MAAFKAN AKU, HANIFAH

Banyak sekali kejadian aneh yang bermula dari gudang rumah kontrakanku. Bahkan Hanifah, pembantuku, pun tidak berani ke gudang itu sendirian, meski di siang hari. Andai saja tidak terjadi peristiwa yang membuatku merasa berdosa sepanjang hidup, aku pastinya tidak akan peduli. Namun penderitaan yang kini ditanggung hanifah akibat ulah penghuni gudang itu, membuatku shock. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa. Namun aku juga tidak sanggup terus memendam derita batinku.

Maafkan Aku, Hanifah - Genap tiga tahun sudah aku menempati rumah ini. Rumah kontrakan di bilangan Slipi, Jakarta Barat. Suamiku menyewanya seminggu sebelum kami menikah. Ia bilang, rumah ini hanya rumah ementara sebelum akhirnya kami pindah di rumah yang suamiku beli. Aku adalah seorang ibu muda yang setahun lalu dikaruniai seorang anak perempuan. Sementara suamiku seorang pegawai negeri sipil yang bekerja pada lembaga keuangan pemerintah. Jadi, kehidupan kami lebih dari cukup saat ini.

Kami mempunyai satu orang supir serta baby sitter yang aku sewa beberapa bulan lalu. Karena suamiku tidak mengizinkanku mengendarai sendirian, maka aku memutuskan untuk menyewa supir. Supirku bernama Giman dan baby sitterku bernama Hanifah. Aku sendiri bernama Devi, lengkapnya Deviana Lestari. Sedangkan suamiku bernama Ardi, Ardianto Firdaus. Dan anakku yang berumur dua tahun kami beri nama Devana Eka Firdaus.

Belakangan ini, aku dan suamiku sedang sibuk merapikan barang untuk kami angkut ke rumah baru. Karena, lusa kami beserta supir dan baby sitter akan pindah ke rumah baru yang sudah dibeli suamiku di kawasan Kemang, Jakrta Selatan.

"Bu, barang-barang di gudang mau ditinggal saja atau bagaimana?" tanya Hanifah.

"Hmm bagaimana ya..? Sebagian sih sudah tidak terpakai. Tapi kalau dibuang juga sayang. Begini saja, kamu ke gudang, rapikan dan bersihkan barang-barangnya. Nanti kalau Mas Ardi pulang, biar saya tanya mau dikemanakan barang-barang itu ya.." jawabku.

"Baik, Bu. Nanti selepas Ashar saya akan berishkan barang-barang di gudang. Tapi saya boleh minta temenin Pak Giman ngga? Soalnya, bagaimana ya Bu.. Kalau saya ke gudang sendirian suka takut. Kadang malah merinding sendiri," tutur Hanifah.

Aku tercenung. "Hmm.. ya sudah, Han!" Ternyata apa yang aku rasakan selama ini dirasakan juga oleh penghuni lainnya, termasuk Hanifah. Jadi bukan aku saja yang merasa ada sesuatu yang janggal di gudan grumahku. Gudang itu memang letaknya agak terpencil. Meski masih menyambung dengan rumah induk, namun letaknya di bagian belakang di mana di kanan-kirinya tidak ada bangunan lain. Setiap aku melewati gudang, entah kenapa aku merasakan aura yang berbeda.

Pernah suatu malam, saat aku membuat susu untuk Deva, aku mendengar dari gudang seperti ada orang yang sedang berbincang-bincang. Aku pikir itu Hanifah dan Pak Giman. Tapi saat aku buka pintu gudang tidak ada siapapun di situ! Aku terkesiap dan bergegas masuk ke kamar.

Suatu kali pernah juga aku mendengar seperti ada yang memanggil namaku saat aku melewati gudang. Namun dapat aku pastikan saat itu tidak ada siapapun di sana. Sebab Hanifah sedang di dapur dan Pak Giman pergi mengantarkan Mas Ardi. Bukan hanya itu. Ada kejadian yang masih membuatku ngeri sampai saat ini. Beberapa bulan lalu tanpa sengaja, anakku merangkak menuju gudang yang pintunya terbuka, sementara aku dan Hanifah sedang sibuk memasak. Tiba-tiba aku mendengar Deva menangis dengan suara yang sangat keras, bahkan menjerit-jerit. Aku dan Hanifah sontak kaget lalu mencari Deva yang ternyata sudah berada di dalam gudang. Malam harinya, badan Deva langsung panas tinggi selama tiga hari.

