WANITA TANPA BUSANA TERAPUNG DI SUNGAI OGAN

Hujan turun sangat deras membasahi Sungai Ogan. Perahu motor yang kami tumpangi nyaris tidak bisa berjalan malam itu, walau lampu kabut telah digunakan. Batas pandangan mata kami di luasnya sungai malam itu, hanya dapat beberapa meter saja ke depan. Selebihnya, kabut akibat hujan deras, menutup pandangan mata kami yang sangat terbatas.

Wanita Tanpa Busana Terapung di Sungai Ogan - Malam itu, tanggal 13 Januari 2001, kami terpaksa pergi ke kota Palembang dengan kendaraan air yang kami miliki. Sebab sebagai keluarga yang bermukim di desa yang jauh dari jalan raya, tinggal di tepi sungai, kami lebih banyak menggunakan kendaraan air ketimbang menggunakan angkutan umum di darat.

Desa kami bernama Rantaupanjang, kecamatan Tanjungraja, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Rumah kami berada di pinggir Sungai Ogan yang luas, sungai yang berhubungan langsung dengan Sungai Musi di Kota Palembang. Jarak tempuh dari rumah kami ke Tanjungraja, hanya 20 kilometer, sedangkan ke Palembang, jaraknya 49 kilometer.

Sebenarnya kapal motor sangat jarang berjalan malam. Sebab di dalam gelap, banyak resiko yang menghadang di permukaan air. Seperti kayu, timbuhan, kiambang, eceng gondok, dan sampah air yang bisa membahayakan perjalanan air. Selain bisa terbalik, mesin motor air juga bisa mogok dan baling-baling akan patah bila tertabrak benda-benda keras. Karena resiko berat itulah, maka jarang sekali perahu motor berjalan di malam hari.

Oleh karena kami terdesak, karena Nita Karina, anak kami yang bersekolah di SMA Negeri 1 Palembang, mengabarkan sakit ia telpon, maka kami terpaksa berangkat untuk mengurus anak kami yang sedang sakit. Untuk itulah, kami terpaksa menyalakan mesin motor air untuk mencapai kota Palembang dan membawa anak kami berobat secepatnya.

Saat kami berangkat dari rumah di Rantaupanjang, jam dinding menunjukkan pukul 23.00 hampir tengah malam. Kami berangkat hanya berdua, sebab sopir kendaraan air kami, sedang sakit juga, badannya panas dingin dan dia baru saja berobat ke dokter. Karena sopir tetap tidak bisa, maka suamiku, Bang Nazirin yang menyetir, sedangkan aku duduk di depan menjadi kernetnya, sekaligus menjadi navigator.

Sebagai gadis yang besar di kendaraan air milik orang tuaku, aku paham betul tentang keadaan air sugnai, bukan saja di sungai Ogan, tapi juga paham akan keadaan Sungai Musi, Sungai Batanghari dan laut Selat Bangka. Sejak kecil aku selalu ikut ayah membawa penumpang ke kota bahkan membawa penumpang ke Sungsang, Musibanyuasin, di dekat Selat Bangka, provinsi Bangka-Belitung.

Dengan keyakinan penuh, karena terdesak oleh anak tunggal kami yang sakit, maka kami segera berlayar melintasi Sungai Ogan menuju Kota Palembang.

"Mama siap menjadi navigator kan?" tanya suamiku, yang aku sambut dengan anggukan kepala yang meyakinkan.

"Siap Bang, Kita harus berangkat malam ini juga!" tambahku.

Perjalanan malam itu terasa begitu berat. Sebab hujan deras menyelimuti malam, keras sesekali ditingkali suara petir dan geluduk yang harus bergemuruh di atas kepala kami.

Kata orangtua kami dulu, petir itu ada karena diciptakan oleh Tuhan untuk membunuh iblis. Tiap kali petir menyambar pohon, kata orang tua kami, pastilah di pohon itu sedang ada iblis yang harus dihabisi oleh Tuhan melalui serangan petir yang mematikan itu. Maka, pada saat kami baru mau berangkat, tiba-tiba api besar membumbung di pohon kelapa milik kami, sebuah pohon kelapa yang menjuntai di tepi sungai yang berbuah lebat. Akibat terkena petir, semua buah kelapa itu terjatuh dan pohon kelapa itu hangus terbakar petir.

