TITAH KERIS BANYUROGO (BAG. 29) - GUNTUR BERSAHUT DI MAJAPAHIT (6)

Ringkasan cerita sebelumnya...

Pranaraja Mpu Sina dan Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka terlibat pembicaraan serius menyoal kepemimpinan Raja Majapahit yang baru Prabu Jayanegara - pengganti Raden Wijaya. Banyak sekali kebijakan raja yang masih belia itu yang tidak bisa diterima kedua senopati sepuh yang telah berperan banyak dalam proses pendirian kerajaan Majapahit. Bahkan karena jasanya yang sangat besar, Raden Wijaya pun menyerahkan bagian timur Majapahit kepada Arya Wiraraja. Raja tanpa mahkota itu mengendalikan pemerintahannya dari Lumajang setelah sebelumnya pindah dari Songeneb.

Namun kini akibat hasitan Mahapati, Prabu Jayanegara berniat unutk menyatukan Majapahit. Itu artinya, dia harus menyingkirkan Arya Wiraraja. Di bawah kendali Mahapati, Prabu Jayanegara pun mengikuti skenario itu. Kepulangan Patih Nambi ke Pajarakan dimanfaatkan Mahapati. Dengan nada sedih Mahapati menyarankan agar Nambi mengurus pemakaman Mpu Sina, ayahnya, hingga selesai. Nambi yang belum bisa membaca langkah Mahapati-meski feelingnya sudah bisa merasakan adanya sesuatu yang tidak beres, pun masuk dalam jebakan itu.

Titah Keris Banyugoro (Bag. 29) - Guntur Bersahut Di Majapahit (6) - Putri Kumalaswara tidak begitu memperhatikan peringatan suaminya. Namun sekejap kemudian dia memekik sambil melemparkan batok berbentuk mangkok berisi cendol yang tengah dinikmatinya.

"Ada apa?" tanya Haryo Mukti cemas.

"Cendolnya berubah menjadi cacing!" ujar Putri Kumalaswara dengan tubuh gemetaran.

Haryo Mukti menatap tajam batok itu. Sekejap kemudian ia menghentakkan kakinya. Batok itu terlempar ke arahnya. Secepatny pangeran dari Mataram itu mengibaskan tangannya. Akibatnya batok itu berbalik arah menuju kerumunan dukun istana. Sesaat kemudian terdengar jeritan yang sangat menyayat megniringi ambruknya seseorang dari kelompok dukun istana itu.

"Mari, Diajeng! Saya tidak mau ada keributan di sini," ajak Haryo Mukti sambil meraih tangan istrinya. Sebelum orang-orang di sekitarnya sadar, tubuh keduanya sudah leyap tanpa meninggalkan debu.

***

Nambi menyaksikan tumpukan kayu di depannya terbakar. Badannya bergetar. Setelah melalui ritual yang panjang, jasad Mpu Sina pun dibakar sesuai kepercayaannya. Ya, meski Nambi pengikut Budha yang taat, namun Mpu Sina-ayahandanya, tetap memegang teguh ajaran Siwa. Nambi tetap berdiri tegak di depan perabuan sampai api benar-benar padam dan ia menerima kendi berisi abu pembakaran jasad ayahnya dari seorang brahmana.

"Sekali lagi, Paman haturkan duka yang mendalam. Setelah prosesi ini selesai, Paman akan segera kembali ke Lumajang," ujar Arya Wiraraja usai mengikuti ritual pembakaran jasad Mpu Sina.

"Terima kasih yang tak terhingga Paman telah sudi mengantar ayahanda menuju nirwana," balas Nambi. Mereka kemudian terlibat pembicaraan serius. Namun pembicaraan mereka terpotong ketiak secara mendadak terjadi hujan sangat deras diiringi petir. Keduanya segera bersiaga ketika merasakan adanya keanehan di balik hujan itu.

"Awas Paman, banyak jarum beracun," teriak Nambi setelah bisa melihat ribuan jarum berkelebat di udara.

Ternyata Arya Wiraraja sudah mengetahui hal itu juga. Sepasang keris di kedua tangannya berputar untuk melindungi tubuhnya dari serangan jarum itu. Mereka berhasil menangkis serangan itu dengan sempurna. Namun beberapa prajurit yang berjaga di depan rumah, terkapar dengan tubuh penuh jarum.

