GUNTUR BERSAHUT DI MAJAPAHIT

Mahapati berhasil mencegah keinginan Lembu Sora untuk menuntut balas kematian Ranggalawe pada Nambi. Mahapati ingin semua orang yang menjadi penghalang ambisis mati saling bunuh. Jika Lembu Sora kalah oleh Nambi, maka skenario Mahapati bisa berantakan. Dengan perhitungan itu, dia lebih baik menggiring Lembu Sora untuk membunuh Kebo Ambrang terlebih dahulu. Beruntung Lembu Sora mau mendengar nasehat Mahapati. Di tengah hutan itu, Lembu Sora menghadang Kebo Anabrang dna berhasil membunuhnya dari belakang.

Guntur Bersahut Di Majapahit - Kematian Kebo Anabrang oleh Lembu Sora menimbulkan luka yang teramat dalam pada diri Raden Wijaya. Meski ia yakin lembu Sora melakukan hal itu bukan karena mendukung sikap politik Ranggalawe yang inginmemisahkan Tuban dari Majapahit, namun lebih karena tidak terima keponakannya dibunuh oleh Kebo Anabrang, tetap saja raja Majapahit itu menjatuuhkan hukuman dengan mencopot seluruh jabatan Lembu Sora. Dalam kondisi berduka, Lembu Sora pun pulang ke kampungnya dan ingin menjadi pertapa. Namun keinginannya tidak pernah tercapai karena Mahisa Taruna, putra tertua Kebo Anabrang, atas bujukan Mahapati, meminta keadilan agar Lembu Sora dihukum mati. Raden Wijaya yang tersinggung karena dianggap tidak berlaku adil langsung memerintahkan prajuritnya menangkap Lembu Sora untuk diadili. Hal itu membuat Lembu Sora keluar dari pertapaannyadan ingin menyerahkan diri kepada raja karena ia tidak ingin dianggap sebagai pengecut.

Dengan langkah tergesa, Lembu Sora masuk ke pelataran istana sambil tetap menunggang kuda kesayangannya. Beberapa penjaga yang sebelumnya telah diberitahu, oleh Nambi tidak berusaha mencegahnya. Mereka hanya saling kedip mata sebagai isyarat, buruannya telah masuk perangkap. Lembu Sora bukannya tidak membaca situasi itu. Sebab siapapun yang akan masuk ke istana, termasuk para pembesar kerajaan, harus diperiksa terlebih dahulu oleh prajurit penjaga.

Apalagi kini dirinya bukan penggede istana sehingga sambutan demikian membuatnya curiga. Bahkan Lembu Sora pun sudah berpikir dirinnya masuk perangkap. Namun keinginannya untuk menyerahkan diri secara langsung kepada raja, daripada menjadi buronan dan ditangkap oleh prajurit rendahan, membuatnya tetap nekad masuk melewati gerbang istana. Lebih baik mati sebagai ksatria daripada hidup menjadi pecundang, tekadnya.

Setelah Lemdbu Sora masuk, pintu gerbang langsung ditutup dan dijaga puluhan prajurit dengan senjata terhunus. Beberapa pendekar pilih tanding, termasuk Senopati Amorukso, keluar dari sayap kiri istana. Mereka bergerak sigap menghadang Lembu Sora agar tidak sampai naik ke bangsal istana.

"Paman Lembu Sora, berhentilah di situ!" teriak Senopati Amorukso. Lembu Sora hanya melihat dengan ekor matanya. Ia tetap memacu pelan kudanya menuju bangsal istana. Setelah dekat, Lembu Sora turun dari kudanya dan bermaksud naik ke bangsal istana. Namun sejumlah prajurit langsung menghadangnya. Lembu Sora mulai terbakar amarahnya ketika salah seorang prajurit berusaha menangkap tangannya.

"Tunjukkan sikap hormatmu, Prajurit!" bentak Lembu Sora.

"Mohon ampun, hamba hanya menjalankan titah..."