Walau kemi terkejut dan takut setelah petir itu merobohkan pohon milik kami, namun karena demi anak, maka kami tidak mengurungkan niat sejengkalpun untuk pergi ke kota Palembang tengah malam itu juga. Apalah arti sebuah petir, jika nyawa anak kita sedang dalam keadaan yang terancam.

"Kita harus cepat selamatkan anak kita walau petir dan badai malam ini terus mengganggu,: kata ku, kepada suamiku, bang Nazirin. Bang Nazirin mengangguk dan bersiap menghadapi resiko apapun, asal kami secepatnya sampai di kota dan membawa Nita Karina, anak kami ke rumah sakit di Kota Palembang.

Air sedang pasang malam itu, ditambah pula hujan lebat, maka permukaan sungai Ogan makin meninggi. Lalu, karena dorongan angin yang deras, maka, permukaan sungai penuh ombak dan gelombang, makin menyulitkan perjalanan motor kami.


Wanita malam itu segera kami tolong, kami naikkan ke dalam perahu dan aku memberikan selimut kepadanya. Wanita itu ternyata tidak menggunakan sehelai benang pun, telanjang bulat.

Keadaan malam sangat gelap, lampu kuning penembus kabut nyaris tidak mempan membuka pandangan mataku sebagai navigator. Mataku nyaris tak mampu menembus pemandangan di depan perahu motor kami, bahkan aku tidak dapat menangkap pemandangan apapun selain air hujan bersama kabut tebal yang butek.

"Jangan terlalu cepat jalannya, Bang, biar kita jalan lambat saja, yang penting selamat sampai tujuan, oke?" kataku, yang disambut oleh bang Nazarudin dengan kata, oke. Untuk itulah, motor yang berkecepatan 20 kilometer per jam itu hanya berjalan separuhnya, sepuluh kilometer per-jam air.

Mesin merk Yanmar buatan Jepang itu, memang baru saja kami beli, cukup modern karena menggunakan speed meter, computer gas dan otomatic moodrem water. Kami beli meisn dan perahu motor berukuran panjang 10 meter itu, sebersar Rp 65 juta, yang disewakan untuk angkutan air, seperti mengangkut penumpang, padi, serta hasil pertanian lain, dari Rantaupanjang ke Palembang setiap hari.

Sesampainya di Pulau Kancil, separuh perjalanan ke Palembang, tiba-tiba kami melihat seorang wanita yang berteriak di permukaan air. Dia sedang berenang dan meminta tolong diselamatkan kepada kami, Aku segera meminta Bang Nazirin mematikan mesin dan memerintahkannya berputar mendekati perempuan yang tengah berenang dini hari itu.

Aku lalu mengambil senter 16 baterai dan meyenteri wanita yang terengah-engah karena lelah berenang tersebut. Aku ambil pengayuh dan memberikannya kepada wanita itu. Dia memengang pengayuh yang aku julurkan lalu aku menarik dia mendekati motor kami. Sementara itu, hujan semkain deras dan petir pun makin bersahut-sahutan di sana di sini, memancarkan cahaya listrik yang membuka kegelapan malam.

Wanita malam itu segera kami tolong, kami naikkan ke dalam perahu dan aku memberikan selimut kepadanya. Wanita itu ternyata tidak menggunakan sehelai benang pun, telanjang bulat dan aku memberikan daster di tas pakaianku untuknya. Setelah itu aku memberikan minuman teh manis panas yang ada di termos dan dia meminumny adengan nikmat.

"Kenapa kamu berenang di tengah malam ini? Ada apa gerangan yang kamu alami?" tanyaku, kepadanya. Sedangkan Bang Nazirin kembali menyalakan mesin dan perahu motor kami secara perlahan mulai berjalan, melawan ombak dan gelombang yang semakin deras.

Arkian, sambil meneteskan air mata, wanita yang bernama Romlah Hasnawati itu, ternyata baru saja diusir oleh suaminya yang penjudi sabung ayam. Suaminya pulang minta uang untuk berjudi lagi keesokan harinya,, tetapi Romlah menolak. Suaminya itu sedang mabuk minuman beralkohol dan menampar wajahnya. Setelah menampar wajah, si suami yang jahat itu, menarik semua pakaian yang dikenakan Romlah lalu menceburkannya ke Sungai Ogan. Romlah lalu berenang ke tengah sungai untuk menginap di rumah anak perempuannya yang sudah berkeluarga. Sebelum sampai di seberang, Romlah bertemu perahu motor kami dan minta bantuan.

"Kalau begitu, kami antar kamu ke rumah anakmu di kampung seberang situ ya?" tanyaku, kepadanya.

