasa?

Setelah kami duduk agak cukup lama keluarlah dari arah pintu kamar seorang pria berpakaian aneh, kira-kira umurnya 50 tahun. Rambutnya panjang memakai ikat kepala berwarna putih begitu juga pakaiannya, tidak layaknya seorang Kyai. Pria itu berjalan seperti pendekar Wiro Sableng, di pinggangnya terselup sebilah keris.

Semua yang ada di ruang itu segera menyambutnya sambil mengucapkan salam, mereka menyebutnya Pak Kyai. Aku pun segera mengikuti yang lain, ku ucapkan salam, Pak Kyai membalasnya dengan senyum. Ramah juga Pak Kyai ini, tidak seperti tampangnya yang seram.

Pak Kyai dan Pak Guru juga dengna teman-teman yang ikut rombongan kami rupanya sudah lama saling mengenal. Mereka ngobrol kesana-kemari sambil diselingi dengan gurauan, bercerita waktu masa kecil mereka. Aku hanya terdiam dan tertunduk saja, karena di antara mereka tidak ada wanita, hanya aku sendiri.

"Bagaimana sudah siap semua apa-apa yang diperlukan?" Tanya pak Kyai setelah lama mereka asyik berbincang masa lalu.

"Sudah pak Kyai," kata pak Guru. Dan pak Kyai bertanya kepadaku, "Ibu betul membutuhkan pertolongan saya?" Tanya pak Kyai.

"Betul Pak Kyai," jawabku. Lalu salah satu di antara mereka menyerahkan catatan utang-utang yang aku harus bayar pada pak Kyai. Pak Kyai memeriksa catatan utangku, setelah melihat itu pak Kyai malah tertawa, dia bilang ini masalah kecil bu. Utangku yang berjumlah Rp 75 juta dibilang kecil.

"Kalau utang ibu menumpuk segunungpun, itu bisa terlunasi dalam waktu yang singkat," katanya.

Dalam hati aku bersyukur dan bertanya, ya ALlah apakah benar yang diucapkan Pak Kyai itu? Pak Kyai juga bercerita, kemarin baru saja pulang orang dari kota Bandung, di apunya utang lebih dari Rp 350 juta bahkan sampai diceraikan sama suaminya. Dia tirakat di sini selama satu minggu, sampai akhirnya berhasil.

"Bagaimana Bu sudah siap," tanya Pak Kyai tiba-tiba membuat aku agak tersentak kaget.

"Kalau sudah siap, mari ibu ikut saya." Aku pun segera memanggil anakku yang besar agar menjaga adiknya, sementara aku mengikuti langkah pak Kyai masuk ke dalam kamar.

Begitu aku sampai di dalam kamar, suasana kamar sangat seram kurasa, padahal hari masih siang. Kulihat disetiap dinding kamar itu ditutupi kain berwarna hitam, sehingga membuat kamar jadi tambah terkesan gelap. Hanya ada satu lilin di dalam kamar membuat suasana semakin menakutkan. Di tambah lagi bau dupa juga wewangian yang membaur, membuat seketika saja bulu kudukku meremang.

"Pak Kyai apakah saya boleh membawa teman masuk ke kamar ini?" Tanyaku pada Kyai.

"Boleh, panggil saja Pak Guru untuk menemani Ibu..." kata pak Kyai. Aku pun segera memanggil Pak Guru untuk masuk ke dalam kamar menemaniku bersama Pak Kyai.

Lalu kami bertiga duduk berhadapan dengan dihalangi sebuah meja kecil yang di atasnya ada sebuah kitab suci Al-Qur'an. Seketika hatiku agak tenang, karena di depanku ada kitab suci Al-Qur'an, setidaknya rasa takutku agak berkurang.

"Bu... Ibu benar mau ditolong?" Tanya Pak Kyai lagi.

"Iya Pak Kyai, saya ini orang susah sdyang sedang membutuhkan pertolongan Pak Kyai," jawabku.

"Iya bu, tapi ada syaratnya Bu..." jelas pak Kyai.

"Saya siap memenuhi syarat itu Pak Kyai asal tidak menyimpang dari ajaran agama kita," sahutku cepat.

"Tidak menyimpang dari ajaran kita pastinya Bu, buat apa saya disebut kyai kalau saya harus berbuat yang dilarang oleh agama kita. Syaratnya mudah saja kok Bu. Ibu kan sudah tidak punya suami, janda, dan ibu punya anak. Ibu cuma harus menikah. Nanti kalau Ibu sudah kaya raya, apa-apa yang Ibu inginkan tercapai dan utang-utangnya sudah terlunasi, ibu boleh datang kemari lagi untuk minta cerai, itu tidak apa-apa," jelas Pak Kyai panjang lebar.

