MENARA TIGA DARA (BAGIAN 11)

Ringkasan Kisah Lalu...

Tungga Nala bercinta penuh gelora dengan ketiga gadis dyang datang ke tendanya. Dia tidak tahu jika ketiganya merupakan gadis siluman yang dikirim oleh Ki Tapak Dara. Akibatnya di tengah percintaan mereka, ketiga gadis itu hilang. Bersamaan dengan itu, Tung Encim yang mencoba melawan kekuatan gaib yang dibawa ketiga gadis itu, gagal mengalahkannya. Dia sendiri yang akhirnya menemui ajal dengan kondisi menyedihkan. Tungga Nala yang sudah terbakar amarah, menyuruh agar jasad Tung Encim dibuang ke danau Lembah Pocong Hitam.

Sementara di atas puncak Gunung Sanggabuana, Ki Tapak Dara dilanda kebingungan. Keinginan Mekar Dara untuk menyusup ke istana tidak bisa lagi dicegah. Namun ia khawatir, Mekar Dara justru akan diburu dan ditangkap oleh para penjaga istana yang merupakan pendekar-pendekar pilih tanding. Jika sampai itu yang terjadi, punahlah semua harapannya untuk menyatukan ketiga putri dari negeri samudera itu yang berarti juga dirinya gagal menjalankan amanah almarhumah ibu ketiga putri itu.


BAGIAN SEBELAS

Menara Tiga Dara (Bagian 11) - Diam-diam Ki Tapak Dara turun dari puncak Gunung Sanggabuana. Tubuh mungilnya melesat di antara rimbunan pepohonan. Bagi mereka yang meiliki ilmu tinggi, pasti bisa melihat gerakan Ki Tapak Daral seeprti asap bergumpal. Terlebih Ki Tapak Dara menggunakan ilmu Jejeraga sehingga batang pohon atau daun-daum yang tersentuh tubuhnya langsung hangus tanpa mengeluarkan api, hanya asap kecil berwarna putih. Namun kegelapan malam dan pekatnya kabut menghalangi asap putih itu dari pandangan orang-orang di bawah gunung.

Melihat bapaknya pergi, Mekar Dara segera mengemasi barangnya dan ikut turun ke lembah melalui jalur berbeda di belakang gubuk mereka. Jika ingin cepat sampai ke lembah, Mekar Dara bisa saja menggunakan ilmu meringankan tubuh sehingga tidak perlu berjalan di tengah semak-semak berduri dan gatal. Cukup melompat dari pohon ke pohon lainnya. Tetapi hawa gaib yang dipancarkan dari ilmu itu pasti akan mudah tercium lawan, terutama Tungga Nala. Mekar Dara tidak mau mengambil resiko itu karena bisa menggagalkan seluruh rencana untuk menemukan kedua saudaranya.

Sebenarnya Ki Tapak Dara mengetahui kepergian putrinya namun ia membiarkan karena tidak ada alasan untuk mencegahnya. Justru dengan pergi dari puncak Gunung Sanggabuana, ada kemungkinan dia bisa selamat dari kejaran Tungga nala, meski sangat kecil. Ki Tapak Dara banyak mengenal kesaktian pendekar-pendekar kerajaan Sunda Raya sebagaimana ia tahu persis seberapa tinggi ilmu yang sudah berhasil dikuasai Mekar Dara.

Tetapi tetap saja lebih terhormat mati dalam pertempuran dari pada menyerah sebelum bertarung. Nah, dengan alasan itu ia pura-pura tidak mengetahui kepergian Mekar Dara dari puncak Gunung Sanggabuana. Lepas belokan kedua, Ki Tapak Dara melompat ke atas batu besar. Ia mengarahkan pandangannya ke bawah. Matanya tidak bisa melihat apa-apa, namun batinnya bisa dengan jelas mengetahui pergerakan pasukan Tungga Nala.

Rupanya mereka tidak bermalam dulu di kampung di kaki gunung seeprti perkiraan Ki Tapak Dara. Dengan demikian, mereka akan mencapai puncak Gunung Sanggabuana lepas tengah malam, ujar Ki Tapak Dara dalam hati. Ia segera melanjutkan perjalanan, menerobos kabut dan kegelapan malam.

Namun baru beberapa langkah sebuah tangan hampir menjangkau pundaknya. Hawa panas yang keluar dari jari-jari tangan itu membuat Ki Tapak Dara secara reflek mengelak dan berbalik. Kini di depannya telah berdiri makhluk yang sangat menyeramkan, Tubuhnya hitam legam dan berbulu. Tingginya hampir dua kali lipat tinggi Ki Tapak Dara. Matanya sebesar bola tenis, berwarna merah saga. Kedua taringnya sangat panjang hingga hampir menyentuh dadanya. Ujung taring itu runcing seperti keris.

"Siapa kamu?!" bentak Ki Tapak Dara.

"Hoaha.. ha.. ha.. !" Makhluk itu tertawa begitu keras. Suaranya bergema menembus lorong malam sehingga mungkin terdengar sampai ke perkampungan di bawah gunung. Usai tertawa makhluk itu langsung menyerang Ki Tapak Dara.