Aku memang tidak pernah menceritakan hal ini kepada suamiku. Karena dia pasti tidak akan percaya. Aku juga berusaha membuang jauh-jauh pikiran itu dari kepalaku. Apalagi kemudian aku dan keluarga kecilku akan segera meninggalkan rumah kontrakan ini. Semoga rumah baru kami nanti akan nyaman, harapku dalam hati. Setelah selesai sholat Maghrib, aku menyiapkan makanmalam. Aku lihat Mas Ardi sangat lahap makannya. Dia pun terlihat riang. Bahkan sesekali menggodaku dengan kerlingan mata; godaan yang dulu membuatku jatuh cinta padanya!

"Mas, lusa kan kita pindah, barang-barang di gudang mau dikemanakan? Kalau menurutku, kalau dibuang kan sayang,k" ujarku mengalihkan godaannya. Sebab aku tahu godaan itu tidak akan berhenti hingga nanti kami masuk kamar tidur.

"Hmm... Iya, ya. Kalau begitu, barang yang sudah rusak biarkan saja tinggal di sini, Dev. Tapi kalau yang masih bisa terpakai, bagaimana kalu kita jual dengna harga murah? Semacam garage sale, gitu..." saran Mas Ardi.

Aku pun setuju. Keesokan paginya, aku memberitahu Hanifah perihal barang-barang yang ada di gudang. Dan siangnya, Hanifah serta Pak Giman sibuk berkutat dalam gudang untuk membereskan barang-barang. Akupun larut dengan masakanku di dapur sementara si kecil Deva sedang nyenyak tidur siang. Saat sedang asyik memasak, aku merasa seperti ada seseorang yang sedang berdiri di belakangku. Bulu kuduk ku langsung meremang. Dengan cepat aku menolah ke belakang dan ternyata itu Hanifah.

"Haduuh... Hanifaaah, ngapain ngeliatin saya masak? Kamu mengagetkan saya, tahu ngga! Sudah sana bantu Pak Giman beres-beres barang di gudang. Biar saya saja yang masak," ujarku kepada Hanifah. Aku agak terkesiap melihat tatapan mata Hanifah yang sungguh sayu. Namun aku segera membuang pikiran negatif. Mungkin saja semalam Hanifah kurang tidur. Atau barangkali kecapean memilah-milah barang di gudang. Apalagi kemudian Hanifah mengangguk sambil tersenyum dan segera berlalu dari hadapanku sehingga aku segera melupakannya dan kembali sibuk memasak.

"Bu, mau saya bantuin masak ngga?" ujar Hanifah yang tiba-tiba sudah nongol di sampingku.

"Iiihh.. kamu lagi! Tadi kan sudah saya bilang, kamu bantu Pak Giman saja beres-beres gudang. Biar saya masak sendiri saja," sahutku dengan nada kesal.

"Apa Bu? Kapan ibu bilangnya? Saya baru ke sini. Dari tadi saya juga bantuin Pak Giman beresin gudang. karena sekarang sudah hampir selesai makanya saya ke sini untuk bantu ibu masak," Kata Hanifah dengan nada kebingungan.

"Lho, kamu ini bagaimana sih, Han. Barusan saja kamu ke sini, kan? Kamu ngeliatin saya masak? Masa kamu lupa," sanggahku tak kalah bingung.

"Sumpah Bu, dari tadi saya di gudang dan baru kali ini ke dapur!"

Jleg! Kini giliran wajahku yang berubah menjadi pucat. Tadi sangat jelas sekali aku melihat Hanifah berdiri melihatku masak. Memang ada keanehan. Aku pun merasakannya. Wajah Hanifah yang tadi itu pucat, dan dia hanya diam saja. Sementara Hanifah yang ini wajahnya riang meski sedikit berpeluh. Lalu Hanifah mana yang aku lihat tadi? Mungkinkah Hanifah punya saudara kembar yang juga tinggal di rumah ini namun disembunyikan dariku?

lamunanku terpecah oleh tangisan Deva dari kamar. "Han, tolong tenangin Deva. Kalau tidak mau tidur lagi, bawa ke sini saja," ujarku dengan wajah yang masih sedikit termenung. Hanifah segera beranjak ke kamar tanpa komentar.

"Mas besok jam berapa kita akan berangkat?" tanyaku pada suamiku setelah selesai makan malam. "Semua barang-barang sudah selesai dibereskan!"

