AMALAN MENDATANGKAN REZEKI
Perlahan tetapi pasti, kehidupannya yang semula hanya cukup untuk sehari-hari, kini, mulai berubah...

Amalan Mendatangkan Rezeki - Setelah menikah, entah kenapa, kehidupan Rohendi benar-benar berubah ia tak lagi seperti dulu, boleh dikata, setiap minggu awal bulan, sosok yang semula gemar membantu teman-temannya kini mulai kelabakan mencari pinjaman. Beruntung, semua teman yang pernah ditolong bersedia membantunya.

beberapa teman yang sampai sekarang masih setia membantu pun bingung, sehingga, tanpa sadar, mereka pun bertanya-tanya. "Gua bingung, abis nikah, si Bewok kok jadi kayak kebakaran jenggot ye," kata Aru pada suatu hari.

Dirgo pun menimpali: "Iye... padahal setau gue, Nina bukan perempuan matre."

"Tiap orang kan punya kebutuhan, yang jelas, gua cuma kasihan karena dulu dia sering bantu kita," sahut Anto dengan santai. Memang, ketika masih sama-sama bujangan, walau banyak yang dibantu oleh Rohendi yang akrab disapa dengan Bewok, tetapi hanya tiga sahabtnya ini yang tetap setia dan tak banyak mulut dalam membantunya. Tak hanya ketiga sahabatnya, Rohendi sendiri bingung, kenapa setelah menikah dirinya begitu sulit untuk mendapatkan tambahan uang. Berbeda pada waktu sendiri, boleh dikata, apa yang diucapkan atau dipegang pasti jadi uang. Dari kelebihan itulah ia bisa membantu teman-teman serta kedua adiknya yang sampai sekarang masih tinggal di kampung halamannya, Bumiayu.

Kian hari, kegalauan Rohendi pun kian nampak. Delain lebih banyak diam, wajahnya pun tampak selalu kusut.

Di tengah-tengah itu, pencerahan pun datang. Anto, sang sahabat yan gpendiam dan berasal dari Brebes, entah kenapa, sekali ini nekat menawarkan Rohendi untuk berkonsultasi dengan Pakde Marto, kakak sang ayah yang dikenal sebagai salah seorang taat dalam menjalankan agama.

"Wok, enaknya lu besok ikut gua mudik barang dua hari. Siapa tau, di sana lu dapat ide bagus," kata Anto

"Boleh tuh," sahut Rohendi antusias, "itung-itung refreshing. Mudah-mudahan bokin ngasih ijin," sambungnya lagi.

Singkat kata, setelah mendapatkan izin dari Nina, pada hari yang telah ditentukan, kedua sahabat pun berangkat menuju Brebes. Sesampainya di sana, keluarga Anto dengan ramah menyambut Rohendi. Setelah saling menanyakan kabar dan saling memperkenalkan diri, akhirnya, Anto pun berkata kepada sang ayah: "Sebenarnya, selain menghadiri acara perkawinan, saya dan Rohendi ingin bicara banyak sama Pakde Marto."

"Lho... ada apa?" Tanya sang ayah penuh selidik.

Dengan singkat Anto pun menceritakan apa yang selama ini dialami oleh Rohendi, sahabat yang sebelumnya banyak menolongnya. "Ah... kalau begitu, silahkan, mudah-mudahan, Pakde Marto dapat memberikan jalan yang terbaik buat Nak Rohendi."

"Terima kasih Pak," kata Rohendi dengan harap-harap cemas.

Esoknya, usai mendirikan sholat Isya berjamaah, kedua sahabat itu tampak berjalan menuju ke rumah Pakde Marto.

"Assalamu'alaikum," demikian kedua sahabat uluk salam.

"Walaukumsalam," terdengar suara sambutan dari dalam.

"Oh... Anto," demikian kata sang Bude Marto sambil membukakan pintu.

"Terimakasih," sahut Anto dan Rohendi sambil mencium tangan paruh baya itu sebagai tanda penghormatan dan masuk ke dalam.

"Silahkan duduk dulu", lanjut sang bude sambil berjalan masuk.

Tak lama kemudian, tampak Pakde Marto yang berjalan menghampiri keduanya. Setelah mencium tangan sang Pakde, ketiganya langsung terlibat dalam pembicaraan yang hangat. Kemudian, Anto pun berkata dalam bahasa Jawa halus;

"Pakde, sebenarnya, Rohendi mau ada perlu."

"Ada apa Nak, silahkan cerita saja mudah-mudahakn saya bisa memberikan saran," sahut Pakde Marto, "dan goreng pisangnya jangan lupa dicoba. Nanti Bude-mu marah kalau goreng pisangnya masih utuh."

