Malam semakin larut. Mataku tak dapat aku pejamkan sama sekali. Aku tidak tahu sebabnya apa. Namun, yang jelas, aku tidak dapat tidur malam itu. Aku mendengar angin bergemuruh di luar sana. Pepohonan berayun ke sana ke mari karena tiupan angin dari utara ke arah halaman rumahku.
Empat Saudara Tua Dari Alam Gaib - Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara benda jatuh, gedebug, suatu bendar berbeban berat jatuh dari lagnit memecah kebisuan malam. Aku melongokkan kepalaku ke luar halaman. Duh Gusti, aku melihat sosok makhluk bergerak, berkaki dua tapi tanpa tangan dan tidak berkepala. Jantungku berdebar-debar, nyaliku kecut seketika. Pemandangan yang tidak biasa itu, sungguh menakutkan dan membuat aku menjadi lemas seketika.
Karena didesak oleh rasa takut dan kaget yang teramat sangat, aku lalu segera menghambur ke dalam rumah. Aku mengunci pintu rapat-rapat dan aku berlari ke kamar tidur. Pada saat aku merebahkan diri di tempat tidur, terdengar suara kaki melangkah memasuki beranda rumahku, melompat pagar dan memaksa masuk areal beranda kami. Makhluk itu mengetuk pintu setelah sebelumnya mengucapkan salam.
Ketukan itu semakin lama semakin keras. Walau totokannya agak jarang, tapi sangat membuat diriku tegang. Jantungku empot-empotan dan nafasku terasa sesak. Dengan tangan gemetar, aku mengambil handphone dan menelpon suamiku. Mas Hardi Winoto, malam itu sedang tugas jaga malam di Apartemen Losarang, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan. Sayang, nomo rhandpphone suami dapat terhubung, namun tidak diangkat. "Ke mana ini Mas Hardi? kok telponnya tidak diangkat?" tanyaku, dalam batin, sambil kepala yang penuh rasa kalut.
Setelah berulang kali aku menelpon tidak diangkat, aku lalu segera menelpon ke nomor telkom tetanggaku. Bu Winarto. Pikirku, mungkin saja tetanggaku ini bisa membantu dengan membangunkan suaminya untuk menolongku. Paling tidak, buat mengusir makhluk misterius yang mengetuk rumahku itu. Namun sayang, mungkin oleh karena sudah larut malam, telpon Bu Winarto tidak diangkat juga walau berulang kali aku menelpon. Setelah bertekad untuk menelpon terakhir, tiba-tiba telpon Bu Winarto diangkat, lalu saya mengucapkan salam dan dari sana tidak menjawab apapun. Suaraku memanggil-manggil nama Bu WInarto, tapi di telpon itu hanya diam saja, seperti orang yang sedang mendengarkan tapi tidak mau bicara apa-apa. "Hallo, hallo, ini Ibu Winarto?" teriakku. Sayang, hingga terakhir aku menelpon itu, tidak juga kunjung ada jawaban.
Sementara dari luar pintu, ketukan makin keras dan mengeras. Aku lalu berteriak mengusir makhluk itu, berharap dia pergi dari rumah kami. Tapi, makhluk itu malah memperkeras suara ketukannya, bahkan terakhir aku mendengar suara tendangan. Dia menendang pintu rumah kami dengan kuat. Mungkin, karena pintu rumah kami sudah rapuh, maka pintu itu lalu roboh berantakan. Jantungku makin berdegub hebat saat aku melihat makhluk berkepala buntung itu sudah berdiri di depan ku. Dia sudah masuk ke ruangan tamu rumah dan berdiri tegak menghadap kepadaku.
Aku lalu berteriak sekeras-kerasnya, meminta tolong kepada tetangga. Tapi, semakin keras aku berteriak, semakin hilang suaraku. Makin aku mengeluarkan tenagaku untuk memekik, makin lenyaplah energi pada pita suaraku. Kini aku tidak dapat meminta bantuan siapapun. batinku, aku harus melawan, aku harus mandiri dan tegar menghadapi kenyataan sepahit apapun malam itu. Aku berlari ke dapur, ingat tempat penyimpanan golok tajam milik suamiku. Golok itu biasa digunakan Mas Hardi untuk memotong pepohonan besar di belaknag rumah kami, tanamannya yang ditanam puluhan tahun lalu.