"Pagi saja, Dev, biar tidak terlalu sore sampai di Kemang. Mudah-mudahan jalanan tidak macet karena besok kan hari Sabtu. Beritahulah Hanifah dan Pak Giman juga ya supaya mereka siap-siap," jawab Mas Ardi.


Hanifah, kenapa diam saja di situ? Ayo, kita sudah mau berangkat," ujarku sambil menarik tangannya setelah aku lihat Hanifah diam saja melihatku. Saat aku raih, tangannya sangat dingin. Aku sedikit terkejut...


Aku mengangguk sambil melanjutkan makan. Selesai makan malam, aku lihat Hanifah langsung membereskan meja makan tanpa bersuara. Tidak ada yang  aneh dengan penampilannya. Semua tampak wajar-wajar saja. Entah mengapa, sejak kejadian di dapur itu, aku jadi agak ragu ketika hendak menegur Hanifah. Aku takut salah orang. Aku masih belum sempat menanyakan kemungkinan dia memang mempunyai saudara kembar. Nanti saja setelah pindah rumah, pikirku.

Esok harinya kami pun bersiap untuk pindahan. Semua barang bawaaan sudha siap diangkut dengan truk. Kami semua sedang bersiap-siap.

"Bagaimana Dev, sudah siap?" tanya suamiku di depan kamar.

"Siap banget, Mas," sahutku sambil tersenyum. Aku tidak mampu menyembunyikan kegembiraanku karena pada akhirnya kami akan menempati rumah baru, rumah yang sudah lama kami idam-idamkan.

"Kalau begitu, ayo kita berangkat. Mana Hanifah dan Pak Giman. Panggil mereka, kita mau berangkat."

Aku pun bergegas ke depan rumah. Aku melihat Pak Giman sedang mengelap mobil. Kemana Hanifah? Aku mencari Hanifah ke dapur, tapi tidak ada. Saat melewati gudang, aku lihat Hanifah sedang berdiri di situ. Tapi wajahnya sedikit pucat. Sontak sosok Hanifah yang lain melintas di pikiranku. Namun aku buru-buru menepisnya. Mungkin dia kelelahan setelah beberapa hari ini membereskan gudang, pikirku.

"Hanifah, kenapa diam saja di situ? Ayo, kita sudah mau berangkat," ujarku sambil menarik tangannya setelah aku lihat Hanifah diam saja melihatku. Saat aku raih, tangannya sangat dingin. Aku sedikit terkejut, namun tidak mau membiarkan pikiran negatifku berkembang kemana-mana. Namun tetap  saja kondisi Hanifah mengusikku. Apalagi, selama dalam perjalanan Hanifah diam saja. Seperti tengah melamunkan sesuatu. Tatapan matanya kosong dengan wajah yang semakin pucat.

"Han, kamu sakit?" tanyaku sambil menatap lurus wajah Hanifah yang duduk di sebelahku, di jok tengah. Mas Ardi duduk di depan, di sebelah Pak Giman yang sedang menyopir mobil.

Hanifah hanya menggeleng perlahan. Akupun diam. Akhirnya kamipun tiba di rumah baru itu. AKu lihat Hanifah segera turun, membuka bagasi dan membawa semua tas kami. Padahal tas-tas itu berat, tapi dia kuat membawanya. Hari itu aku habiskan waktu untuk menata raumah baru kami.

Tidak terasa sudah dua minggu kami menempati rumah ini. Tidak ada yang aneh pada rumah ini. Justru aku merasa keanehan itu ada pada diri Hanifah. Kenapa dia jadi pendiam sekali. Bahkan, sekarang anakku seperti menolak saat akan digendong oleh Hanifah. Deva selalu menangis setiap Hanifah mendekatinya. Kejadian-kejadian itu membuatku semakin gelisah. Terlebih dalam beberapa hari terakhir aku terus-terusan bermimpi tentang Hanifah. Dalam mimpi, aku melihat Hanifah sedang menangis di sudut ruangan. Namun ketika aku akan menyentuhnya, ia malah tertawa kencang.

Aku pun terbangun dan istighfar. Aneh, pikirku. Mengapa mimpi-mimpiku selalu sama? Aku harus menghentikan semua ini. Aku bertanya langsung kepada Hanifah.

Siang itu, setelah selesai memasak, aku panggil Hanifah.

