TUAN TAPA DAN PUTRI NAGA

Akhirnya, sepasang naga sakti yang kesepian karena telah sekian lama tak dikaruniai keturunan itu, meniup perahu yang ditumpangi pasangan suami istri dan bayi perempuan hingga tenggelam di tengah lautan nan luas...

Tuan Tapa Dan Putri Naga - Di zaman dahulu, di Aceh Selatan, hidup sepasang naga sakti yang memiliki seorang anak perempuan yang rupawan dan akrab disapa dengan Putri Naga. Menurut tutur, putri tersebut memang sengaja dirampas dari orang tuanya.

Suatu ketika, untuk menghilangkan kegalauan yang selama ini merayapi relung hati keduanya karena keturunan yang didamba tak jua didapat, maka, pasangan naga sakti itupun sengaja berjalan-jalan di tengah lautan nan luas seolah tak bertepi itu. Mendadak, si naga jantan tertegun. Ia memperhatikan sebuah titik hitam yang sedang meniti gelombang laut yang kala itu sedang tenang. Perlahan tetapi pasti, titik hitam itupun mendekat, mendekat dan makin mendekat ke arah sepasang naga itu.

Keduanya terkejut tidak alang kepalang, maklum, titik hitam itu ternyata sebuah biduk yang di dalamnya terdapat tiga sosok manusia. Pasangan muda bersama dengan tubuh mungil yang terlelap di pangkuan ibunya. Menurut cerita yang berkembang di tengah-tengah masyarakat sekitar, ketiganya sengaja datang ke daerah itu untuk mencari rempah-rempah. Di antaranya nilam, cengkeh dan pala.

Karena keinginannya mempunyai keturunan sudah tak dapat dibendung lagi, sontak, sepasang naga sakti itu langsung meniup air laut yang tenang sehingga berubah menjadi badai yang menakutkan. Biduk itu pun terhempas kian kemari, di tengah-tengah itu, si naga betina dengan sigap menjulurkan lidahnya untuk menangkap tubuh mungil yang terhempas dari dekapan ibunya yang tengah dilanda ketakutan yang teramat sangat.

Akhirnya, biduk pun pecah, dan pasangan suami-istri itu mencoba bertahan di salah satu pecahan kayu biduk miliknya dan sesampainya di daratan, keduanya hanya bisa menangis pilu memikirkan nasib putri kesayangannya yang disangkanya telah tenggelam di tengah lautan.

Sementara itu, sepasang naga sakti dengan perasaan riang membawa tubuh mungil itu ke suatu pulau yang terletak di Batu Hitam, Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan. Dengan penuh kasih sayang, si naga betina itu selalu memeluk putri angkatnya dalam cengkeramannya gar tidak hilang. Ketika tersadar dan melihat kedua sosok naga yang demikian besar itu, sontak, sang putri pun menangis dengan sejadi-jadinya.

Karena tak juga mau berhenti menangis, akhirnya, kedua naga itu pun mengeluarkan kesaktiannya untuk menenangkan putri kecilnya. Dan benar, putri kecil yan gakhirnya diberi nama Putri Bungsu dan dalam perjalanan waktu lebih dikenal dengan sebutan Putri Naga, langsung menjadi tenang dan kembali ceria seolah tak mengalami kejadian yang menakutkan. Bahkan, si naga jantan membuatkan tempat bermain yang indah di gunung itu dengan harapan agar Putri Bungsu menjadi betah tinggal di sana.

Hari terus berganti, sang putri telah beranjak dewasa itupun tinggal bersama dengan sepasang naga di dalam sebuah gua. Pada suatu malam, secara tak sengaja, sang putri mendengarkan perbincangan sepasang naga itu. Hatinya langsung tersentak, betapa tidak, ternyata ia bukan keturunan sepasang naga itu. Niat untuk melarikan diripun langsung muncul.

"Aku tidak boleh gegabah, mengingat sepasang naga itu memiliki kesaktian yang sulit untuk diukur bandingannya", demikian gumam sang putri.

"Aku harus memperhitungkan waktunya dengan tepat", bisik hatinya sambil berjalan ke puncak gunung tempat ia selama ini tinggal.

Dari atas gunung, ia melihat ada sebuah kapal yang berlayar di kaki gunung itu. Tetapi apa daya, kala itu, sang naga jantan sedang tidur di tepian laut. Dengan bersijingkat, sang putri berjalan mendekati bibir pantai. Mendadak, langkahnya pun terhenti. hatinya langsung bimbang, apalagi jika mengingat kesaktian sang naga yang pasti akan menghambat segala niatnya untuk melarikan diri.