"Siapa yang menyuruhmu?"

"Baginda Prabu", sahut senopati Amorukso yang kini sudah berdiri di sampingnya.

Perlahan Lembu Sora berbalik sambil mencengkram gagang keris yang terselip di punggungnya. Wajahnya mengeras. Tatapan matanya lurus dan tajam. Kini ia bisa menatap wajah Senopati Amorukso dengan jarak yang sangat dekat. Tidak sampai satu jengkal.

"Bagaimana bunyi perintahnya?!" tanya Lembu Sora. Suaranya pelan namun jelas dan tegas. Dadanya yang bidang tanpa kain penutup dipenuhi tonjolan otot. Tetapi hal itu tidak mampu menyembunyikan usianya karena pada bagian pinggang terlihat banyak kerut.

"Saya diperintah untuk menangkap Paman Lembu Sora, hidup atau mati!" jawab Senopati Amorukso dengan suara datar karena ia mencoba menekan suaranya agar tidak terdengar gugup. Ia sudah tahu sepak terjang Lembu Sora dan seberapa besar jasanya pada kerajaan. Namun perinta tetaplah perintah. Sebab jika dibantah, apalagi tidak dilaksanakan, sama saja ia telah menentang raja. Hukumannya bisa lebih berat dari orang yang harus ditangkapnya ini.

"Sampaikan pada Raden Wijaya, saya telah datang untuk menyerahkan diri. Tidak perlu kalian repot-repot menangkap saya!"

"Maaf, Paman Lembu Sora. Jika Paman sudah menyerah, maka saya harus membawa Paman ke penjara untuk menunggu hukuman apa yang akan dijatuhkan Baginda Prabu..."

"Apakah saya terlalu hina sehingga Raden Wijaya tidak berkenan menerima saya?"

"Sekali lagi, saya mohon maaf, Paman, saya hanya diperintah untuk menangkap Paman Lembu Sora dan membawanya ke penjara. Bab yang lain-lain saya tidak tahu".

"Bagaimana kalau saya menolak?"

"Saya akan menangkap Paman, hidup atau mati!"

Selesai mengucapkan kalimat itu, Senopati Amorukso memberi isyarat kepada prajuritnya untuk menangkap Lembu Sora. Dengan sigap prajurit itu bergerak sehingga kini Lembu Sora terkepung oleh puluhan prajurit. Namun mereka bukanlah lawan Lembu Sora. Dengan sekali gebrak, puluhan prajurit andalan Majapahit itu terjungkal tanpa nyawa. Keris Lembu Sora terus berkelebat dan memakan puluhan korban lainnya. Terakhir ujung kerisnya menusuk ke dada Senopati Amorukso.

Masih dengan menggenggam keris berlumuran darah itu, Lembu Sora naik ke bangsal istana. Namun langkahnya tertahan oleh suara seseorang yang sudah sangat dikenalnya: Nambi.

"Berhenti di situ, Lembu Sora yang perkasa!"

Lembu Sora berbalik. Jaraknya dengan Nambi sekitar lima langkah. Dengan suara bergetar ia menantang Nambi "Saya ingatkan, jangan ikut campur, Nambi! Saya akan menghadap raja untuk menyerahkan diri..."

"Tidak bisa", potong Nambi. "Prabu tengah istirahat di keputren".

"Kalau begitu, saya akan menunggunya di sini sampai beliau punya waktu untuk saya".

"Raja tidak sudi menemuimu", kata Nambi.

Mata Lembu Sora berkilap. Dadanya bergemuruh.

"Dengar, Nambi. Saya yang menyelamatkan Raden Wijaya dari kejaran Jayakatwang. Saya ikut membuka hutan ini menjai istana nan megah. Saya yang mendukung kamu sebagai patih dan mendukung titah raja untuk menghukum Ranggalawe, keponakan saya sekaligus juga pembabat hutan Tarik, karena dia menentang pengangkatanmu. Saya lakukan itu semua karena kesetiaan saya pada raja. Jika memang saya layak mati, maka saya memilih untuk mati di tangan raja saya daripada saya hidup di pengasingan".