Golok itu persis di tempatkan di sebelah kulkas dan aku meraih benda tajam itu, lalu mengancam makhluk itu agar dia buru-buru pergi. Tetapi, makhluk aneh itu tidak takut dengan ancaman ku. Golok yang tajam itu tidak diperdulikannya dan dia terus merangsek maju mendekatiku. Dengan sekuat tenaga dan secumpuk keberanian, aku lalu mengayun-ayunkan senjata itu ke tubuhnya. Di luar kesadaranku, golok tajam itu akhirnya mengenai tubuhnya. Bwett, golok di tanganku menyabet bagian dadanya, lalu sosok misterius itu luka berdarah-darah. Darahnya lalu muncrat ke lantai rumah kami dan dia pun lalu tersungkur lemas karena kehabisan darah.
Beberapa saat kemudian, aku pun terjatuh karena lemas, shock dan depresi berat. Aku menatap tubuh pria yang tidak memiliki kepala itu saat dia meregang nyawa. Tidak berapa lama kemudian, aku melihat tubuhnya terdiam dan dia mati kehilangan nafasnya. Aku segera memanggil tetanggaku, meggedor rumah semua orang dan berteriak histeris, minta tolong ada mayat di rumah kami. Anehnya, semua tetanggaku tidak ada yang terbangun, tidak ada seorang pun yang mendengarkan suara teriakanku, suara keritanku dan tangisku yang mengiang. Semua membisu dan nampak terlelap tidur. Tidak ada tanda-tanda seorang pun akan terbangun dan dapat menolongku.
Pada saat aku berlari ke rumah Pak Ketua RT, Bapak Rudy Mokodompit, aku melihat empat pria berdiri sejajar dengan sama tingginya dan semuanya memakai jas hujan. Ke empat orang itu semuanya tanpa kepala, mereka semua menggunakan sepatu lars dan menghadap ke arahku yang kini terhenti. beberapa saat kemudian, ke empat orang itu berjalan serempak ke arahku dan aku berlari kencang ke rumah Pak RT. Aku bisa meloloskan diri di sela-sela mereka, lalu menghambur, melesat karena desakan rasa takut yang teramat sangat.
Setelah aku mencapai pagar rumah Pak Rudy Mokodompit, empat lelaki berjas hujan kembali ada di pagar itu. Ke empatnya juga berkepala buntung dan memakai sepatu lars sedegkul. Malam itu, ternyata di kampungku penuh dengan manusia tanpa kepala dan semuanya memakai jas hujan. Karena lelah dan stres berat, aku terjatuh dan setelah itu tidak ingat apa-apa lagi.
Begitu tersadar, aku sudah berada dalam ruang UGD rumah sakit Dokter Abubakar Alatas di Jakarta Barat. Tanganku sudah penuh dengan infuse mulutku dipakaikan selang oksigen. Suamiku, Mas hardi, terlihat di kaca melambaikan tangannya. Mas Hardi tersenyum ceria, membangkitkan semangatku agar aku cepat sembuh dan sehat kembali bersamanya.
Memang, walau kami sudah menikah selama 15 tahun, tapi kami sama sekali tidak punya anak. Kami sudah datang ke dokter ahli kandungan, namun kami berdua dinyatakan sehat. Kandunganku sehat dan sperma Mas Hardi juga berkualitas baik, tidak ada kelemahan sedikitpun. Namun anehnya, kami tidak punya anak. Aku tidak pernah kunjung hamil dan tidak pernah terlambat datang bulan sama sekali.
