Gerbang Masuk Dusun Benteng
Gerbang Masuk Dusun Benteng
Kawasan adat Ammatoa memiliki pesona magis yang unik. Sejak berabad lampau, masyarakat yang berbusana serba hitam ini bertahan dengan cara hidup tradisional dan bersahaja. Mereka yakin cara hidup seperti inilah yang dilakukan dan dipesankan oleh leluhur mereka untuk dilaksanakan oleh generasi penerusnya.

Pesona Magis Kawasan Adat Ammatoa - Kawasan adat Ammatoa terletak di desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (kira-kkra 56 km dari Kota Bulukumba atau 200 km dari Makassar). Mereka adalah suku Kajang yang merupakan salah satu suku di negeri ini yang kuat mempertahankan adat istiadat dan tradisi leluhur. Bahasa keseharian mereka disebut Konjo yang memiliki kemiripan dengan bahasa Makassar.

Kami berkesempatan mengunjungi desa Tana Toa (Tanah Tertua) pada 6 Febuari 2012. Ini merupakan sebuah pengalaman mencerahkan dapat melihat kehidupan masyarakat dan berbincang langsung dengan tokoh sentral suku Kajang (pemimpin adat) yang bergelar: Ammatoa ke 22. (Ammatoa: bapak tua / bapak yang dituakan)

Dalam kunjungan ini, Kami ditemani sepupu bernama Iqbal (warga Kota Bulukumba) dan seorang pemandu asal suku Kajang bernama Samsudin. Tentu saja kami mengenakan pakaian berwarna serba hitam saat berada di kawasan adat.

Sebelum mengurai lebih jauh seputar kunjungan tersebut, Kami ingin menulis sekilas kisah uji kejujuran masyarakat Suku Kajang ini.

Warga Suku Kajang
Warga Suku Kajang

UJI KEJUJURAN

Kisah ini diceritakan teman Iqbal bernama Kaban (sebut saja begitu). Dia bukan berasal dari suku Kajang dan rumahnya pun bukan di kawasan adat. Iqbal mengajak Kami ke rumah Kaban untuk menambah kisah-kisah yang berhubungan dengan Suku Kajang. Kaban memang memiliki kisah yang tergolong unik.

Kaban mengisahkan bahwa beberapa tahun lalu pernah berurusan dnegan pihak kepolisian terkait pencurian kendaraan bermotor. Ketika itu polisi menetapkan 5 tersangka yang diduga terlibat atas hilangnya sebuah motor milik warga desanya.

Tentu saja kelima tersangka bersikeras membantahnya. Mereka menolak dituduh komplotan curanmor.

"Kami digiring ke kantor polisi dan diinterogasi. Saat itu kami mengutarakan alibi yang tidak terlibat dengan hilangnya motor warga desa," kata kaban kepada Kami.

"Tetapi polisi tidak percaya dengan alibi kami. Mereka tetap menginterogasi dengna pertanyaan menyudutkan," lanjutnya. Kuatnya alibi para tersangka tidak membuat polisi percaya begitu saja.

Ketika itu kantor polisi ramai dikunjungiwarga desa yang ingin melihat suasana yang terjadi. Situasi ini tentu saja membaut Kaban dan keempat temannya merasa malu tak terhingga. Tetapi apa mau dikata, saat terjadidnya pencurian itu, Kaban dan temannya memang berada dalam waktu dan tempat yang salah.

Warga desa pun heran dan tidak percaya mereka melakukan tindakan kriminal itu. Kelimanya dianggap warga yang baik dan tidak memiliki catatan kriminal apapun.

Pada saat itulah, salah seorang tokoh masyarakat setempat mengusulkan agar kasus ini dibawa ke Ammatoa. Selanjutnya terjadilah kesepakatan antara polisi, sesepuh desa dan warga untuk membawa tersangka ke Tanah Toa agar masalahnya diselesaikan oleh Ammatoa.

"Sebenarnya saya terkejut juga mendengarnya. Tapi itu pilihan terbaik agar masalah tidak berlarut-larut," kata Kaban.

"Apa yang membuat Anda terkejut?" tanya Kami.

"Saya harus menjalani uji kejujuran yang tergolong unik yaitu memegang linggis yang membara," jawab Kaban.

Kami mengernyitkan kening mendengarnya. Beoum pernah dalam pengetahuan Kami mengenal uji kejujuran dengan cara semacam ini.