"Seorang ksatria sejati tidak pernah menulsikan jasanya", sahut Nambi diselingi tawa kecil; mengejek!

"Saya tidak sedang membanggakan jasa-jasa saya. Saya hanya ingin dihargai dengan diizinkan agar Raden WIjaya sendiri yang menangkap saya!"

"Sudah berulangkali saya katakan, Prabu tidak berkenan menerimamu. Siapa yang bisa menjamin kamu tidak akan membunuh raja? Bukankah kedatanganmu kemari untuk maker seperti Kebo Anabrang?" bentak Nambi.

Mendengar nama keponakannya disebut, Lembu Sora naik pitam. Ia langsung menyerang Nambi. Kedua senopati tua itu bertarung di bangsal istana. Tidak ada satupun prajurit yang berani mendekat. Mereka tahu kehebatan dua sahabat sekaligus dua petinggi Majapahit itu sehingga berada di dekat pertarungan keduanya, sangat mungkin akan celaka.

Apalagi mereka bisa menyaksikan sendiri bagaimana arca di depan bangsal pecah terkena hantaman tenaga dalam Nambi karena Lembu Sora bisa menghindar ketika Nambi melontarkan pukulan mematikan itu. Jika pada akhirnya Lembu Sora tersungkur, bukan berarti ilmunya kalah dibanding Nambi.

Bagaimanapun Lembu Sora tengah dirasuki emosi yang sangat tinggi sehingga sedikit lengah. Berbeda dengan Nambi, yang sebelumnya telah menyiapkan semuanya untuk menghadapi Nambi setelah  mendapat masukan dari Mahapati perihal kedatangan Lembu Sora untuk melakukan makar.

Lembu Sora gugur terkena pukulan Melati Merogoh Sukma, pukulan nan lembut, namun sangat mematikan karena efek pukulannya merontokkan organ-organ vital dalam tubuh seseorang yang terkena pukulan itu. Tidak ada jerit, tidak ada tangis. Senopati yang mengabdi pada bangsanya tanpa pamrih itu gugur dalam kesendirian. Namun ia tetap bangga karena gugur di tangan Nambi, bukan di tangan prajurit rendahan.

"Kematian yang sempurna", ujar Pangeran Haryo Mukti.

"Kematian yang tragis", sela Putri Kumalaswara.

"Lembu Sora telah memilih jalannya, jalan kebenaran di tengah kemunafikan bangsanya akibat hasutan Mahapati", lanjut Haryo Mukti.

"Kalau begitu Mahapati sudah puas karena tujuannya tercapai..."

"Belum", potong Haryo Mukti. "Saya belum tahu tujuan sebenarnya, atau orang yang menyuruhnya melakukan itu semua. Saya semakin penasaran!"

Putri Kumalaswara mengangkat bahu. Ia tahu kemana arah pembicaraan suaminya. Berarti mereka masih akan lama tinggal di Mahapahit; negeri kecil di tengah belantara yang penuh dengan intrik dan tipu muslihat.

Kematian orang-orang terdekat yang membantunya membuka Hutan Tarik dan mendirikan Kerajaan Majapahit, membuat kesehatan Raden Wijaya menurun drastis. Bagaimanapun ia tetap menaruh hormat pada Ranggalawe dan Lembu Sora. Tanpa jasa keduanya, dan juga Arya Wiraraja-Ayah Ranggalawe, belum tentu ia bisa mendirikan Majapahit. Bahkan andai tidak diselamatkan oleh Arya Wiraraja, ia sudah mati di tangan Jayakatwang dan para begundalnya.