Nambi dan Arya Wiraraja segera merapal mantra dan mengembalikan serangan itu kepada pengirimnya, Hasilnya luar biasa. Bukan hanya jarum-jarum itu yang berbalik arah, namun hujan dan petir yang mengiringi serangan itu, juga ikut berhenti. Kini langit berubah menjadi cerah. Kedua pendekar tua itu segera keluar dari bale-bale. Dengan mata batinnya mereka mencoba mencari tahu siapa penyerangnya tadi.

"Jumlahnya sangat banyak. Namun masih cukup jauh dari sini," ujar Arya Wiraraja.

Benar, Paman," gumam Nambi. Segera Nambi menyuruh prajuritnya untuk membangun benteng pertahanan di sekitar Pajarakan. Beberapa pos juga didirikan dengan mengerahkan semua kemampuannya. Alhasil, sebelum tengah malam, benteng peratahanan yang kokoh berhasil dibuat lengkap dengan sejumlah pos pengamanannya.

"Sebaiknya Paman segera tinggalkan Pajarakan. Jika tetap di sini, saya tidak bisa menjamin keselamatan Paman..."

"Saya sudah memerintahkan pasukan dari Lumajang untuk segera ke sini. Saya tidak akan meninggalkanmu sendirian menghadapi musuh."

"Namun seeprtinya pasukan ini datang dari istana. Mungkin mereka hanya ingin menangkap saya..."

"Bukan, mereka ingin menangkap kita berdua," potong Arya Wiraraja. "Jadi, percuma saja Paman kembali ke Lumajang karena mereka pasti akan mengejarnya."

"Tapi megnapa Prabu Jayanegara mengirimkan pasukan ke Pajarakan?"

"Ada yang tidak beres. Prabu Jayanegara pasti mendapat hasutan seperti dulu Raden Wijaya ketika memerintahkan untuk membunuh Ranggalawe..."

Muka Nambi memerah karena diingatkan dengan kisah pilu itu. Bagaimana pun dirinya yang memimpin pasukan untuk menumpas pemberontakan Ranggalawe meski yang membunuh anak Arya WIraraja itu Kebo Anabrang. Namun belum sempat Nambi meminta maaf, ribuan prajurit berdatangan bak air bah. Pasukan Nambi dan Arya Wiraraja kocar-kacir dan sebagian lari ke benteng pertahanan. Namun di dalam benteng, nasib mereka pun sama. Puluhan ular siluman yang sangat berbisa menyerang mereka. Sekali terkena gigitannya, prajurit yang paling tangguh pun langsung terjengkang dan tewas.

Demikian pula halnya Nambi dan Arya Wiraraja. Meski sempat melawan dan beberapa kali membuat pasukan Mahapati frustasi, namun akhirnya mereka tersungkur juga.

"Tunggu!" teriak Mahapati ketika melihat ada prajurit yang hendak menghujamkan pedangnya pada tubuh yang sudah tak berdaya itu. "Aku yang akan menghabisinya. Aku sudah dendam sejak dulu bersama-sama membuka Hutan Tarik!"

Dengan disaksikan prajurit Majapahit, Mahapati menghujamkan pedangnya ke dada Nambi. Setelah puas, gantian ia menusuk-nusuk mayat Arya Wiraraja, Terakhir, Mahapati memenggal kepala keduanya. "Bawa kepala Nambi dan Arya Wiraraja!" perintahnya kepada anak buahnya. BERSAMBUNG.

(Kisah mendatang: Sesuai dengan janjinya, setelah berhasil membunuh Nambi danArya Wiraraja maka Prabu Jayanegara langsung melantik Mahapati menjadi patih kerajaan Majapahit. Namun kedudukan yang tinggi itu tidak membuatnya puas. Ia bersekongkol dengan saudara tiri Jayanegara untuk merebut kekuasaan. Akibatnya, justru Mahapati yang terjungkal dan dihukum mati)



Bayu Wahyono, Yon.  2013. Majalah Misteri Edisi 557. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.