Lebih jauh dia mengatakan bahwa para tersangka pencuri motor itu selanjutnya dibawa ke desa Tana Toa untuk bertemu Ammatoa dan para pemangku adat. Lalu dimulailah upacara kecil dalam bentuk membakar sejumlah tumpukan kayu yang di atasnya diletakkan sebuah linggis sepanjang hampir 2 meter.

Sekira satu jam kemudian, benda berbahan besi itu berubah merah membara pada bagian ujungnya.

Selanjutnya salah seorang pemangku adat memegang bagian lain dari ujung linggis tersebut sambil mengatakan bahwa siapapun yang berkata jujur (bukan pencuri motor), maka dirinya tidak akan merasakan panas saat memegang ujung linggis yang membara. Cara ini disebut: Tunu panroli.

Malihat besi yang panas membara dalam jarak dekat saja sudah membuat keringat mengucur deras, apalagi diharuskan memegangnya.

"Saat itu saya pun merasa takut memegang linggis panas itu. Tapi karena saya yakin berada dalam kebenaran, maka saya tidak ragu untuk memegangnya," ujar Kaban dengan nada mantap.

Kaban memegang ujung linggis yang membara itu dan menekannya dengan kuat, tetapi dia tidak merasakan panas sedikitpun.

"Saya sama sekali tidak merasakan panas. Bahkan saya sempat menggenggam kuat besi itu. Rasanya seperti memegang besi biasa," kilahnya.

Bersamaan dengan itu, para tersangka yang lain pun melakukan hal yang sama. Tetapi tidak seorang pun yang merasakan panas memegang linggis yang membara.

"Pada saat itulah kami dinyatakan bebas dan tidak terlibat pencurian," kata Kaban seraya tersenyum.

Dalam setiap upacara tradisional di kawasan adat Tana Toa biasa digelar acara membakar linggis. Acara ini tergolong menarik lantaran penonton bisa melihat langsung linggis yang membara dipegang tanpa ada rasa sakit sedikitpun.

Sesuatu yang berbeda, tentu saja, dalam konteks uji kejujuran seperti diceritakan di atas. Boleh jadi, ini merupakan satu-satunya uji kejujuran paling unik dan orisinal yang pernah ada di muka Bumi.

Ketika Kami berbincang dengan Ammatoa malahan mendapat cerita yang lebih unik lagi bahwa dirinya biasa kedatangan para hakim, jaksa dan pengacara untuk meminta nasehatnya dalam memutuskan kasus-kasus tertentu.


KAJANG DALAM

Kawasan adat Tana Toa sangat tertutup. Terutama yang termasuk dalam tujuh dusun, yaitu dusun Benteng, Pangki, Baongkina, Tombolo, Loraya, Barangbina dan Sobbu. Kawasan ini biasa disebut Kajang Dalam dan dihuni sekira 3600 jiwa dari 900 keluarga. Kawasan ini sama sekali tidak ada aliran listrik. Penerangan hanya menggunakan lampu minyak biasa. Perangkat elektronik dilarang di kawasan ini.

Bagian terdepan dari Kajang Dalam adalah dusun Benteng. Memasuki kawasan ini melalui sebuah gapura yang juga merupakan batas bagi siapapun yang masuk agar menggunakan pakaian adat khas Kajang yang berwarna hitam (baju, celana, sarung dan ikat kepala). Gapura itu juga menjadi garus batas kendaraan. Siapapun yang hendak memasuki kawasan Kajang Dalam diharuskan memarkir kendaraannya di gapura. Rumah Ketua Adat (Ammatoa) berada di dusun Benteng ini.

Sedangkan kawasan sebelum memasuki gapuran disebut Kajang Luar. Kawasan Kajang Luar diperuntukkan bagi masyarakat Kajang yang sudah menerima modernisasi dalam semua aspek.

Sebagaimana yang Kami saksikan, tidak jauh dari gapura juga tampak bangunan sekolah dasar. Secara keseluruhan terdapat 1 TK, 3 SD, 1 SMP, dan 1 SMA. Uniknya, siswa SD tersebut tidak mengenakan seragam putih-merah, melainkan putih-hitam.

Bersama Iqbal dan Samsudin, Misteri berjalan menyusuri dusun Benteng menuju kediaman Ammatoa. Suasananya terasa hening dengan hembusan udara yang sejuk. Kami merasakan kenyamanan saat memasuki wilayah yang hutannya masih lestari ini.