"Hanifah, bisa kesini sebentar?" kataku. Hanifah mengangguk dan menghampiriku. Mukanya sayu, sedikit pucat, namun sorot matanya begitu tajam Sepertinya dia bisa membaca kecurigaaanku.

"Mengapa akhir-akhir ini kamu banyak melamun? Wajahmu juga selalu pucat sementara ketika aku tanya, kamu bilang tidak sakit. Ada apa, Han?" tanyaku sebisa mungkin menekan suaraku agar tidak bergetar.

Hanifah diam saja. Namun tidak seperti biasanya, kali ini Hanifah berani menatap wajahku dengan tatapan menantang. Aku merasa ngeri melihatnya.

"Ada apa, Han? Kamu tidak betah tinggal di sini?" ulangku.

Hanifah masih tidak mengeluarkan suara.

"Jawab dong, Han," ujarku mulai kesal. Aku lihat bibir Hanifah bergerak-gerak. Namun tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Ketika aku hendak mengulangi lagi pertanyaan itu, telepon genggamku berdering. Aku tinggalkan Hanifah untuk mengambil ponselku di kamar. Dari Mba Irna, tetanggaku saat aku masih tinggal di rumah kontrakan itu.

"Halo Mba Irna, ada apa nih, tumben nelpon," sapaku. Meski hati sedang kesal dengan Hanifah, namun karena yang menelpon tetangga lama, seketika hati menjadi riang.

Namun keriangan itu hanya sesaat. Dari ujung telpon, Mba IRa menceritakan sebuah peristiwa yang membuat kepalaku berdenyut, tubuhku keluar keringat, nafas tercekat dan wajahku pucat pasi. Aku hampir pingsan mendengar cerita Mba Ira. Tanpa aku sadari telpon genggamku terjatuh. Namun aku tidak peduli lagi. Sambil berjinjit, aku dekati pintu dan menutupnya secara perlahan.

Begitu berhasil menutup, aku langsung menguncinya. AKu menghambur ke tempat tidur dan mendekap Deva yang tengah tidur. Aku ketakutan sekali. Aku takut akan terjadi apa-apa dengan anak semata wayang kami. Aku lantas memungut handphone yang tadi terjatuh, dan berusaha menghubungi Mas Ardi.

"Mas, tolong cepat pulang!" ucapku sambil sedikit terisak.

"Ada apa, Dev? Kamu kenapa?" tanya suamiku panik.

"Aku tidak bisa cerita di sini. Aku mohon Mas pulang sekarang.." tangiskupun pecah.

"Iya, aku segera pulang. Tolong kamu jangan lakukan apapun sampai aku pulang," ujar Mas Ardi di tengah kepanikannya.

Aku langusng mematikan telepon. Aku tidak berani keluar kamar. Aku hanya bisa meringkuk di kasur sambil memeluk anakku, menjaganya supaya tidak terbangun. Aku kembali mengingat cerita Mba Irna dan itu membuatku bergidik. Sungguh tidak masuk akal! Bagaimana bisa seperti ini? Aku kembali menangis.

Tidak lama kemudian pintu kamarku diketuk. Aku ragu untuk membukanya. Aku harus memastikan siapa yang mengetuk pintu itu.

"Dev, ini aku. Buka pintunya, sayang..." teriak Mas Ardi dengan nada gugup. Perlahan aku membuka pintu dan segera menarik Mas Ardi ke dalam kamar. Setelah Mas Ardi masuk, aku langsung kembali menguncinya dan menghamburkan pelukanku ke Mas Ardi sambil menangis.

"Devi, tenang dulu. Coba ceritakan pelan-pelan. Ada apa?" bujuk suamiku.

"Tadi, Mba Irna tetangga kita di rumah lama menelponku..."

"Lalu...?" potong suamiku tak sabar.

"Katanya, kemarin ada orang yang mau menempati bekas ruamh kita itu. Namun saat dia dan ibu pemilik kontrakan mengecek rumah itu, dan masuk ke gudang..." Aku kembali menangis.

"Ada apa di gudang? Coba tenangkan dulu," kata suamiku sambil mengusap-usap punggungku untuk menenangkanku.

"Mereka menemukan Hanifah sedang meringkuk di sudut gudang sambil menangis mas..."

"Apa??? Maksud kamu? Jelas-jelas Hanifah ikut bersama kita tadi kan? Tadi saat pulang, aku lihat dia berdiri di dapur. Mereka pasti salah lihat!" Sanggah suamiku tak percaya.

