Gunung Lawu, gunung yang terletak di perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah ini banyak sekali menyimpan misteri gaib. Selain puncak gunung yang selama ini dijadikan tempat pendakian, puncak gunung Lawu juga sering dijadikan untuk ritual spiritual.
Watu Bonang - Selain ritual ziarah dan sesaji, di lereng maupun puncak gunung juga sering dijadikan tempat untuk sesirih oleh para ahli spiritual. Menurut kepercayaan masyarakat di sekitar lereng Gunung Lawu, tempat itu dahulu kala menjadi daerah mukswanya prabu Brawijaya V bersama para pengikutnya semasa dalam pelarian.
Terlihat banyaknya peninggalan sisa-sisa kerajaan, semasa kejayaan kerajaan Majapahit pada zaman itu. Di antara semua peninggalan sejarah itu, tepat di lereng gunung sebelah barat di antara lembah puncak gunung terdapat sisa-sisa peninggalan Majapahit berupa gamelan yang terbuat dari batu.
Dusun Watu Bonang dahulu bernama dusun Telogo Racah, di dusun inilah seperangkat Gamelan Jawa yang terbuat dari pahatan batu di temukan.
Watu Bonang yang berarti Watu atau Batu, sedangkan Bonang adalah nama perangkat gamelan Jawa, atau apabila diartikan menjadi Batu Gamelan.
Dusun yang terletak di kelurahan Mberjo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar ini berjarak empat jam perjalanan dari puncak gunung Lawu menuruni lereng gunugn di jalur setapak sebelah barat.
Menurut keterangan sesepuh dusun Watu Bonang, Karto Sukaryo (90 tahun) pada zaman dulu desa tersebut merupakan hutan belantara yang gelap gulita karena terlalu lebatnya pohon dan tumbuhan yang memenuhi hutan-hutan di lereng gunung Lawu itu.
Di dalam hutan belantara tersebut hanya di huni hewan buas Harimau, demit maupun jin-jin dan makhluk halus jahat lainnya. Pada masa itu tidak ada hewan piaraan maupun manusia yang berani menginjakkan kakinya memasuki hutan lebat tersebut, konon siapapun yang memasuki hutan tersebut tidak akan pernah bisa kembali lagi.
"Jalma Moro, Jalmo Mati (makhluk masuk, makhluk mati)" cerita mbah Karto.
Eyang Wirokarso lah satu satu manusia yang berani menginjakkan kakinya memasuki hutan Telogo Racah tersebut, Eyang Wirokarso merupakan eyang buyut mbah Karto Sukaryo, orang yang pertama kali sebagai pendiri dusun Watu Bonang.
Eyang Wirokarso semasa itu adalah pengikut setia Prabu Brawijaya V yang ikut dalam pelarian ke arah Gunung Lawu, di daerah itulah semua pengikut sang Prabu Brawijaya akhirnya memilih sendiri daerah-daerah yang akan dijadikan sebuah dusun atau perkampungan yang kelak akan menjadi tempat bnagi anak cucu keturunannya.
Pertama kali memasuki hutan Telogo Racah (babat alas) Eyang Wirokarso harus bertarung dengan penunggu hutan Telogo Racah yaitu Harimau jejaden (jadi-jadian). Namun harImau jadi jadian tersebut berhasil di kalahkan oleh Eyang Wirokarso.
Setelah berhasil mengalahkan harimau penunggu hutan Telogo Racah tersebut, Eyang Wirokarso mulai membabat pohon-pohon maupun lebatnya ilalang yang memenuhi hutan Telogo Racah. Para saat itulah Eyang Wirokarso menemukan beberapa gamelan jawa yang terbuat dari batu.
Namun hanya beberapa buah gamlean saja yang di temukan Eyang Wirokarso pada saat itu, tetapi beliau merasa yakin bahwa gamelan-gamelan tersebut pastinya akan genap untuk menjadi se pangkon (seperangkat) alat gamelan yang terbuat dari batu.
Rupanya benar apa adanya, Eyang Wirokarso pada akhirnya menemukan semua seperangkat gamelan Jawa yang kesemuanya terbuat dari batu gunung, setelah beliau membabat sebagian alas Telogo Racah tersebut.