Pilihannya atas Nambi sebagai mahapatih bukan karena ia menyepelekan jasa Lembu Sora seperti yang dituduhkan Ranggalawe. Pilihan itu diambil dengan pertimbangan dirinya tidak ingin disandera oleh klan Wiraraja karena Lembu Sora merupakan adik sepupu WIraraja. Bukankah sudah cukup aku memberikan Lumajang untuk WIraraja dan Tuban untuk Ranggalawe? Jika Lembu Sora menjadi mahapatih, apakah dia sanggup berkonfrontasi dengan kedua daerah itu manakala terjadi perselisihan.

Fakta membuktikan, meski mau berangkat ke Tuban untuk menumpas pemberontakan Ranggalawe, namun Lembu Sora tidak mau keponakannya itu dibunuh sehingga ia begitu marah setelah Kebo Anabrang berhasil membunuhnya. Jadi, Lembu Sora tidak diangkat menjadi mahapatih bukan karena kurang berjasa, atau kurang cakap dalam memimpin, tetapi lebih dikarenakan ia berasal dari klan Wiraraja!

"Paduka harus minum obat yang telah hamba seduh untuk mengembalikan persendian yang ngilu", ujar Ra Tanca, tabib istana.

"Biarkan saja. Aku tahu, penyakitku sudah tidak mungkin lagi disembuhkan. Tinggal menunggu pangilan Shang Hyang Widhi. Lebih baik kamu panggil Patih Nambi ke sini. Ada yang hendak aku sampaikan", ujar Raden Wijaya dari atas peraduannya.

Penglihatannya mulai kabur. Ia tidak melihat Nambi yang sejak tadi berdiri di pojok ruangan untuk mengawasi proses pengobatan yang dilakukan Ra Tanca.

"Hamba di sini, Paduka", ujar Nambi setelah beberapa saat diliputi keheningan.

"Mahapatih Nambi, dengarkan titahku", ujar Raden Wijaya.

"Sebelum ayam berkokok, putraku, Raden Kalagemet, sudah dilantik menjadi raja Majapahit. Aku mengundurkan diri dari keramaian sebagai bekal perjalanan ke surgaloka".

Nambi mengusap matanya yang berkaca-kaca. Satu lagi sahabat seperjuangannya, sekaligus rajanya, akan pergi untuk selamanya. Namun meski batinnya pedih, ia harus segera bertindak sesuai perintah Raden Wijaya yakni melantik Raden Kalagemet yang masih belia. Jika dia terlambat melakukan hal itu, dan keburu Raden Wijaya meninggal, bukan tidak mungkin akan terjadi perang saudara.

Putra-putra Raden WIjaya dari empat istri terdahulu sebelum Dara Petak - putri bangsawan dari negeri seberang, tentu tidak akan mau menerima Raden Kalagemet.

Situasinya akan lain jika pelantikan itu dilakukan sekarang ketika Raden Wijaya masih hidup. Empat istri Raden Wijaya lainnya yakni Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Tentu tidak akan membiarkan anak mereka bertindak diluar kontorl selagi Raden Wijaya masih hidup.

Maka malam itu juga Nambi menyiapkan prosesi pelantikan Raden Kalagemet. Usai dilantik menjadi raja Majapahit yang baru, anak muda berusia 16 tahun itu diberi gelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara.

Namun kelak ia lebih terkenal dengan nama Prabu Jayanegara. Orang yang paling bahagia atas pergantian kekuasaan di Majapahit itu adalah Mahapati. Lebih mudah menghasut anak kecil daripada Raden Wijaya yang sudah uzur. Ia merasa cita-citanya kian dekat karena praktis penghalangnya tinggal satu orang yakni Nambi!


(Kisah mendatang: Sesuai perhitungan Mahapati, akhirnya Nambi masuk perangkap yang dibuatnya. Bahkan Jayanagara sendiri yang membunuh mahapatih sepuh yang sudah banyak berjasa bagi Majapahit itu. Jayanagara tidak menyadari jika tindakannya tersebut merupakan awal kesengsaraannya karena kini ia tidak memiliki pelindung yang tangguh lagi).



Wahyono, Yon Bayu. 2013. Majalah Misteri Edisi 555. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.