"Lalu saya harus menikah dengan siapa Pak Kyai?" Tanyaku.

"Dia ada di sebelah Ibu."

"Ya Allah... Pak Kyai, masa saya harus menikah dengan Pak Guru. Beliau kan sudah punya seorang istri." Aku lihat Pak Guru hanya tersenyum melihat kecemasanku.

"Bukan dengan Pak Guru, tapi Ibu menikah dengan gaib di situ," kata pak Kyai.

Aku tersentak kaget, jantungku terasa mau copot, keringat dingin tiba-tiba saja sudah kurasakan mengalir membasahi pakaianku. Kerudung yang kukenakan kugunakan untuk mengelap keringat yang juga membasahi wajahku.

"Bagaimana? Ibu termasuk orang yang beruntung. Dia suka sama ibu. Ibu tidak harus tirakat atau berwirid, tinggal bilang iya, Ibu saya nikahkan dan bisa pulang dengan membawa uang banyak. Dan utang ibu dalam waktu tiga hari akan lunas semua," terang Pak Kyai.

"Saya mohon maaf Pak Kyai, Demi Allah sedikitpun saya tidak merendahkan bangsa jin atau sejenisnya, apalagi mengkhianatinya. Hanya saya ini orang bodoh, jadi mungkin saya belum siap. Saya mohon beribu maaf, bukannya saya menampik pemberian atau pertolongan Pak Kyai, tidak, saya hanya takut, takut salah langkah," kataku setelah lama tenggelam dalam pikiran sendiri.

"Kalau saja Pak Guru sebelumnya bercerita pada saya dan kalau saja dari awal saya tahu akan seperti ini, mungkin setidaknya saya minta pendapat para kyai atau sesepuh di kampung saya. Maaf pak Kyai, saya tidak bisa menerima begitu saja, walaupun saya ini miskin bukan berarti saya harus menerima apa yang pak Kyai katakan. Sebab saya belum tahu bagaimana hukumnya kalau bangsa manusia menikah dengan bangsa jin," kataku lagi.

Mendengar penjelasan dan penolakanku, sepertinya Pak Kyai jadi tidak sabar. Aku diminta segera mengambil keputusan. Lalu beliau menyuruh aku untuk memegang AL-Qur'an yang ada di hadapanku. Aku bilang pada pak Kyai aku harus mengambil air wudhu terlebih dulu jika ingin memegang Al-QUr'an. Pak Kyai mengizinkan. Aku pun segera bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah itu aku kembali duduk di tempatku semula, dimana Pak Kyai dan Pak Guru menunggu.

Kemudian pak Kyai meminta aku untuk segera memegang Al-Qur'an. Setelah membaca basmalah, aku pun segera meraih Al-Qur'an yang ada di atas meja. Pak Kyai menyuruh aku untuk mengangkat Al-QUr'an tersebut tepat di atas kepala dan membalikkannya. Setelah itu aku disuruh mengurai lembaran Al-Quran. Lagi-lagi aku membantah perintah Pak Kyai.

"Kalau tidak untuk dibaca, saya tidak mau membuka lembaran-lembaran AL-Qur'an ini," kataku.

"Tidak apa-apa, ini hanya untuk meyakinkan saya, bahwa ibu tidak berbohong dengan keputusan Ibu," kata Pak Kyai. Lalu dengan perasaanagak takut aku mengikuti perintah Pak Kyai. Segera ku buka lembaran AL-Qur'an itu. Dan, Subhanallah, apa yang aku lihat? Dari lembaran Al-Qur'an itu keluar berjatuhan lembaran uang ratusan ribu dan uang dollar! Setelah uang menumpuk dihadapanku, Pak Kyai menyuruh aku menghentikan mengurai lembaran Al-Qur'an dan meletakkannya kembali di atas meja.

"Itu uang untuk Ibu semua. Uang itu yang akan menjadi mas kawin untuk ibu. Uang itu bisa Ibu gunakan untuk apa saja. Ibu mau belanjakan sesuka hati Ibu, itu bisa," kata Pak Kyai.

"Coba Pak Guru lihat dan periksa apakah uang itu asli atau palsu," perintah Pak Kyai. Pak Guru yang sedari tadi hanya bengong melihat tumpukan uang yang keluar dari lembaran Al-Qur'an yang aku uraikan, segera meraih uang-uang itu dan segera menelitinya.

"Benar Pak Kyai ini asli semua."