Dengan gesit mantan senopati Pasundan Raya itu mengelak dan sesekali membalas serangan itu dengan jurus-jurus mematikan. Setelah beberapa jurus, Ki Tapak Dara muali mengenali siapa penyerangnya: murid Tung Encim dari bangsa lelembut!

"Saya tahu kamu hendak menuntut balas kematian gurumu. Tetapi saya ingatkan, cepat tinggalkan Gunung Sanggabuana sebelum kamu menuyusul gurumu!" seru Ki Tapak Dara.

"Hoaha... ha... ha... Kamu tidak bisa membunuh bangsa lelembut, Ki!" ejek penyrangnya.

Mendengar ejekan itu, Ki Tapak Dara segera melancarkan jurus gaib andalannya. Ia melipat kedua telapak tangannya kemudian membukanya kembali dan menyatukannya di depan dada. Mulutnya komat-kamit membaca mantra pengusir setan. Setelah itu ia mendorong kedua telapak tangannya ke depan secara serentak dan mendadak. Hasilnya luar biasa. Tubuh makhluk mengerikan di depannya hancur berantakan. Namun tidak terdengar ada jeritan atau erangan kesakitan.

Bahkan dalam sekejap kemudian muncul beberapa makhluk lainnya dengan wujud yang sangat mengerikan. Mkahluk yang mirip pocong hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun Ki Tapak Dara tahu makhluk itu tengah menyemburkan hawa beracun dari ubun-ubunnya yang bolong. Sementara mayat-mayat hidup yang berjalan pelan dengan wajah sayu, memiliki cacat tubuh beraneka rupa; berkaki satu, bertangan satu, bahkan ada yang kepalanya dari alis mata ke atas, hilang. Sepertinya makhluk-makhluk itu keluar dari dalam batu, pohon dan juga kabut.

Ki Tapak Dara memejamkan mata untuk melihat titik simpul dari penglihatan batinnya. Ki Tapak Dara paham ilmu apa yang tengah dipakai penyerangnya. Bahkan ilmu memperbanyak bayangan seperti makhluk didepannya merupakan satu ilmu dasar yang dipelajari pertama kali ketika seseorang ingin mendalami ilmu gaib. Ki Tapak Dara pun mampu dengan mudah mengalahkannya. Namun ia ingin mengetahui lebih jauh siapa saja yang ikut menyerang dirinya.

Ada kekhawatiran Tarong Nala ikut menyerang karena Tung Encim dikenal memiliki kedekatan khsuus dengannya dan kabar kematian dukun istana itu, pasti sudah sampai ke istana meski mayatnya dibuang di Lembah Pocong Hitam.

Setelah memastikan tidak ada campur tangan Tarong Nala dalam serangan itu, Ki Tapak Dara langsung menggebrak. Ia memutar tubuhnya dengan sangat cepat. Akibatnya tubuh Ki Tapak Dara seperti hilang. Kini yang terlihat hanya asap putih tebal yang berputar cepat seperti gasing. Bersamaan dengan jeritan melengking, asap tu pecah menjadi gumpalan kecil-kecil.

Dalam hitungan detik, masing-masing gumpalan asap itu melesat bak anak panah menuju sasaran: makhluk-makhluk menyeramkan itu. Tanpa menunggu makhluk-makhluk itu langsung lenyap begitu terkena hantaman asap putih. Tinggal satu makhluk yang melakukan perlawanan sehingga asap putih itu tidak bisa menyentuhnya badannya.

Tangannnya bergerak cepat menghadang asap putih yang hendak menyerang dirinya. Ketika asap itu datang lagi, kembali ia menangkisnya. Namun kali ini dia kaget begitu mendorong asap itu, muncul Ki Tapak Dara di depannya.

Sebelum dia sempat mengatur posisi kakinya, kedua tapak tangan Ki Tapak Dara menghantam dadanya dengan telak. Makhluk itu terjengkang dan tidak bergerak lagi. Namun Ki Tapak Dara tahu sukma makhluk itu masih bersemayam dalam tubuh makhluk gaib ini.

"Saya tahu kamu dikirim oleh arwah Tung Encim. Namun aku ingin tahu, apa kaitan dirimu dengan ilmu belahsukma? Sebab ilmu itu hanya dimulki oleh Prabu Tarong Nala," ujar Ki Tapak Dara.

"Aku bekas senopati Pasundan Raya," terdengar suara menyahut namun bukan dari tubuh makhluk gaib itu. Sebab mulutnya tetap diam tanpa gerakkan apapun lazimnya orang yang tengah berbicara.

"Siapa namamu?" tanya Ki Tapak Dara sedikit penasaran.

"Ki Anta Suganda..."

"Oh..." tanpa sadar Ki Tapak Dara memekik. Ya, ia kenal sekali dengan senopati gagah perkasa itu. Bahkan beberapa kali mereka sempat bersama-sama memimpin pasukan untuk menggempur musuh, termasuk ketika menyerang ke kerajaan di tengah samudera milik Prabu Posari.

