![]() |
Gambar oleh OpenClipart-Vectors dari Pixabay |
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepda para Malaikat; "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu, orang yang kaan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Al-Baqarah: 30)
Syeh Bela Belu - Selaras dengan yang tersebut di atas dan seiring dengan keruntuhan Majapahit, maka banyak keluarga Brawijaya yang mengungsi untuk menyelamatkan diri. Dan salah satunya adalah Raden Dhandhun. Di usia yang terbilang muda, ia pun terpisah dari keluarganya. Tanpa tujuan yang jelas, pemuda itu ke luar masuk hutan nan lebat, menuruni jurang yang dalam dan mendaki gunung yang terjal dan dipenuhi onak duri.
Waktu terus berlalu, hingga pada suatu ketika, si pemuda pun tiba di desa Mancingan, Yogyakarta. Di sini, ia bertemu dengan Kyai Selaening, seorang pendeta yang arif bijaksana dan untuk kepentingan penyamaran langsung mengganti namanya menjadi Bela Belu.
Setelah banyak mendapatkan nasihat-nasihat yang berguna, sang pemuda yang kini menyandang nama Bela Belu pun diperintahkan mendaki Gunung Banteng yang terletak di sebelah barat Gunung Sentana untuk melakukan mesu budi.
Sejak semula memang sudah tampak betapa Bela Belu adalah sosok yang gemar dan kuat dalam tapa brata, boleh dikata, ia mampu tidak tidur sampai 7 hari, tetapi, tak pernah kuasa untuk menahan lapar yang menyerangnya hampir 4 sampai dengan 5 kali dalam sehari. Inilah salah satu keunikan dari Bela Belu.
Makanan favoritnya adalah nasi liwet yakni nasi yang ditanak dengan menggunakan santan kelapa yang di dalamnya diisi dengan suwiran daging ayam.
Melihat keadaan itu, pada suatu ketika, Kyai Selaening meminta Bela Belu untuk mencuci beras di Sungai Beji, sebelah utara Parangendhog, atau sekitar 5 kilometer dari Gunung Banteng. Dan sejak itu, nafsu makan Bela Belu pun berkurang degnan drastis. Dan seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya, Bela Belu pun mendapatkan kelebihan yang bisa digunakan untuk menolong orang-orang yang mukim, disekitarnya. Ketika Kyai Selaening masuk Islam, Bela Belu pun langsung mengikutinya dan oelh Syeh Maulana, ia pun mendapatkan gelar Syeh yang berarti guru di depan namanya.
Sejak itu, ia lebih dikenal dengan sebutan Syeh Bela Belu.
Sayang, tak ada sepotong catatan pun yang menuliskan kehidupan Syeh Bela Belu di sepanjang hayatnya, kecuali tutur yang mengatakan betapa tokoh yang satu ini mampu memberikan pertolongan kepada siapa pun yang membutuhkannya. Bahkan sampai akhir hayatnya, tak ada seorangpun yang tahu apakah Syeh Bela Belu menikah dan dikaruniai keturunan atau tidak. Bahkan, makamnya pun baru di ketahui pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IV.
Penemuan makam tokoh yang satu ini pun tergolong unik. Kala itu, sekitar 1830, di sebelah utara Parangtritis, tepatnya di desa Grogol, mukim seorang yang memangku jabatan sebagai Demang sekaligus merupakan salah seorang dari keturunan Kyai Selaening.
Sebagaimana leluhurnya, sang Demang pun rajin mejjalani tapa brata. Hingga pada suatu hari, ia dikejutkan dengan cahaya bulan yang gilang gemilang yang jatuh di Gunung Banteng. Tak berhenti sampai disitu, di lain hari, ia juga melihat cahaya keemasan yang memancar dari sautu tempat di gunung itu. Karena penasaran, pada suatu hari, tempat memancarnya cahaya ersebut diberi tanda dengan sepotong kayu.
Ketika pisowanan (waktu menghadap raja pada hari tertentu), sang Demang pun dengan takzim menceritakan apa yang dilihatnya pada Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Sang nata pun tanggap bahkan langsung memerintahkan Demang tesebut untuk melakukan penggalian di tempat yang sebelumya sudah diberi tanda. Ketika penggalian tiba, ternyata di tempat itu ditemukan empat buah batu hitam yang berjajar. Dua disebelah utara sementara yang lainnya disebelah selatan. Boleh dikata mirip makam yang berdampingan, namun tanpa batu nisan.
Tak jauh dari tempat itu, terdapat lempengan batu hitam yan gbergambar ilir (semacam kipas dari anyaman bambu) dan iyan (semacam tampah yang terbuat juga dari anyaman bambu). Setelah berbagai temuan tersebut disampaikan, Sri Sultan Hamengku Buwono IV pun berkata: "Itu adalah makam dari Syeh Bela Belu, sedang disebelahnya adalah makam adiknya Kyai Gagang Aking".
Selanjutnya, atas perintah Sri Sultan, makam-makam tersebut diberi cungkup dengan menggunakan kayu jati pilihan, sedang bagian luarnya dilapisi dengan batu hitam dan atapnya diberi langse serta dijaga oleh abdi dalem keraton.
Jika kita mau merenung ke kedalaman diri, maka akan terasa secara hakiki akan sifatNya yang rahman dan rahim. Hal ini tampak dengan jelas dalam perjalanan Raden Dhandum, putra Brawijaya yang ahli bertapa, kemudian tersingkir dan ditemui oleh Kyai Selaening, kemudian mendapatkan ilmu untuk menolong sesama, mendapatkan pencerahan dan memeluk agama Islam. Bahkan akhirnya, Allah SWT pun mengingatkan kepada kita yang hidup belakangan dengan caranya bahwa di tempat itu, pernah hidup salah seorang di antara jutaan walinya di dunia ini.
Semoga, kisah ini bisa membuat kita makin berserah diri kepada Tuhan Seru Sekalian Alam.
Disarikan dari berbagai sumber terpilih.
Zabar, Tibiko P. 2012. Majalah Misteri Edisi 527. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.