"Jumlah uang itu Rp 350 juta dan ini hanya permulaan, kalau untuk membayar utang-utang Ibu lain lagi. Uang itu halal tidak ada tumbal. Bila Ibu sudah cukup, harta melimpah, semua keinginan Ibu sudah terbeli, dan Ibu mau cerai, Ibu bisa datang lagi ke sini. Saya akan menceraikan Ibu dengan gaib yang sudah menikahi Ibu," kata Pak Kyai lagi.

"Bagaimana bu, apa sudah siap Ibu menikah dengannya? Kami semua sudah siap menolong Ibu. Tidak sedikit uang yang kami belanjakan untuk membeli persyaratan itu lho Bu..."

"Maaf Pak Kyai, saya tetap pada pendirian saya," kataku terbata.

"Lalu Ibu maunya ditolong yang seperti apa?" Kata pak Kyai agak gusar.

"Maaf Pak Kyai, lebih baik saya pulang, saya takut sama Allah SWT," kataku lagi.

"Bu..., Ibu akan menikah dan jadi istrinya, Allah pasti mengizinkannya. Bukankah dia makhluk Allah juga, sama-sama ciptaannya, bahkan dia lebih bagus ibadahnya dibanding dengan orang miskin bangsa manusia," kata pak Kyai.

"Kalau jin muslim tidak pernah bohong dan ingkar janji, tapi bangsa kita walaupun dia seorang kyai masih ada yang ingkar janji atau berbohong. Kalau sudah melihatnya, Ibu pasti terpesona, dia tampan dan kelihatan seperti remaja usia 20 tahun. Dia dari tadi menunggu Ibu, dia suka sama Ibu..." bujuk Pak Kyai lagi.

"Yah, sekali lagi saya katakan. Siapapun yang ada di sini, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, saya mau pamit pulang saja," tolakku.

"Baiklah kalau sudah demikian keputusan Ibu. Tapi saya beri waktu untuk berpikir sampai besok. Siapa tahu Ibu mau merubah keputusan Ibu hari ini," kata Pak Kyai.

Terimakasih Pak Kyai, maaf saya telah merepotkan kalian, saya ini orang bodoh juga miskin, aku hanya takut kepada Allah," kataku. Sepulangnya dari situ kelima pria tersebut berdebat mempersalahkan masalah yang terjadi di ruang kamar Pak Kyai. mereka saling mempersalahkan satu sama lain.

"Bapak-bapak, saya mohon maaf, saya yang bersalah dalam hal ini. Saya telah menyusahkan kalian," kataku, karena aku merasa tidak enak hati, gara-gara aku mereka jadi berdebat seperti itu.

"Sudahlah Bu, tidak apa-apa," kata Pak  Guru. Sesampai di rumah aku segera bersujud dan menangis mohon ampun kepada Allah SWT. Aku memohon kepada Allah SWT, jika memang Allah mengizinkan aku untuk emnikah dengna bangsa jin muslim itu, kelima orang itu pasti akan menjemput aku kembali. Namun sebaliknya, jika Allah tidak mengizinkan, aku mohon jangan biarkan kelima orang itu datang lagi menjemputku. Aku terus saja memoho minta petunjukNya.

Sejak saat itu sampai detik ini kelima orang itu tak pernah datang lagi ke rumahku. Aku mencintai anak-anakku ketimbang harta benda. Memang aku ini orang miskin, orang susah, seperti yang telah aku tuturkan pada Tim, aku takut anak-anakku dijadikan tumbal. Dengan berharap penderitaanku ini yang terakhir, namun Allah berkehendak lain, berbagai ujian dan cobaan yang amat pedih, menyakitkan, memalukan terus menghampiri kehidupanku. Insya Allah lain kesempatan, akan aku tulis kembali usahaku dalam menghadapi kehidupanku yang menyakitkan itu.

Terimakasih sekali kepada Tim, karena telah memberi petunjuk untuk aku bisa mengobati guna-guna itu. Begitu juga dengan adanya Tim Misteri, aku sangat bersukur kepada Allah SWT, aku bisa berkenalan dengan salah satu paranormal yang pasang iklan di majalah Misteri, walaupun hanya lewat Hp. Beliau telah membimbing aku ke jalan yang benar, beliau juga telah banyak memberikan ilmu agama, sehingga walaupun aku miskin tapi jiwaku terasa damai. Apa-apa yang aku ceritakan di atas bukanlah rekayasa, bahkan Pak Guru yang menjadi saksi semua ini masih hidup. Dan setahun yang lalu aku lewat di kampung yang pernah kami datangi. Aku lihat pondok itu masih ada, tapi sudah tak berpenghuni lagi. Kalau aku ingat kejadian itu, bulu kudukku seketika meremang. Alhamdulillah ALlah maish melindungi aku.