"Kalau begitu, kamu tentu mengenalku?" Terdengar tawa yang sangat keras, menghujam bumi. Ki Tapak Dara mundur karena mulai merasakan adanya hawa lain di sekitar tempat itu. Bukan, bukan sosok gaib, kata hati Ki Tapak Dara membantah dugaannya sendiri. Ini  hanya sukma seseorang yang masih hidup.

"Prabu Tarong Nala!" Kembali Ki Tapak Dara memekik begitu menyadari kehadiran sukma rajanya. Ia membungkuk untuk memberi hormat namun dalam posisi tetap waspada.

"Syukur kamu masih mengenali badan halusku," jawab suara itu yang merupakan suara Prabu Tarong Nala.

"Hamba yang hina ini tentu tidak mungkin bisa melupakan junjungan rakyat Pasundan Raya yang Agung. Mohon maaf jika ada kekeliruan dengan sikap hamba selama ini," ujar Ki Tapak Dara dengan suara takzim.

"Ha... ha... ha..." suara tawa itu bergema menembus lembah. Membuat seluruh hewan malam terdiam dan kabut berhenti turun.

"Aku sudah lama memaafkanmu. Tapi kamu sendiri yang lebih senang mengurung diri di atas puncak Sanggabuana. Selama ini aku terus mengikuti perkembanganmu dalam upaya menyatukan mustika Tiga Dara. Aku menghargai itu karena aku yakin setelah selesai misimu, kamu akan menyerahkannya kepadaku."

Ki Tapak Dara kian meningkatkan kewaspadaannya. Prabu Tarong Nala sudah menyinggung permasalahan itu; permasalahan yang dulu membuatnya berselisih pikiran sehingga Ki Tapak Dara memutuskan untuk menyepi di Gunung Sanggabuana usai menjalankan misi penyerangan ke kerajaan kecil di tengah samudera dan menghabisi seluruh keturunan Prabu Posari.

"Hamba hanya ingin menunaikan amanat seseorang..."

"Tentunya orang itu sangat istimewa sehingga kamu lebih memilih untuk menjalankan amanatnya daripada mendengarkan titahku."

Suara Prabu Tarong Nala semkain dalam dan tegas menandakan ia mulai marah. Ki Tapak Dara mulai merapal ilmu pamungkasnya untuk menghadapi segala kemungkinan. Ia merasa sisa hidupnya tengah menuju pada detik-detik terakhir.

"Tidak mungkin hamba melawan titah Prabu," sahut Ki Tapak Dara.

"Hamba memilih untuk mengundurkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan demi nyawa seorang gadis kecil yang ibunya telah hamba bunuh..."

"Cukup!" Terdengar suara yang sangat keras, mengguntur memecahkan gendang telinga.

Bersamaan degnan itu muncul sosok Prabu Tarong Nala lengkap dengan pakaian kebesarannya. Bahkan mahkota perlambang eksistensinya sebagai pegnuasa Pasundan Raya bertengger di atas kepala. Padahal sejak Tungga nala dilantuk untuk menggantikan dirinya, mahkota itu menjadi milik anaknya. Mengapa dia masih mengenakan mahkota itu? desis Ki Tapak Dara.

"Sekarang serahkan satu lagi anak keturunan Posari yang masih kamu sembunyikan. Sebab dua anak lainnya sudah ada di istana," ujar Tarong Nala.

"Hamba tidak tahu..."

"Jangan bohong!" bentak Tarong Nala.

"Tidak mungkin hamba berani berbohong pada Paduka. Hamba benar-benar tidak tahu dimana dia sekarang," sahut Ki Tapak Dara.

Suaranya tidak lagi takzim karena ia tahu hal itu sudah tidak ada gunanya. Tarong Nala tetap akan menghabisinya. Jika selama ini dia tidak mengejar dirinya hal itu dikarenakan Tarong Nala tahu dirinya hanya menyimpan satu keturunan Posari. Sekarang setelah dua gadis pembawa mustika Posari ditemukan, maka dirinya menjadi sasaran berikutnya.

"Aku menyesal karena dulu tidak segera menghabisimu. Sekarang kamu merasa sudah sangat sakti sehingga terus membantah perintahku."

Bersamaan dengan itu, sebuah serangan mematikan dilepas Tarong Nala. Ki Tapak Dara melenting ke udara. Pukulan itu tidak mengenai sasaran dan hanya menghantam beberapa batang pohon. Dahsyatnya pukulan itu bisa dilihat dari tumbangnya pohon-pohon yang terkena pukulan maut itu.

Sampai Tarong Nala melepas 24 jurus, Ki Tapak Dara belum juga melawan. Ia hanya menghindar sambil membentengi dirinya dengan ajian penghapus sukma. Dengan ilmu itu, maka andaipun raga Ki Tapak Dara hancur, sukmanya tetap aman. Sebab jika sukmanya ikut terkenal pukulan mematikan, maka pada kehidupan selanjutnya ia hanya akan menjadi makhluk gaib tanpa sukma.

BERSAMBUNG...



Bayu Wahyono, Yon. 2013. Majalah Misteri Edisi 557. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.