"Tidak, tidak usah aku diantar ke rumah anakku, aku mau ikut kalian ke kota malam ini, biar besok aku mau cari pekerjaan di kota Palembang, biar suami saya tinggal saja sendirian, saya sudah tidak kuat bersama dia, biar dia tidak tahu di mana keberadaan saya sebenarnya," kata Romlah, serius.

Setelah itu, dia menyebut, bila dia masih di kampung itu, dia akan didatangi suaminya dan terancam fisiknya lagi, saya akan dianiaya lebih berat.

"Suami saya itu jawara, dia ditakuti karena keberingasaannya, polisi pun, takut sama dia karena dia punya ilmu gaib yang tinggi. Untuk itulah, saya bertekad mau lari saja, tolong aku, selamatkan aku dari ancaman suamiku yang jahat itu," desis Romlah, menghiba kepadaku. Setelah mempertimbangkan keselamtannya, maka aku dan Bang Nazirin mengajak Romlah ke kota Palembang malam itu. Nmaun, kami meminta kepadanya, agar kami suami istri, tidak dilibatkan bila masalah pelariannya itu jadi masalah hukum. Namun, Romlah meyakinkan kami, bahwa dia tidak akan membawa-bawa nama kami, bahkan dia akan menyembunyikan peran kami dalam pelariannya itu.

Walau lambat, perjalanan malam itu terus merayap menuju kota Palembang. Setelah melewati kecamatan Pemulutan, kami membuka makanan kaleng dan kami makan dengan nasi panas yagn ada di termos nasi kami. Romlah makan dengan lahap karena dia kelihatan sangat lapar dan Bang Nazirin aku suapi sambil dia menyetir perahu motor kami.

"Saya dulu menginginkan keharmonisan rumah tangga seperti kalian berdua. Harmonis dan idealis. Tapi, nasib saya apes, saya kok mendapatkan suami yang ternyata seperti harimau, galak, bengis dan sangat sadis kepadaku. Selama sepuluh tahun aku menikah, tidak pernah aku mendapatkan kebahagiaan di dalam perkawinan. Untunglah, kami tidak punya anak, sehingga kelakuan suamiku itu tidak sampai menyiksa anak-anakku", ungkapnya, sambil bersedih.

Setelah makan pada pukul 03.00 dinihari itu, perjalanan terus dilanjutkan dan hujan nampak mulai mereda. Langit pun mulai cerah dan perjalanan malam menjelang pagi itu bisa dipercepat sedikit, menjadi 18 kilometer per jam.

Setelah melewati kolong jembatan Kertapati, perahu motor kami masuk ke Sungai Musi yang lebih luas dan sangat lebar. Jam menunjuk di angka 05.00, saat kami memarkir kendaraan air itu di dermaga Tangga Buntung, parkiran khusus perahu air, skoci dan tongkang dari Ogan Ilir di Kota Palembang.

Setelah Bang Nazirin menambatkan kendaraan air itu, kami bertiga lalau naik taksi ke rumah anak kami di jalan Jaksa Agung R Suprapto, Bukit Besar, Palembang Bagian selatan. Anak kami, menyewa rumah cukup  longgar di situ, di rumah Kolonel Purnawirawan Akas Umar, yang tidak berapa jauh dari sekolahannya, SMA Negeri 1 Palembang. Romlah mau ikut dengan kami pagi itu dan dia bertekad untuk membantu anakku yang sedang sakit.

Sesampainya di rumah anak, akau terkejut sekali karena anakku itu panasnya sangat tinggi dan terkapar dengan lemas. Kami segera akan membawanya ke rumah sakit malam itu, atau paling tidak memanggil dokter supaya cepat mendapat pertolongan. Namun, pada saat kami panik, Romlah meneduhkan kepanikan kami itu dengan meminta segelas air putih. Air itu lalu dimantra-mantrainya dan setelah itu, air itu diusapkannya ke wajah anak kami yang sedang demam tinggi.

Beberapa saat kemudian, keajaiban datang, tiba-tiba panas badan anak kami langsung turun dan Nita Karina, anak kami langsung sehat walafiat. Suhu tubuhnya jadi normal, batuknya hilang dan dia biasa bangun lalu beraktifitas di pagi itu. Namun, setelah Nita karina sembuh total, tiba-tiba Romlah menghilang dari pandangan kami. Entah ke mana. Kami lalu panik mencari dia, tapi tidak seorang pun tetangga yang melihat sosok itu dan dia lenyap secara misterius.