Kami berobat ke mana mana agar kami mendapatkanketurunan. Baik berobat ke dokter, sinshe, pengobatan herbal maupun pengobatan ke orang pintar, alternatif. Barangkali, karena sudah takdir, maka sampai usia perkawinan kami 15 tahun, aku pun tidak kunjung hamil. Malah, mertuaku, ibu Mas Hardi yang kebelet kepingin punya cucu, malah diam-diam meminta Mas Hardi agar menikahi wanita lain yang tidak mandul. Aku dianggapnya mandul dan diyakini tidak akan mampu memberikan keturunan pada Mas Hardi.
Jujur saja, hatiku sangat sakit mendengar rencana tersembunyi mertuaku itu. Tapi, karena dia orangtua suamiku yang harus dihormati, maka aku diam saja, bungkam bagaikan tidak mengerti apa-apa. Padahal batinku sangatlah sakit, bahkan kurasakan rencana itu sebagai kejahatan sosial yang besar.
Bahkan, hal yang paling menyakitkanku, adalah tokoh calon istri Mas Hardi yang diyakini bakal memberikan anak itu sudah diapungkan. Nama wanita itu adalah Rasti Hapsari, janda muda yang masih berhubungan darah dengan suamiku. Rasti Rapsari, masih keponakan dari sepupu Nyonya Maryati Maryamah, mertua perempuanku. Rencana itu tidak disetujui oleh Mas Hardi. Mas Hardi menolak menikahi Rasti Hapsari karena kasihan terhadapku. Malah, dengan berkeras, Mas Hardi menolak berpoligami. Karena dia yakin, bahwa aku penentang utama poligami dan aku pasti menuntut cerai bila dia menikah lagi.
"Aku sangat mencintai istriku, Ma, dan aku yakin suatu waktu istriku akan dapat memberikan aku keturunan", ungkap Mas Hardi, kepada ibunya. "Istrimu itu mandul, dia tidak akan mampu memberikan kamu keturunan. Dia bantet, kandungannya bermasalah, maka itu, Mama yakin bahwa dia tidak akan memberikan kamu anak", kata Nyonya maryati Maryamah, dengan entengnya, langsung memvonis bahwa akulah yang bersalah dalam kasus tak punya keturunan ini.
"Mama, kami sudah periksa dengan cara yagn seksama dan sungguh-sungguh ke beberapa dokter ahli. Semua hasil pemeriksaan itu menunjukkan, bahwa istriku sehat, kandungannya baik dan aku juga demikian. Kami berdua semuanya baik dan tidak ada masalah dengan kemandulan. Tinggal, kita menunggu kasih sayang Allah untuk memberikan keturunan itu, bersabarlah, Ma", imbuh suamiku, yang aku ketahui dari adik perempuannya, Anita Rahmawati, ipar terbungsuku yang sangat dekat kepadaku.
Walau sudah ada agenda tersembunyi dan pandangan yang negatif dari mertua kepadaku, namun aku tetap berusaha berbaik-baik kepada mertuaku. Pikirku, memahami sikapnya itu, akan lebih baik daripada aku harus menghukum sikapnya itu. Batinku, aku harus memahami, bahkan harus dapat sangat mengerti dirinya, bahwa dia kepingin agar segera mendapatkan cucu, ingin mempunyai keturumam dari suamiku, dari anak prianya, dia ingin segera momong anak dari anaknya. Ingin segera memelihara cucu-cucu dari buah hatinya, suamiku Mas Hardi yang selama ini menjadi anak yang paling disayang olehnya.
Kembali kepada persoalan berat yang sedang aku hadapi malam itu. Yaitu, suatu persoalan serangan makhluk misterius tanpa kepala berjumlah puluhan di sekitar rumahku, tengah malam itu, membuat aku akhirnya masuk rumah sakit. Seorang kyai ahli menjinakkan hantu, jin dan genderuwo, Kyai haji Arief Hamzah, 67 tahun, tetanggaku, meyakini bahwa makhluk tanpa kepala berjumlah 12 sosok yang aku temui, adalah hantu-hantu penghuni tanah yang maujud.
