![]() |
Gambar oleh AgusTriyanto dari Pixabay |
Hingga sekarang Alas Roban masih memegang sebutan Roban Siluman. Meski wilayahnya sekarang makin tergerus dan menyempit oleh pemukiman, namun titik-titik kerawanannya masih terlihat. Dulu Alas Roban sangat luas, terbentang dari Kendali hingga Brebes. Namun sekarang tinggal sepanjang Batang hingga Grinsing.
Menerawang Sisi Mistis Alas Roban | Tempat Penggemblengan Ksatria Tanah Jawa - Kali ini penulis melakukan penelusuran dari sisi lain Alas Roban. Ternyata Raden Fatah, putra Prabu Brawijaya V yang dititipkan di Bupati Palembang, Arya Damar, setelah dewasa dipanggil ayahnya ke Majapahit. Disertai adiknya, Raden Timbal, Raden Fatah berlayar dari Palembang menuju Jawa dan berlabuh di Carbon (Cirebon). Di kota penghasil terasi ini, keduanya bertemu dengan Pangeran Modang (Sunan Gunung Jati).
Atas saran Pangeran Modang, Raden Fatah dan Raden Timbal disarankan untuk belajar dulu ilmu agama (islam) kepada Sunan Ampel. Lalu mereka berdua berhalan menuju TImur melewati Tegal, Brebes, Pemalang hingga Alas Roban yang terkenal keangkerannya. Kedanya tak gentar sama sekali dengan berita tersebut.
Begitu melewati Alas ROban, tepat di 'teleng-ing' (tengah) hutan, mereka berdua dicegat oleh Jaka Wahono, yang berasal dari desa Salam, masuk wilayah Magelang. Dengan paksa Jaka Wahono (Wana) meminta bawaan yang dibawa kedua ksatria dari Palembang tersebut yang hendak dipersembahkan pada Prabu Brawijaya V. Maka terjadilah perkelahian antara Jaka Wana dan Raden Timbal. Keduanya tampak berimbang.
Di dalam kekalutan tersebut, mereka dipisah oleh Raden Fatah.
"Tuan masih muda, tampan, kenapa jadi perampok? Padahal tingkat kesaktian tuan sangat tinggi?" Tanya Raden Fatah.
"Kisanak, aku merampok bukan untuk mengumbar hawa nafsu. Semua hasil rampokan ini akan aku bagi-bagikan pada fakir miskin yang sudah memeluk agama Islam di wilayahku yakni desa Salam di Magelang", jawab Jaka Wana.
Mendengar jawaban seperti itu, kasihan hatinya Raden Fatah, maka seluruh bawaan yang berupa barang mewah diberikan ke Jaka Wana. Kemudian Raden Fatah dan Raden Timbal melanjutkan perjalanan ke Majapahit.
Jaka Wana memeriksa barang rampasannya, namun betapa takjubnya ia, harta benda sebanyak dan semewah ini yang tak ternilai harganya diserahkan begitu saja dengan ikhlas. Dalam hatinya bertanya-tanya, jangan-jangan dua ksatria muda tadi orang muslim yang ikhlas menzakatkan hartanya? Didorong rasa berdosa, Jaka Wana membawa barang rampasannya tadi dan mengejar dua ksatria muda Palembang.
Setelah bertemu, peti-peti yang berisi barang mewah itu dikembalikan.
"Kenapa kamu kembalikan, Jaka Wana?" Tanya Raden Fatah.
"Maaf, tuan muda, selain merampok untuk membantu fakir miskin, hamba juga mendapat dawuh (perintah) dari Eyang Guru hamba, agar leledang di Alas Roban. kata Eyang Guru, hamba akan bertemu dengan orang yang mulia hatinya, dan kepadanya hamba diperintahkan untuk mengabdikan hidup mati pada orang tersebut. Dan tuan Raden Fatah-lah yang dimaksud Eyang Guru", jawab Jaka Wana.