Niat itu kian hari kian menguat. Hingga pada suatu ketika, sang putri mendapatkan ide yang cemerlang. Dengan perasaan riang, seperti biasanya, sang putri mengajak sepasang naga itu berjalan-jalan menyusuri pantai pulau tempat mereka tinggal. Dan akibat kelelahan yang teramat sangat, maka, kedua naga itupun tertidur dengan pulas. Sang Putri tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia langsung mendaki bukti kecil agar bisa dengan mudah memperhatikan dan mendekati laut.

Kali ini keberuntungan tengah berpihak kepada sang putri. Begitu sang putri melambaikan tangannya, sebuah biduk pun langsung mendekat. Tanpa banyak cakap, biduk pun langsung dikayuh menjauhi pantai. Tak lama kemudian, sang naga yang terjaga dari tidur amat terkejut ketika mengetahui putri kesayangannya tak ada lagi di dekatnya. Ketika memandang ke laut lepas, ia melihat ada sebuah biduk. Hati sang naga langsung berdesir, "Pasti putriku ada dalam biduk itu". Dengan cepat, sepasang naga itu langsung mengejarnya.

Di Gua Kalam, tak jauh dari bukit itu, tampak seorang manusia yang bergelar Tuan Tapa sedang bertapa. Ia terbangun seolah mengetahui ada bencana besar bakal terjadi di dekatnya. Dengan sigap, Tuan Tapa pun berjalan ke luar gua dan menatap laut lepas. Di kejauhan sana, tampaks epasang naga yang sedang marah tengah mengejar sebuah biduk. Melihat keadaan itu, Tuan Tapa pun langsung menghadang sepasang naga itu dengan tongkat saktinya.

Sepasang naga yang sedang murka itu langsung menyemburkan api dari mulut keduanya. Melihat hal itu, dengan sigap Tuan Tapa pun menunjukkan tongkat saktinya ke udara hingga turunlah hujan yang lebat dan langsung memadamkan api tersebut. Sang naga jantan yang penasaran itu kembali melancarkan serangan dengan menyemburkan panah berapi ke arah musuhnya, sementara, si naga betina juga menyemburkan ratusan pisau beracun dari mulutnya. Tetapi, kedua serangan yang mematikan itu berhasil dielakkan oleh Tuan Tapa.

Akibat emosi yang tak terhingga dan seringnya melakukan serangan yang mematikan, akhirnya sepasang naga itu pun kelelahan. Melihat keadaan itu, Tuan Tapa pun berganti meningkatkan serangannya. Mendapatkan tekanan yang terus menerus, maka sepasang naga itupun melarikan diri. Seiring dengan Tuan Tapa mengayunkan tongkatnya, tampat selarik cahaya kemilau menyerang kedua naga itu. Sontak, si naga betina yang berlari dengan sekencang-kencangnya tak berhasil menguasai diri sehingga menabrak sebuah pulau hingga terbelah menjadi dua. Pada akhirnya, pulau terbelah yang terletak di kecamatan tapaktuan, Aceh Selatan, dikenal dengan sebutan Pulau Dua. Sedangkan sang naga jantan yang berhasil dihajar habis-habisan oleh Tuan Tapa hingga tubuhya hancur berkeping-keping, darahnya menyebar dan memerahkan tanah, bebatuan bahkan lautan. Kini, tempat ceceran darah naga itu masih terlihat di atas tanah dan bebatuan yang memerah dan biasa disebut sebagai Tanah Merah atau Batu Merah.

Kemudian, hati sang naga yang terlempar menjadi beberapa bagian akibat pukulan tongkat sakti Tuan Tapa, peninggalannya hingga kini masih terlihat dengan jelas berupa batu-batu berwarna hitam yang berbentuk hati. Seiring dengan perjalanan sang waktu, daerah tersebut dikenal dengan sebutan Desa Batu Hitam sedang di tempat pertempuran terdapat tongkat mirip batu yang diyakini sebagai tongkat sakti Tuan Tapa. Akhirnya, sang putri pun hidup normal kembali di tengah-tengah kasih sayang orang tuanya dan mendapat julukan sebagai Putri Naga.

Sampai dengan tulisan ini diturunkan, kita masih dapat menyaksikan peninggalan Tuan Tapa berupa tongkat dan topinya yang berada di tengah-tengah laut dari Gunung Lampu setiap menjelang senja, serta sebuah telapak kaki serta makamnya yang memiliki ukuran luar biasa besar. Dan kisah ini pula yang membuat kenapa Aceh Selatan lebih dikenal sebagai Kota Naga.



(Dari berbagai sumber terpilih)



Pratama, DS. 2013. Majalah Misteri Edisi 555. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.