Gamelan-gamelan Jawa yang kesemuanya terbuat dari batu itu oleh Eyang Wirokarso di tumpuk dijadikan satu di daerah itu, yang kelak daerah tersebut nantinya akan menjadi sebuah desa yaitu dusun Watu Bonang.
Dusun Watu Bonang letaknya bersebelahan dengan Telogo Mardigdo, telaga yang konon di jadikan tempat rebutan cupu manik astagina antara Sugriwo dan Subail, dua orang pangeran tampan yang memperebutkan seorang putri yang pada akhirnya berubah menjadi kera setelah keduanya menceburkan diri ke dalam air telaga.
Telaga tersebut berada di atas dusun Watu Bonang, dusun yang di kelilingi hutan pinus dan berada di lembah antara bukit-bukit gunung lawu yang hijau.
Oleh masyarakat di sekitar Watu Bonang sepangkon gamelan tersebut di buatkan cungkup (rumah kecil) untuk memayungi peninggalan sesepuh desa mereka pada zaman dulu, mereka juga mempercayai bahwa Watu Bonang merupakan punden bagi masyarakat desa setempat.
"Tiap malam jumat kliwon, gamelan-gamelan tersebut pada malam hari sering berbunyi sendiri seakan akan di tabuh berirama nampak terdengar dari kejauhan, tapi kalau di dekati tidak terdengar bunyi suara gamelan tersebut" ujar mbah Karto Sukaryo, kakek tua yang masih terlihat sehat dan kuat meski usianya hampir seabad.
"Tapi sekarang jarang bunyi seperti dulu lagi, semenjak beberapa gamelan itu raib dari tempatnya di curi oleh orang" imbuhnya.
Masyarakat desa setempat selalu memberikan sesaji pada hari-hari tertentu, mereka yakin bahwa hal ini akan mendatangkan berkah pada pertanian mereka yang mayritas masyarakatnya di dusun Watu Bonang adalah petani.
Bahkan kepercayaan itu sampai sekarang masih di pegang teguh oleh masyarakat dusun Watu Bonang sebagai bentuk penghormatan masyarakat adat terhadap para leluhur-leluhurnya.
Menurut masyarakat yang bermukim di dusun Watu Bonang dan sekitarnya, mereka juga percaya apabila terjadi sesuatu musibah di gunung lawu masyarakat dusun Watu Bonang akan mendapatkan peringatan, yaitu hujan lebat yang tidak akan pernah berhenti.
Setiap ada kejadian musibah hilangnya para pendaki maupun orang-orang yang melakukan ritual di puncak Lawu, dusun Watu Bonang dan dusun-dusun di sekitarnya akan selalu di guyur hujan lebat terus menerus dan tak akan pernah berhenti sampai di temukannya orang yang hilang tersebut.
Pernah pada tahun 1990an ada sekelompok pendaki yang berasal dari suatu sekolahan di kota Solo yang tersesat hilang di puncak gunung Lawu, saat itu dusun Watu Bonang di guyur hujan lebat terus menerus tak henti-hentinya selama tiga hari.
Sehingga masyarakat dusun Watu Bonang mulai resah.
Sebab tanaman yang akan mereka panen akan rusah semuanya apabila hujan tidak akan reda, lalu masyarakat yang bermukim di dusun Watu Bonang dan sekitarnya beramai-ramai mendaki ke arah puncak gunung untuk mencari para pendaki yang tersesat hilang tersebut.
Pada saat itu ditemukan lebih dari empat orang yang telah tewas di lembah puncak lawu karena tersesat keluar dari jalur pendakian dan kedinginan hingga menyebabkan beberapa pendaki tewas.
Pertanda alam itu sampai saat ini masih selalu lekat dalam adat tradisi masyarakat di dusun Watu Bonang dan sekitarnya, apabila telah terjadi suatu musibah di puncak Lawu kalau hujan yang melanda desa mereka sudah tidak pada lazimnya.
Judianto, Djoko. 2012. Majalah Misteri Edisi 527. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.