"Tidak, Mas. Mereka tidak salah. Saat ini Hanifah sudah dibawa ke rumah sakit karena sepertinya dia stress. Mba Irna menelpon supaya kita segera menjenguk Hanifah..."

"Itu bukan Hanifah, Mas. Itu Han... Hantu...!" Sambil menahan rasa takut yang amat sangat, aku pun menceritakan seluruh kejadian yang selama ini aku rahasiakan, termasuk kejadian di dapur dulu dan juga perubahan sikap Deva terhadap Hanifah. Awalnya Mas Ardi seperti tidak percaya.

"Aku benar-benar tidak habis pikir, Dev. Akal sehatku tidak sanggup mencerna peristiwa ini! Bagaimana mungkin? Astaghfirullahal'adzim..."

"Lalu sekarng bagaimana, Mas? Makhluk halus yang menyerupai Hanifah ada di sini, di rumah kita," ceracauku. Ya, aku mulai menceracau tidak karuan karena ketakutan. Bagaimana jika kami tidak segera mengetahui ini semua? Aku bergidik membayangkan Deva dibawa pergi sama makhluk halus menyerupai Hanifah itu.

Mas Ardi menghela nafas panajng. Setelah berpikir beberapa saat, suamiku lantas berujar,

"Sekarang kita keluar kamar. Biar aku yang menggendong Deva. Kita ke rumah Pak Ustadz di dekat masjid di ujung jalan. Sayangnya kita tidak tahu nomor teleponnya."

Aku mengangguk sambil sedikit menyesal karena belum banyak tetangga yang aku kenal. Dalma kondisi seperti ini, baru terasa peran tetangga akan sangat membantu, batinku.

"Saat keluar kamar, kamu harus bisa berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja. Jangan takut saat melewati Hanifah. Hapus airmata kamu," tambah suamiku.

Lalu saat aku sudah siap, kami keluar kamar. Hanifah sedang duduk sambil melamun di meja makan. Lalu dia menatapku tajam Aku memegang lengan suamiku sangat erat.

"Ti...tip rumah s..sebentar ya Han. Kami mau keluar sebentar," kata suamiku sedikit gugup,

Hanifah hanya mengangguk. Kami langsung bergegas keluar menuju rumah Pak Ustadz sambil setengah berlari. Kami tidak mungkin naik mobil karena jaraknya terlalu dekat. Pak Giman hanya melongo saja melihat tingkah kami. Apalagi kami tidak menyahuti ketika dia bertanya hendak kemana dan menawarkan untuk naik mobil.

Sesaat kemudian kami kembali bersama Pak Ustadz. Aku tidak berani masuk ke dalam rumah. Aku di luar bersama anakku dan beberapa orang tetangga yang keheranan melihat tingkah kami. Namun aku bungkam seribu bahasa ketika ada beberapa tetangga yang menanyakan kejadian di rumahku. Toh. Andai aku ceritakan juga malah akan menjadi bahan olok-olokan. Susah memang menjelaskan rangkaian kejadian itu, sesulit menerima kenyataan ada hantu yang maujud menjadi manusia.

Sementara Pak Ustadz masuk bersama suamiku dan Pak Giman. Aku tidak tahu persis apa yang dilakukan oleh Pak Ustadz. Tidak alam setelah mereka masuk, aku mendengar suara lengkingan wanita dari dalam rumahku. Awalnya seperti orang tertawa mengejek, namun perlahan berubah menjadi suara perempuan yang tengah marah. Tidak lama kemudian suaranya berubah lagi. Kali ini seperti teriakan orang yang tengah kesakitan.

"Allahu Akbar!!!"

Aku dengar suara Pak Ustadz, suamiku dan Pak Giman meneriakkan takbir. Setelah itu lenyap. Perlahan pintu terbuka dan suamiku menyuruh aku masuk. Aku masuk dengan perasaaan takut. Namun begitu mendengar penjelasan Pak Ustadz, aku sedikit merasa lega.

"Jin itu telah pergi untuk selamanya dari rumah ini," ujar Pak Ustadz sambil menyarankan agar rumah kami sering-sering dijadikan tempat ibadah, minimal pengajian ibu-ibu. Sebab, rumah yang dihiasi dengan alunan ayat-ayat suci akan dijauhi jin dan sebangsanya.