Sekali lagi ku ucapkan terima kasih kepada pengasuh Majalah Misteri. Ada yang ingin aku tanyakan pada pengasuh Mister, mengapa semua orang menilai aku ini buruk laku. Padahal selama ini aku selalu mengalah kepada siapa saja. Aku tidak pernah berbuat nista, dengki atau bertengkar dengan siapapun. Aku selalu beribadah mengerjakan sholat, sampai sholat malam pun aku lakukan secara rutin menjadi suatu kebiasaan bagiku untuk meminta ridho Allah SWT. Ada apakah di balik semua ini? Wassalam...



Ciswati, Mini. 2013. Majalah Misteri Edisi 568. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya. 

 

JIN BUKAN PASANGAN HIDUP MANUSIA

Menikah dengan makhluk gaib memang menjanjikan harta yang melimpah. Tapi resiko yang harus ditanggung tak sebanding dengan kesengsaraan yang harus di tanggung.

Sebaik-baiknya Jin, adalah seburuk-buruknya manusia. Kalimat itu saya rasa perlu untuk ditegaskan pertama kali sebelum membahas lebih jauh tentang fenomena di atas. Bahwa tidak ada harta melimpah dari Jin atau makhluk gaib apapun yang akan diberikan gratis pada manusia adalah sebuah kepastian. Jin adalah makhluk dengan sejuta tipu daya.

Apa yang diucapkannya akan sangat manis terdengar, tapi akibatnya akan sangat buruk bagi manusia itu. Beruntung, ibu dari Cirebon ini memiliki iman yang kuat hingga terhindar dari godaan jin dan manusia. Sesungguhnya dalam kasus ibu ini, godaan dari manusia tentu saja jauh lebih berat ketimbang godaan jin itu sendiri. Belitan utang yang menggunung membuat si ibu rela melakukan apapun untuk menutupi utang itu. Rasa malu terhadap teman, tetangga dan lingkungan bisa membuatnya lupa akan Tuhan. Dalam hal ini yang membuat si ibu bisa terjerumus tentulah orang-orang di sekitarnya itu.

Ini mungkin alasan klasik, kesulitan ekonomi membuat orang lupa diri dan menghalalkan apapun. Termasuk bersekutu dengan jin untuk mendapatkan sejumlah harta. Tapi bersekutu dengan jin tentulah bukan tanpa resiko. Nyawa bisa menjadi taruhan untuk sejumlah harta itu. Lalu dikemudian hari, pelaku tentu saja akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Yang Maha Kuasa.

menanggapi praktek persekutuan di atas, saya meyakini apa yang dilakukan 'Kyai' (menurut ibu ini), di kampung Jaha, Cirebon Girang itu adalah sebuah ketidakwajaran. Mengapa seorang yang bergelar Kyai harus menolong orang lain dengan cara menikahinya dengan bangsa Jin. Tidakkah ada cara lain untuk menolong manusia dengan cara yang lebih baik. Sebab mendapatkan uang dengan cara instant seperti itu tentulah ada resikonya. Walaupun Kyai itu mengatakan tanpa resiko, ini hanya sebuah rayuan untuk menjerat korban.

Dalam kasus ini, saya melihat ada perjanjian tersembunyi antara Kyai itu dengan Jin yang dipeliharanya. Entahlah mungkin dengan cara menikahkan manusia dengan jin peliharaannya itu si Kyai kemudian mendapatkan ilmu yang jauh lebih sakti. Atau mungkin juga Kyai itu akan mendapatkan bagian harta dari Jin peliharaannya. Atau ada perjanjian lain yang kita sendiri tidak akan mengetahuinya, selain Jin dan Kyai itu.

Kemudian dalam beberapa kasus pernikahan manusia dengan jin, kerap disertai dengna kehamilan dan kelahiran seorang manusia dari rahim wanita yang dinikahi Jin itu. Saat mengandung, si wanita kerap mengalami peristiwa-peristiwa aneh yang sulit dicerna akal sehat. Lalu saat ia melahirkan, akan disertai rasa sakit yang tidak wajar. Sakit yang teramat sakit. Kemudian saat jabang bayi itu terlahir keluar dengan balutan darah dan lendir, jabang bayi itu akan menghilang disertai dengan meninggalnya wanita yang melahirkan itu. Dan inilah akhir dari persekutuannya.



Supriatna, Eka. 2013. Majalah Misteri Edisi 568. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.