Suasana yang semula mendadak tegang kembali mencair. dengan sedikit malu, Rohendi pun menceritakan pengalamannya. Kening Pakde Marto sesekali berkeru, seusai Rohendi menceritakan pengalamannya, Pakde Marto pun berkata;

"Kata kuncinya adalah satu, terus meminta kepada Allah. Jika dilakukan dengan khusyuk, pasti berhasil."

Rohendi dan Anto mengangguk tanda setuju; "Mungkin kita kurang sabar Pakde," kata Anto memecah keheningan.

"Nah... itulah penyakitnya. Selain memintanya dengan cara yang tidak trtib, maunya juga cepat terkabul," timbal Pakde Marto, "rasanya, itu jadi penyakit orang-orang yang maunya cepat dan serba instan," imbuhnya.

Rohendi hanya jadi pendengar budiman. Ia merasa serba salah. Pakde Marto yang melihat keadaan itu langsung berkata; "Saya hanya bisa memberikan saran, tiap tengah malam, dirikanlah shalat Hajat sebanyak empat rakaat dengan dua kali salam. Pada rakaat pertama, setelah Al-Fatihah, bacalah surat Al Ikhlas sebanyak sepuluh kali, pada rakaat kedua, setelah Al-Fatihah, baca Al-ikhlas dua puluh kali, -- pada rakaat ketiga, setelah Al- Fatihah, baca Al-Ikhlas tiga puluh kali, dan terakhir, setelah Al-Fatihah, baca Al-Ikhlas empat puluh kali."

"Kemudian, keluar rumah, ambil segenggam tanah di pekarangan sambil membaca; Duh Gusti, kawulo nyuwun rezeki ingkang halal lan manfaat kagem keluarga lan sesami," imbuhnya, "kemudian tanah tersebut sebarkan di depan pagar atau pintu rumah nak Rohendi. Ketika membaca doa tersebut, lakukan dengan penuh perasaan belas kasih  dari-Nya," lanjutnya lagi.

"Nah jangan lupa untuk beramal yang sebanyak-banyaknya," sambung Pakde Marto.

"Oh ya, cara itu hanya dipakai sekali saja. Tetapi, kalau bisa dan tidak berkeberatan, dirikanlah shalat malam selagi hayat masih dikandung badan." pungkasnya kemudian.

Rohendi yang sejak tadi ternyata mencatat segala hal yang diucapkan oleh lelaki paruh baya yang dudukj di depannya, langsung memasukkan kertas itu ke dalam saku bajunya sambil tersenyum. Kini, pembicaraan pun jadi semakin hangat, Rohendi seolah mendapatkan apa yang selama ini dicarinya.

Setelah dirasa cukup, apa lagi sudah menunjukkan pukul 22.00, keduanya langsung mohon diri. "Pakde, kami mau kembali dan besok pagi-pagi langsung ke Jakarta. Mohon doanya," kata Anto dalam bahasa jawa yang halus.

"Ya... semoga semuanya selamat tidak kurang suatu apa dan terkabul apa yang dicita-citakan selama ini," sahut Pakde Marto.

"Amin," sahut keduanya hampir bersamaan.

Sesampainya di Jakarta, Rohendi dan Anto langsung berpisah dan kembali ke rumah masing-masing. Seperti biasa, Nina tidak banyak bertanya. Ia hanya melihat, tiap tengah malam, suaminya bangun dan mendirikan shalat hajat serta berdoa. Dan pada hari yang kedua puluh satu, Nina yang baru pulang dari kantor langsung memeluk suaminya dengan gemas sambil berkata: "Bang, aku dapat arisan."

"Alhamdulillah," sahut Rohendi sambil melepaskan pelukan dan langsung melakukan sujud syukur.

Dan sejak itu, boleh dikata, rezeki Rohendi pun mulai menggeliat dan perlahan tetapi pasti meningkat. Kini, ia telah mampu membeli mobil dan merenovasi tempat tinggalnya. Bahkan, sang istri yang sudah divonis dokter tidak bisa hamil, kini, tengah mengandung bayi pertamanya. Ketika Anto dan Aru menanyakan kemajuannya, dengan mantap Rohendi pun berkata; "Semua karena Allah. Karena gua selalu mendiirkan shalat malam, jadinya lebih cepet dikabulin."

Sontak, ketiga sahabat pun saling pandang sambil mengeluarkan senyum.



Suryadilaga. 2013. Majalah Misteri Edisi 568. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.