MENARA TIGA DARA (Bag. 9)

Ringkasan kisah lalu...
 
Mekar Dara sempat melakukan tapa brata selama beberapa hari. Bukan untuk menyempurnakan ilmunya, namun lebih didorong keinginan untuk bunuh diri. Melihat hal itu Ki Tapak Dara membujuknya dan menceritakan rahasia lainnya menyangkut identitas diri Mekar Dara dan dua saudara lainnya. Kisah tentang kedua adiknya yang diceritakan Ki Tapak Dara membuka mata gadis itu jika dirinya memiliki tigas saudara kembar. Bukan hanya itu, ada rahasia tentang tiga mustika yang harus disatukan yang kini berada di tanganmasing-masing. Kini keinginannya untuk bunuh diri sirna, berganti amarah dan rindu pada kedua saudaranya. Namun saran Ki Tapak Dara agar dirinya menikah dengan Pangeran Tungga Nala sebagai jalan pintas masuk ke istana Pasundan, ditolak mentah-mentah oleh Mekar Dara. Sementara Tuma Branjang yang telah diangkat sebagai Mahapatih Pasundan, mengajukan pengunduran diri dari jabatannya karena merasa tidak bisa bekerja maksimal. Ia pun prihatin dengan kelakuan Tunggal Nala. Namun permintaan itu justru dijawab dengan perintah yang sangat tidak ia inginkan: menangkap Ki Tapak Dara dan anak gadisnya!


BAGIAN SEMBILAN

Menara Tiga Dara (Bag. 9) - Rombongan pasukan Kerajaan Pasundan bergerak bak ular. Jarak antara pasukan terdepan dengan pasukan terbelakang mencapai satu kilometer. Pasukan yang dibawa Pangeran Tungga Nala, yang kini sudah menjadi maharaja Pasundan, cukup untuk menaklukkan sebuah kerajaan kecil. Bahkan pasukan berkuda yang bergerak cepat cukup untuk memukul pasukan kerajaan manapun. Sebab tiap kelompok dari lima kelompok pasukan berkuda yang dibawa, dipimpin langsung oleh panglima perang senior setingkat senopati.

Tidak heran jika gelar pasukan yang dilakukan Tungga Nala ini menciutkan siapa saja. Namun tidak ada seorang penduduk pun yang berani melontarkan kegeramannya atas ulah para prajurit dalam rombongan itu. Yah, seluruh jalan yang dilalui pasukan itu pasti porak-poranda. parahnya lagi, atas saran Tung Encim, dukun sihir istana yang ikut dalam rombonganitu, mereka harus memotong jalan, melewati lembah Pocong Hitam sebagai syarat untuk melunturkan ilmu Ki Tapak Dara. Akibatnya, sejumlah persawahan dan ladang penduduk yang dilalui rombongan pasukan Tungga Nala, hancur. Beberapa prajurit dengan seenaknya memetik buah-buahan dari kebun warga tanpa permisi, apalagi membayarnya. Namun siapa yang berani menegur?

Setelah dua hari perjalanan tanpa henti, rombongan tiba di lembah Pocong Hitam. Sesuai namanya, lembah ini sangat angker dan dilindungi oleh kekuatan gaib. Lokasinya juga sangat ideal untuk melakukan pembantaian, karena lembah itu diapit dua bukit yang memiliki dinding cukup terjal. Di tengahnya mengalir sungai kecil yang dipenuhi bongkahan batu dengan ukuran raksasa. konon di sinilah seluruh penganut ilmu sihir melakukan ujian terakhir guna menyempurnakan ilmu. Mereka umumnya menyimpan benda bertuah di salah satu dinding bukit. Jika benda itu diambil, pemiliknya dipercaya akan kehilangan tuah kesaktiannya.