"Hantu tanpa kepala, atau hantu kepala buntung itu adalah hantu-hantu wilayah Pegadangan, Limpangan , yang menghuni daerah itu sejak ribuan tahun lalu. Hantu-hantu itu jumlahnya ratusan, mereka ada di dalam tanah dan terkubur bagaikan mayat. Namun, pada suatu waktu, utamanya pada saat gempa bumi terjadi, mereka akan keluar semua dan berinteraksi dengan manusia", ungkap Kyai Haji Arief Hamzah, kepadaku dan kepada Mas Hardi, suamiku.
Memang, sebelum munculnya makhluk itu, terjadi goncangna besar di bumi. Sebuah peristiwa gempa tektonik berskala 6,5 skala richter di Ujung Kulon. Sekitar 40 kilometer di Samudera Hindia dengan kedalaman 60 kilometer di bawah laut.
"Setiap habis gempa bumi, tanah bergoyang dahsyat, hantu-hantu tanpa kepala itu akan naik ke permukaan bumi dan menampakkan diri. Nah, orang yang bertemu dan diganggu oleh makhluk itu, adalah orang-orang yang memiliki tulang iga yang jarang, seperti yang terdapat pada fisik Ibu Hardi ini", desis Kyai Haji Arief Hamzah, kepada kami.
Sedangkan tentang hantu tanpa kepala yang saya bacok, yang mengeluarkan darah di ruang belakang rumah kami, ternyata hanya kiasan. Makhluk itu nampaknya seperti ada padahal sebenarnya dia tidak ada. Maka itu, sebenarnya, satu hantu yang terbacok oleh tanganku itu, adalah bukan kenyataan, tapi hanya ilusi dan fantasi kehidupan.
"Hantu yang terkapar, berdarah darah terbacok itu, sebenarnya tidak ada. Hantu itu tidak berdarah dan tidak pernah bisa pingsan apalagi mati. Hanya kiasan dan seperti berdarah dan jatuh, padahal dia tidak pernah bisa terjatuh. maka itu, saat ke rumah Pak RT itu, hantu yang terkapar itu langsung lenyap dan berubah menjadi asap", ungkap Kyai Haji Arief, kyai yang berjenggot putih dan panjang itu, sambil menghisap rokok gudang garam merah, kesayangan bangsa jin itu, dalam-dalam.
Setelah keluar dari rumah sakit, aku kembali ke rumah kami. Aku minta Kyai Haji Arief Hamzah membersihkan rumah kami dari sia-sisa gangguan setan tanpa kepala itu. Kyai langsung melakukan ritual, membaca mantra-mantra yang dikuasainya untuk membersihkan rumah dari gangguan gaib negatif. "Gangguan gaib itu ada dua, satu gangguan gaib yang positif, yang satu lagi gangguan gaib yang negatif. Yang ibu temui, adalah gangguan yang sangat negatif, bahkan sangat tidak baik, karena hantu-hantu kepala buntung seperti itu, siap memperkosa dan juga membunuh dengan caranya", ungkap Kyai Haji Arief Hamzah, pada kami. Tapi, Pak Kyai menyebut, bahwa ada hantu-hantu yang bisa dimanfaatkan untuk memberikan bantuan untuk pencarian kekayaan dan hantu yang bisa membantu menyembuhkan suatu penyakit. Caranya adalah, mendekati hantu-hantu itu dan memeliharanya. Untuk menjadikan hantu sebagai piaraan, dibutuhkan ilmu yang khusus, yaitu ilmu penakluk hantu dan ilmu pemanggil gaib. "Maaf, bila kalian mau, saya bisa menjadikan mereka untuk mendapatkan apa yang kalian cari selama ini. Apa yang kalian cari yang hingga sekarang belum ditemukan?" tanya Kyai kepada kami.
Dengan reflex, aku dan Mas Hardi menyebut bahwa kami kepingin anak. Kami telah berobat ke mana-mana dan berikhtiar ke manapun, tapi tidak kunjung juga memiliki anak. Dengan nyantai Pak Kyai menyebut bahwa hal itu sangat sederhana dan gampang dilakukan.