Setelah kami mencari kemana-mana dan tidak menemukan, lalu kami membawa Nita Karina pulang ke kampung, kebetulan dia akan segera libur panjang karena tanggal merah dan hari minggu. Kami kembali mengambil perahu motor kami dan bersama Nita, kami bertiga berlayar di suasana siang hari yang cerah, menyusuri Sungai Musi dan Sungai Ogan yang ceria.

Sesampainya di Desa Jagalano, tempat menemukan Romlah, kami berhenti, lalu memarkir perahu motormencari tahu di mana rumah anak Romlah yang bernama Saskia Rosita yang diceritakannya. Kami bertanya ke beberapa warga dan akhirnya dengan mudah kami menemukan rumah Saskia Rosita di kampung Ilir 3 Selatan, Desa Jagalano Seberang.

Saskia Rosita agak kaget melihat kami bertiga mendatanginya. Sebab dia belum pernah sama sekali melihat kami dan kami pun tidak pernah sebelumnya mengenal dia.

"Ada apa ya datang mencari saya? Siapa kalian dan dari mana?" tanya Saskia Rosita, penasaran. Rosita, ternyata anak dari Romlah dari perkawinan terdahulu. Saat Saskia masih bayi, ayah kandungnya meninggal dunia dan Romlah berapa tahun kemudian menikah dengan Jawara, jagoan dan tukang judi ayam sabung dari desanya itu. Saskia dibesarkan oleh bibinya dan diangkat anak oleh si bibi karena sejak kecil diperlakukan kasar oleh bapak tirinya.

"Ibu saya, Romlah, sudha lima tahun lalu meninggal. Ibu saya ditemukan mati tenggelam di sungai ini, dia berenang di tengah malam dan berusaha datang ke rumahku dengan menyeburkan diri ke air utnuk menyebrang. Ibuku ditemukan warga dalam keadaan tanpa sehelai pakaian pun dan dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Polisi tidak mencurigai suaminya, papa tiriku, sehingga tidak dijadikan tersangka apapun, sehingga dia tetap bebas berkeliaran di mana-mana. Bahkan, papa tiriku itu, pernah mengancam mau membunuh aku saat aku mulai mencurigai bahwa dialah pembunuh ibuku," cerita Saskia Rosita, kepada kami bertiga.

Duh Gusti, ternyata Romlah sudah lima tahun lalu meninggal. Perempuan yang berenang minta tolong pada kami itu ternyata sudah menjadi arwah dan telah wafat lima tahun yang lalu.

"Berarti, ibumu yang kami tolong saat berenang tengah malam di sungai ini, adalah arwah, arwah yang maujud dan berinteraksi dengan manusia yang hidup, yaitu kepada kami," imbuh Nita karina, anakku, yang sangat tertarik mendengarkan cerita Saskia Rosita.

"Almarhumah ibu Anda, malah menolong anak saya yang sedang sakit panas. Hingga sekarang, suhu tubuh anak saya menjadi normal dan menjadi sehat walafiat, bisa kami ajak untuk pulang kampung," terangku, kepada Saskia Rosita.

Kami bertiga sangat terguncang mendengar kisah itu. Sebab, ternyata, kami baru saja berhubungan dengan makhluk gaib, arwah orang yang sudah lima tahun lalu meninggal, minta pertolongan dan berbalik menolong kami. Dalam kesempatan itu, Saskia Rosita juga menceritakan, bahwa ibunya, Romlah, semasa hidup, juga sering menyembuhkan orang sakit. Artinya, dia memang mampu mengobati orang sakit dengan cara mnyemburkan air putih. Bahkan, dengan bakatnya itu, almarhumah, semasa hidupnya sangat terkenal di daerah Jagalano sebagai pengobatan alternatif.

"Alhamdulillah, sekarang ini, saya mendapatkan warisan ilmu dair almarhumah ibuku, dan dapat membantu orang bila dalam kesulitan berhadapan dengan penyakit, baik penyakit ringan maupun berat," tukas Saskia Rosita, menutup pembicaraannya kepada kami. Kami pun, walau dalam keadaan terguncang, lalu berpamitan, setelah memeluk Saskia Rosita dengan hangat.


(Kisah ini dialamai Nyonya Nazarudin Hasan, Henny Nawani menulis cerita itu untuk Kita semua.)



Nawani, Henny. 2013. Majalah Misteri Edisi 555. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.