"Tuan, kita telah sampai di lembah Pocong Hitam", ujar salah seorang prajurt pengawal ketika dilihatnya Pangeran Tungga Nala terbangun dari tidurnya di dalam tandu kencana yang dipikul enam orang. Tanpa berbicara, Tungga nala keluar dari tandunya. Ia bisa merasakan betapa kuat kandungan gaib yang ada di tempat itu. Dengan mata batinnya, Tungga Nala bisa melihat puluhan hantu banaspati tengah mengintai dari balik salah satu bongkahan batu hitam di hulu sungai. Tungga Nala segera merapal mantra penangkis sebagai benteng diri.

"Dimana Tung Encim?" tanya Tungga Nala usai merapal mantra.

Tidak sampai satu menit, perempuan tua berambut putih muncul di hadapannya. Dia tersenyum memamerkan gusinya yang hitam karena seluruh giginya sudah lama rontok. Tung Encim punya kebiasaan menanggalkan satu giginya setiap kali berhasil menguasai satu ilmu yang menurutnya sangat tinggi, dan membuangnya di lembah Pocong Hitam. Ritual itu diyakini akan semakin menyempurnakan ilmunya.

"Hamba di sini, Paduka Raja," ujar Tung Encim sambil membungkuk. Tangan kirinya ditaruh di depan dada sementara tangan kanan nya tetap memegangi tongkat Klabat Ular yang menjadi senjata andalannya. Konon, tongkat itu berisi sembilan khodam dari seluruh penjuru mata angin.

"Berapa lama waktu yang kamu perlukan untuk menyedot tenaga gaib Ki Tapak Dara?"

"Hamba perlu waktu 24 jam penuh. Hamba harus mengalahkan banaspati penjaga pusaka Ki Tapak Dara..."

"Baiklah", potong Tungga nala. "Silahkan kamu mulai. Besok kita harus bergerak lagi agar tidak kehilangan mereka..."

"Ki Tapak Dara dan putrinya sudah hamba kunci", sambar Tung Encim.

"Mereka tidak bisa meninggalkan Gunung Sanggabuana sampai kita datang!"

Tungga Nala mengangguk dan menginsyaratkan agar penyihir istana itu berlalu dari hadapannya. Tungga Nala memanggil Tuma Branjang dan memerintahakan agar membuat beberapa tandu untuk penginapan sang raja dan pembesar istana lainnya. Setelah itu Tunggal Nala kembali masuk ke tandu. Sepintas dia teringat pada Kay Purnama. Permaisurinya itu memang ditinggal di istana karena dia tidak ingin Kay Purnama mengetahui rencananya. Tapi kini ia ingin sekali ditemani oleh perempuan sementara di sekitar sini tidak ada satupun penduduk. Tungga Nala mengurungkan niatnya untuk tidura. Ia bangun dan keluar tandu dengan wajah memerah. Dipanggilnya seorang panglima berkuda dan memerintahkannya dengan kasar, "Kamu bawa pasukan ke perkampungan terdekat. Cari beberapa gadis perawan dan bawa ke sini!"

"Titah Paduka, siap hamba laksanakan!" sahut Aji Wireng, sang senopati muda nan perkasa. Sebagai salah satu penglima pasukan berkuda, ia memiliki hampir dua ribu pasukan. Namun untuk mendapatkan 5-6 gadis kampung, rasanya ia hanya perlu 10 anggotanya saja. Maka tanpa menunggu jawaban rajanya, Aji Wireng segera berlalu dengan membawa 10 pasukan pilihan.

Sebelum berlalu ia sempat melihat Tung Encim tengah bersemedi di atas sebuah batu besar yang menghadap ke gerojogan di hulu sungai. Aji Wireng tidak pernah suka dengan dukun istana itu, tepatnya pada ilmu sihirnya. Baginya, menaklukna lawan dengan sihir bukanlah tindakan ksatria, tapi pengecut. Itu sebab Aji Wireng lebih suka mempelajari ilmu olah kanuragan yang bisa membuat badannya kekar dibanding ilmu gaib, apalagi ilmu sihir.