"Bila kalian mau, bisa dilakukan pemindahan janin. Kalian mencari perempuan yang hamil tetapi tidak menginginkan kelahiran anaknya. Janin itu berumur paling besar tiga bulan. Kalian bisa mencari di tempat-tempat pengguguran kandungan, minta baik-baik kepada mereka untuk dipindahkan ke perut ibu. Yang hamil jadi tidak hamil lagi, yang belum hamil, akan menjadi hamil!" tutur Kyai Haji Arief Hamzah, kepada kami.
Hati kami berbunga-bunga dan kami langsung mengangguk untuk melakukannya. Kami lalu segera mencari di klinik pengguguran kandungan gelap di daerah Cikini, Jakarta Pusat dan kami menemukan seorang gadis yang hamil di luar nikah oleh kekasihnya, di mana kekasihnya juga sedang berada di situ. Seorang laki-laki keturunan Eropa, sedangkan yang wanita, gadis keturunan Amerika Selatan, asal Peru dan tinggal di kaki Gunun gAndes.
Gadis itu siap memindahkan janinnya kepadaku dalam suatu ritual tengah malam di rumah kami. Kyai Haji Arief memimpin ritual itu, memanggil empat hantu buntung dan dengan jelas aku melihat kehadiran empat hantu kepala buntung itu di malam ritual itu. Sedangkan gadis Peru, yang sedang hamil tiga bulan dan kekasihnya, pemuda asal Perancis, Eropa Barat itu, tidak bisa melihat sama sekali makhluk sangat misterius itu.
Hantu kepala buntung itu datang lalu dengan jelas aku lihat memegang perut Kasandra, gadis hamil itu, lalu memindahkan janin yang ada ke perutku. Setelah semua dilakukan dengan baik, empat hantu itu melakukan sujud kepada kyai lalu menghilang dalam hitungan detik.
Kami memberi uang cukup besar kepada Kasandra dan Kasandra sangat senang melaukan ritual itu. Sebab setelah itu, begitu diperiksa ke dokter, kehamilan Kasandra menjadi negatif, sedangkan aku malah positif. Kehamilan Kasandra telah dipindahkan kepadaku dan aku menjadi hamil tiga bulan.
Kini, pada tahun 2013 awal ini, anakku sudah besar. Dia tumbuh dengna cepat dan sangatlah cantik. Wajah anakku mirip orang Amerika Selatan dan mirip pula Eropa. Hanya sedikit sekali, raut wajahnya menyerupaiku dan menyerupai Mas Hardi. Hidungnya mancung kaya hidungku, telinganya panjang mirip Mas Hardi. Sedangkan, matanya yang bulat mirip mertua perempuanku, Nyonya Maryati, sedangkan warna kulitnya kuning langsat sebagaimana orang Amerika Latin bercampur Eropa Barat.
Kini, anakku, yang kami namai Benita Cicilia Amanda, telah berumur 12 tahun duduk di bangku kelas satu SMP. Karena kecantikan dan kecerdasan otaknya, maka anak kami diperebutkan untuk membintangi iklan produk dan juga bintang sinetron. Tapi, kami tidak menjual kemampuannya itu berlebihan, karena setiap malam jumat kliwon, setiap bulan, Benita harus bertemu dengan empat makhluk, hantu kepala buntung yang berada di sekitar rumah kami. Benita dianggap sebagai anak empat hantu kepala buntung, dan empat hantu itu dijadikan ayah oleh Benita.
Selain Benita, aku juga kini dapat berkomunikasi dengan para hantu kepala buntung. Bahkan, kepada empat hantu yang memindahkan janin Kasandra, sudah menjadi seperti saudara kandung. maka itu, setiap malam jumat kliwon, setiap bulan, kami dapat bertemu hantu-hantu itu di halaman rumah kami. Setiap pukul 24.00 tengah malam hingga subuh dinihari. Maka itu, kami menyebut, bahwa empat hantu kepala buntung itu sebagai saudara tua di alam gaib.
(Kisah ini terjadi pada Nyonya Wulandari Suhardi. Tia Aweni D. Paramitha menulis untuk Kita semua)
Paramitha, Tia Aweni D. 2013. Majalah Misteri Edisi 555. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.