Tampak sebuah papan petunjuk bertuliskan: "Kawasan Tana Toa Kajang. Pasanga ri Ammatoa, iya minjo boronga, kunne pusaka (pesan-pesan Ammatoa, hutanlah menjadi pusaka kita). Anjo boronga, angngontaki bosiya (hutanlah yang mendatangkan hujan). Akana kajua akka, palompo tumbusu (akar kayu memperbesar mata air). Lestarikan hutan."
Sumber Mata Air
Sumber Mata Air
Kami juga melihat beberapa makam pemangku adat suku Kajang yang letaknya sekira 100 meter dari gerbang. Selain itu terdapat sebuah mata air yang merupakan satu-satunya sumber air di dusun Banteng. Sumber air (tunikeke) ini sangat dikeramatkan. Bukan hanya karena fungsinya, melainkan juga nilai sakralnya.
Rumah Warga Suku Kajang
Rumah Warga Suku Kajang

Sesuatu yang tergolong unik adalah rumah panggung yang terbuat ddari kayu. Keunikan dari rumah-rumah panggung ini adalah bentuknya salma dan menghadap arah yan gsama pula (arah Barat atau arah Kiblat). Setiap rumah memiliki satu tangga, satu pintu di abgian depan dan 16 tiang. Sedangkan atapnya terbuat dari daun kelapa. Rumah-rumah masyarakat Kajang ini memiliki bagian dapur yang terletak di bagian depan ruangan dan bersebelahan dengan ruang tamu tanpa ada tirai atau sekat yang membatasi.

"Tuan rumah akan menyajikan semua masakan yang dibuat untuk para tamu. Tidak ada yang disimpan untuk kepentingan rumah atau anggota keluarganya," kata Samsudin seraya tersenyum. Pepatah tamu adalah raja benar-benar diterapkan masyarakat Kajang.

Dalam kawasan adat ini terdapat hutan adat yang disebut hutan pusaka (luas 317,4 hektar). Hutan ini tidak boleh diganggu gugat. Sehingga tidak diperbolehkan kegiatan apapun yang dapat merusak kelestarian hutan. Kegiatan yang dimaksud antara lain penebangan kayu, perburuan hewan dan membakar hutan.

Apabila terjadi pelanggaran dalam kawasan adat ini akan mendapatkan sanksi berupa hukum adat (Passala). Hukuman paling ringan atau disebut juga cappa, ba,bala adalah keharusan membayar denda sebesar 12 real ditambah satu ekor kerbau. Real yang digunakan adalah uang benggol yang saat ini jarang ditemukan. Adapun 12 real tersebut sama nilainya dengan 12 juta rupiah.
Uang Benggol
Uang Benggol
Kami sempat melihat uang benggol ini. Ternyata merupakan mata uang yang pernah berlaku pada masa penjajahan Belanda.

Adapun bentuk hukuman selain hukuman denda adalah: tunu panroli atau tunu Passau. Tunu panroli biasanya dilakukan bagi kasus pencurian dengan tujuan untuk mencari pelakunya. Caranya dengan memegang linggis yang panas membara. Cara semacam itulah yang diuraikan di awal tulisan ini.

Sedangkan jika tersangka pelakunya melarikan diri, maka Ammatoa sebagai ketua adat yang akan bertanggung jawab menyelesaikannya. Caranya Ammatoa akan melakuakan ritual membakar kemenyan dan membaca mantera tertentu yang ditujukan kepada pelaku kejahatan itu. Biasanya pelaku akan jatuh sakit atau malah meninggal secara tidak wajar. Inilah yang disebut tunu Passau.

Adanya hukum adat dan pemimpin yang sangat tegas dalam menegakkan hukum membuat masyarakat kawasan adat Tana Toa sangat tertib dan mematuhi segala peraturan dan hukum adat.


PASANG RI KAJANG

Kedatangan Kami ke rumah Ammatoa disambut hangat tuan rumah dan keluarganya. Nama asli beliau adalah Puto Pallasa. Dia menggantikan Ammatoa sebelumnya (Puto Bekkong-Ammatoa ke 21) yang wafat pada 2010. Pria berkulit putih dan bertubuh tinggi ini terlihat lebih muda dari usianya yang mencapai lebih dari 70 tahun.

Sosok Ammatoa memang terkenal ramah dan akrab dengan siapapun, khususnya para tamu yang mengunjunginya. pada kesempatan itu, Ammatoa sempat menunjukkan buku tamu yang ada kepada Kami.

Kami terkejut ketika membuka buku tamu tersebut. Para tamu yang datang dan menuliskan datanya ternyata datang dari berbagai negara. Kami sempat melihat nama beberapa negara, seperti Rusia, Belanda, jerman, Amerika dan lain-lain. Bahkan termasuk negara-negara kecil seperti Latvia. Para tamu tersebut tetap diharuskan mengenakan pakaian serba hitam saat memasuki kawasan adat Tana Toa.