Aku mengangguk. Rupanya jin yang menyaru sebagai Hanifah itu adalah jin penunggu gudang yang tidak sengaja aku tarik tangannya. Menurut Pak Ustadz, makhluk jin memang bisa berubah wujud menjadi siapa saja, bahkan binatang sekalipun.

Esok harinya kami berangkat menjenguk Hanifah di rumah sakit jiwa. Hatiku sangat gelisah. Wajar saja jika Hanifah stres. Dia terkurung selama dua minggu di dalam gudang yang cukup angker tanpa listrik, tanpa makanan. Airmataku menetes selama di perjalanan. Aku merasa sangat berdosa pada perempuan desa yang telah bertahun-tahun ikut bersama kami itu.

Saat sampai di rumah sakit, aku menuju ruangan sesuai petunjuk Mba Ira. Rupanya Hanifah masih dalam masa pengobatan secara intensif sehingga dia ditempatkan di ruang perawatan, bukan kamar-kamar seperti umumnya orang-orang gila yang dirawat di sini. Begitu aku masuk ke dalam ruang perawatan itu, aku lihat Hanifah tengah tidur meringkuk. Tangannya terhubung dengan selang infus. Aku dekati tempat tidurnya. Aku usap kepalanya dengan air mata bercucuran.

"Hanifah..." panggilku lembut. Perlahan tubuh Hanifah bergerak dan berbalik. Ia mendongakkan kepalanya menatapku. Ia berusaha untuk bangkit namun aku mencegahnya.

"Hanifah takut, Bu. Ada setan... ada setan.. ada banyak setan dimana-mana!" ucap Hanifah Lirih. Hatiku benar-benar terpukul melihat kondisi Hanifah. Aku memeluknya dengan erat sambil meminta maaf. Namun beberapa perawat dan suamiku segera menariknya karena tiba-tiba Hanifa tertawa keras sekali.

Aku mundur sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku benar-benar tidak sanggup melihat ekspresi wajah Hanifah yang begitu sayu meski kini dia tengah tertawa. Pandangan matanya kosong. Bahkan mungkin dia tidak mengenaliku lagi. Alam pikirnya telah berhenti. Daya ingatnya pun susut. Ya Allah, maafkan hambamu ini. Maafkan aku, Hanifah! Aku berjanji akan membiayai dan merawatmu hingga sembuh.


(Seperti dikisahkan Deviana Lestari kepada penulis)


TANGGAPAN ADMIN TENTANG JIN YANG KESEPIAN MENGGANGU DENGAN CARA MENYERUPAI MANUSIA

Apa yang dialamai Deviana Lestari sungguh suatu pengalaman yang sangat tragis dan mengharu birukan perasaan siapapun. Kejadian semacam itu bisa menimpa siapa saja karena sesungguhnya kita hidup di dunia ini bersama-sama dengan makhluk lainnya yang juga ciptaan Tuhan, termasuk jin dan setan.

Eksistensi mereka begitu dekat, bahkan lebih dekat dari leher kita sendiri. Sifatnya yang 'halus' membuat makhluk sejenis ini dapat tinggal di mana saja tanpa kita ketahui. Namun tidak selamanya jin tersebut bersifat jahat. Banyak juga yang justru membantu manusia, semisal jin Muslim.

Jika dilihat dari rangkaian kisah yang dipaparkan Deviana Lestari, dapat disimpulkan jin itu termasuk jin baik. Namun dia kesepian sehingga mengganggu manusia dengan cara menyerupai manusia yang dianggapnya tepat. Mengapa dia tidak menggunakan media perantara, seperti tubuh manusia, tapi malah berwujud seperti sosok manusia? Jawabannya tentu karena ia menemukan ruang dan situasi yang tepat. Dalam sejarah kita mengenal sejumlah makhluk gaib yang maujud menjadi makhluk lainnya, termasuk manusia.

Agar kejadian tersebut tidak terulang, perbanyak lantunan ayat-ayat suci, terutama Ayat Kursi (Al-Baqarah: 255) dan Qul A'udzu (dalam surat al-Falaq dan an-Nas) yang telah menyediakan sarana bagi umat Islam untuk mengangkat ruh mereka ke tingkat-tingkat kesadaran yang lebih tinggi sehingga mereka dapat dengan mudah melindungi diri mereka dari gangguan jin.



Alfiani, Anggita. 2013. Majalah Misteri Edisi 555. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.