Karena belum mengetahui dimana letak perkampungan yang terdekat, Aji Wireng membawa pasukannya menyusuri sungai menuju ke muara. Pengalaman mengajarkan, kebanyakan perkampungan berda di tepian sungai karena memudahkan penduduknya untuk mendapatkan sumber air bersih. Namun setelah berkuda selama hampir setengah jam, belum ada tanda-tanda perkampungan di sekitar sungai yang dilaluinya.

Itu sebabnya ia girang bukan kepalang ketika melihat ada tiga gadis cantik tengah mandi di sungai. Gadis-gadis itu hanya mengenakan kemben putih tanpa motif sambil bercanda; saling memercikkan air ke tubuh temannya. SUara mereka sangat riang dan sepertinya tidak menyadari kehadiran 11 orang laki-laki perkasa di tempat itu.

Dengan isyarat tangannya, Aji Wireng menyuruh lima prajuritnya turun dan mendekati ketiga gadis itu dengan diam-diam. Dengan sigap kelimanya turun dan berjalan perlahan mendekati gadis-gadis belia yang tengah bermain-main itu. Ketika sudah dekat, mereka serempak menubruk gadis-gadis itu. Tampak ketiga gadis itu sangat terkejut. Mereka meronta-ronta minta dilepaskan. Namun tenaga klima prajurit itu jauh lebih kuat sehingga mereka tidak berhasil melepaskan diri.

"Tolong lepaskan kami...!!!" jerit ketiganya.

"Hahaha... Tenang saja, Neng. Kami tidak akan menyakitimu. Ikut saja dengan saya," ujar salah seorang prajurit. Beberapa kali mereka menelan ludah melihat kemulisan kulit gadis yang mereka dekap. Kain kemben yang dipakainya basah sehingga memunculkan lekuk-lekuk tubuhnya. Para prajurit itu bisa melihat buah dada gadis-gadis itu yang masih mungil karena kain kembennya transparan.

"Kami mau dibawa kemana?" tanya salah satu gadis yang kini sudah dapat menguasai dirinya. Dia tidak lagi meronta karena percuma saja. Aku tidak mungkin megnalahkan tenaga beringas ini, pikirnya.

Kalian harus meladeni raja kami," ujar Aji Wireng setelah ketiganya berada di hadapannya. Karena sudah tidak melaawn, ketiganya tidak lagi dipegangi oleh prajurit-prajurit itu. Ketiganya tampak kikuk sambil menutupi dadanya.

Aji Wireng tertawa. "Kalian tidak perlu tahu. Saya sarankan, kalian tidak usah banyak bicara. Turuti saja kehendak kami atau kalian akan pulang tanpa nyawa!"

"Apakah kami harus melayani raja kalian di tempat tidur?"

"Ya... Raja kami sangat perkasa..."

"Mengapa raja kalian tidak disuruh saja ke sini? AKu suka bermain di air", potong salah satu gadis itu sambil melepas kembennya. Kontan saja Aji Wireng melotot. Demikian juga anak buahnya. Rasa bimbang pun berkelebat dalam pikiran Aji Wireng. Sebagai sesama laki-laki, Aji Wireng pun memiliki keinginan yang sama dengan rajanya. Ketika gadis yang sudah memelorotkan kembennya itu menarik tangan Aji WIreng, maka panglima perkasa itu seperti dicocok hidungnya. Ia menuruti tarikan tangan mungil itu masuk ke dalam air.

Setelah keduanya tidak tampak, kini dua gadis sisanya mulai merayu para prajurit itu. Akibatnya sungguh tragis. PRajurit-prajurit itu saling berebut ingin yang duluan menjamah gadis itu. Dengan pedang terhunus mereka saling serang. Satu persatu prajurit gagah perkasa itu tumbang terkena sabetan pedang temannya sendiri. Ketika akhirnya pertempuran usai dengan hanya...


(Bersambung....)



Wahyono, Yon Bayu. 2013. Majalah Misteri Edisi 555. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.