Pada uumnya para tamu itu menulis kekagumannya terhadap masyarakat Kajang yang mampu melestarikan hutan dan lingkungannya. Kedatangan mereka tentu saja menunjukkan suku Kajang cukup terkenal di negara mereka. Khususnya dalam khazanah budaya dan pelestarian lingkungan.

Perbincangna Kami dengan Ammatoa dilakukan melalui pemandu. maklumlah, Kami hampir tidak paham sepatah katapun bahasa Konjo. Selama pembicaraan, Kami tidak diizinkan menggunakan alat perekam dan juga kamera untuk memotret Ammatoa. Meskipun demikian, Kami diizinkan mengambil gambar sala seorang kerabatnya, Pada saat itu, Kami minta izin menggunakan passapu (ikat kepala) milik Ammatoa. beliau dengan senang hati memasangkannya.

Ada banyak hal yang Kami perbincangkan dengan Ammatoa. Tetapi tidak semua dapat dituliskan.

Secara umum pembicaraan seputar ajaran yang dipegang teguh masyarakat suku kajang. Ajaran ini disebut Pasang ri Kajang (pesan-pesan suku Kajang). Ajaran ini yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat Kajang.

Beberapa diantara isi pasang ri Kajang adalah:
  1. Gattangka nanuadat bermakna jujur dan tegas. Berjalan sesuai aturan.
  2. Lambusu Karaeng bermakna jujur dan jangan ada kebohongan.
  3. Sabbarako nusanro bermakna bersabar.
  4. Peso'na nanuguru bermakna biar ditegur (dicaci atau dikritik) tetaplah bekerja.
Ajaran yang telah berusia ratusan tahun itulah yang melahirkan prinsip hidup sederhana dan saling menyayangi diantara mereka. Leibh dari itu adalah bentuk kasih sayang terhadap lingkungan mereka.


KISAH MISTIK

Sebagaimana umumnya masyarakat yang kuat memegang teguh adat dan istiadat, segala sesuatu yang terkait dengan hal yan gberbau supranatural tentu bukans esuatu yang asing lagi. Ilmu mistik telah menyatu dan berurat akar sejak dulu. Begitupula halnya dengan masyarakat Tana Toa.

Kami mendapatkan banyak kisah mistik terkait Suku kajang ini. Diantaranya adlaah bagaimana jika ada pengunjung yang masuk ke kawasan adat Tana Toa dengan tidak menggunakan pakaian serba hitam. Misteri mendapatkan jawabannya dari kerabat bernama Andi Thohir yang masih berdarah suku Kajang.

Dikisahkan bahwa pada suatu hari datang serombongan tamu dari kota yang hendak berkunjung ke dusun Benteng. Mereka yang paham dan menghormati adat setempat sudah menyiapkan diri dengna berbusana warna hitam. Tetapi rupanya ada diantara pengunjung yang mengenakan pakaian biasa. Kebetulan dia adalah salah seorang istri dari tamu yang berkunjung.

Pada awalnya perempuan itu disuruh menunggu di gerbang masuk. Tetapi mungkin karena rasa ingin tahunya memasuki kawasan Kajang Dalam atau ketidak percayaannya terhadap adat suku Kajang, dia pun masuk melewati pintu gerbang.

Seketika hanya dalam hitungan menit saja, sekawanan lebah menyerangnya hingga dia menjerit kesakitan. Beberapa orang yang melihatnya segera mengamankan perempuan itu dan membawanya keluar dari gerbang. Anehnya, bersamaan dengan itu ribuan lebah yang menyerangnya pergi begitu saja. Sementara perempuan yang menderita luka-luka sengatan segera dibawa ke rumah sakit.
Adakalanya gadis seusia foto ini diizinkan tidak mengenakan busana hitam
Adakalanya gadis seusia foto ini diizinkan tidak mengenakan busana hitam
Kisah lain juga tergolong unik terkait dengan proses pemilihan ketua adat. Masyarakat kawasan adat Tana Toa yang dipimpin Ammatoa ini sangat dihormati dan dipatuhi. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Ammatoa bukanlah pemimpin yang dipilih oleh rakyat melainkan seseoran gyang diyakini dipilih oleh Turi ara'na (Tuhan Yang Maha Esa). Lalu bagaimana proses pemilihan tersebut?

Andi Thohir mengisahkan bahwa apabila seorang Ammatoa meninggal dunia, amka Ammatoa berikutnya akan terpilih pada tiga tahun kemudian. Dalam masa tiga tahun tersebut, beberapa orang warga dan juga pemangku adat menyiapkan diri untuk menjadi Ammatoa. Biasanya mereka akan masuk ke dalam hutan pusaka (atau hutan yang tidak boleh diganggu manusia) untuk meminta petunjuk (panganro) kepada Tuhan. Mereka melakukan tirakat tertentu, termasuk berpuasa dan sebagainya. Mereka melakukannya secara terpisah, meski dilakukan di hutan yang sama.

"mereka melakukan ini bukan atas dorongan ambisi pribadi atau keinginan menjadi Ammatoa. Mereka melakuaknnya lantaran didorong rasa tanggung jawab harus ada ketua adat yang baru menggantikan ketua adat yang wafat," kata Andi Thohir kepada Kami.

Setelah masa tiga tahun berlalu, para calon Ammatoa yang baru itupun berkumpul di lapangan untuk memulai proses pemilihan. Semua yang hadir diharuskan berwudhu.

"Mereka berkumpul dilapangan dengan disaksikan seluruh warga. Lalu panitia pemilihan yang ditetapkan sebelumnya memulai proses pemilihan," kilahnya.

"Ada beberapa ciri-ciri tertentu mengenai sosok yang akan terpilih menjadi Ammatoa, diantaranya melalui asap dan seekor ayam atau burung," lanjutnya.

"Apa maksud asap, burung atau ayam itu?" Tanya Kami.

Dia mengungkapkan bahwa saat proses pemilihan tersebut, panitia membakar kemenyan (dupa) yang diletakkan beberapa meter di depan par calon yang duduk bersebelahan (berjejer). Uniknya, letak anglo (tempat dupa dibakar) dan para calon ketua adat ini disesuaikan dengan arah angin pada saat proses pemilihan.

Misalkan, pada saat itu angin bergerak dari arah Barat ke arah Timur, maka anglo diletakkan di arah Timur dan para calon Ammatoa duduk disebelah Baratnya. karena para calon Ammatoa duduk menghadap anglo tersebut, maka secara logika, asap dupa mengarah ke Timur dan menjauhi para calon Ammatoa. Tetapi yang terjadi pada saat proses pemilihan itu adalah hal yang sebaliknya. Asap duap justru berbalik ke arah Barat. Tentu saja asap itu akan mengarah kepada para calon Ammatoa.

Keanehan yang juga terjadi saat itu adalah asap tidak menyebar, melainkan hanya menuju kepada sosok calon ketua adat.

"Masyarakat yang mengikuti prosesi pemilihan dapat melihat asap ebrgerak hanya mengarah ke satu orang diantara calon ketua adat. Ketika asap tersebut mengenai salah seorang calon, tentu dialah yang terpilih," ujar Andi Thohir.

"Tetapi kejadian itu masih dikuatkan lagi melalui seekor ayam atau burung," katanya lagi.

Lebih ljauh diungkapkan, saat prosesi itu biasanya juga menyertakan seekor burung atau ayam yang telah disiapkan. Burung dikeluarkan dari sangkarnya lalu dibiarkan terbang. Anehnya, burung itu akan kembali lagi dan hinggap dipundak salah seorang calon ketua adat.

"Calon yang dihinggapi burung itu dinyatakan terpilih menjadi ketua adat yang baru atau Ammatoa," kata Andi Thohir.

Begitupula jika yang dilepaskan itu seekor ayam. Setelah dikeluarkan dari kandangnya, ayam dibiarkan begitu saja. Ayam tersebut akan mendekati salah seorang calon ketua adat. Ayam itu tahu bahwa sosok yang didekati itu memang layak jadi Ammatoa yang baru.

Menurutnya, angin, ayam atau burung itu bergerak mengikuti kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketiga media itu seolah mendapat perintah dari Tuhan untuk menentukan sosok yang layak menjadi ketua adat.

Ketika ketiga media itu ebrada pada salah seorang calon ketua adat, maka siapapun yang hadir saat itu sepakat untuk mengangkatnya menjadi Ammatoa baru.

Sepintas apa yang diuraian tersebut memang tidak masuk akal. Tetapi memang begitulah kenyataan yang ada dalam proses pemilihan ketua adat yang baru. Prosesi pemilihan semacam ini telah berlangsung sejak Ammatoa pertama pada ratusan tahun lalu.



Siswanto, Agus. 2013. Majalah Misteri Edisi 557. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.