Permohonan pengabdian Jaka Wana dengan senang hati diterima Raden Fatah. Bahkan nama Jaka Wana oleh Raden Fatah diganti menjadi Wanasalam, yang diartikan bertemunya di hutan, dan juga mengandung arti; Jaka Wana dari Desa Salam. Kelak dialah yang menjadi Mahapatih Kerajaan Demak setelah Raden Fatah menjadi sultan pertama di Demak Bintoro dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar. Dia dengan setia hingga wafatnya mengabdikan dirinya untuk Kerajaan Demak Bintoro dan kejayaan Islam. Alas Roban telah mencetak pemuda desa, menjadi Mahapatih kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa berkat kegigihan dan laku olah batinnya yang tanpa menyerah.
Di Era kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumo di Tanah Jawa, Alas Roban juga telah mencetak ksatria muda Tanah Jawa yang sangat sakti mandraguna. Bahkan namanya hingga sekarang masih sangat disegani, Raden Bahurekso. Bahkan idiom tempat keramat yang dipercaya ada penunggu gaibnya, di Jawa sering disebut "Seng mBahurekso' (yang menungu) sebagai bentuk sebutan kehormatan.
Raden Bahirekso, asli pemuda produk Pantura yang diperkirakan lahir di daerah Kendal hingga Batang. Sejak kecil ia sangat keranjingan ilmu kadigjayaan. Dan kegemarannya itu dapat terpuaskan saat ia belakar ilmu pada Kasepuhan di Batang yang sering disebut Ki Guru atau Kyai Kramat, karena karomahnya sangat tinggi.
Setelah remaja dan bekal cukup, ia ingin mengabdikan dirinya di Mataram yang kala itu dibawah kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Kebetulan juga raja saat ini sedang getol-getolnya merekrut pemuda perkasa untuk dijadikan benteng Mataram guna mengenyahkan VOC dari Bumi Jawa.
Dan lamarannya pun langsung diterima, bahkan kariernya begitu cepat melesat. Dalam waktu singkat ia sudah diangkat menjadi Tumenggung Bahurekso.
Kala itu Sultan Agung sangat sedih, sebab banyak kadipaten di Brang Wetan yang ingin memisahkan diri. Raja pinandhita ini ketika bertapa di Sanggar Pamelangan mendapat wisik (bisikan) gaib, keraton Mataram akan tetap 'kuncara' bila dampar prameswari diduduki oleh perawan dari Pantai Utara yang bernama Endang Ramtasari. Perempuan itulah yang ketitisan wahyu Widowati, yang menjadi pasangan Wahyu Jatmiko, yang telah didapat Sultan Agung kala bertapa di Dlepih Khayangan.
Untuk itu, orang yang mengenal wilayah tersebut hanya Tumenggung Bahurekso, tugas inipun dibebankan padanya. Dia berangkat dengan hati masgul. Ternyata endang Rantamsari itu 'pacangan' (kekasih) Bahurekso sendiri putri Ki Guru. Dalam perjalanan tugasnya itu, Tumenggung Bahurekso mencari akal bagaimana cara menyiasati raja Mataram agar kekasihnya tak diambil. Maka dicari wanita yang wajahnya mirip Endang Rantamsari, dan dibawa ke Mataram. Perempuan itu seorang penari yang sering disebut 'tledek'.
Saat di Mataram, perempuan tersebut disuruh duduk di dampar Prameswari yang biasanya hanya diduduki oleh Khanjeng Ratu Kidul yang sering disebut Wahyu Sri Widowati. Begitu duduk, perempuan itu seperti dilemparkan kekuatan gaib yang maha dahsyat hingga terpental ebberapa meter, terus pingsan. Marahlah Sultan Agung karena Bahurekso telah berdusta. Ia diusir dari Praja Mataram.
Tumenggung Bahurekso kembali ke Padepokan Ki Guru. Sekitar 40 hari dari peristiwa itu, datang utusan Mataram yang memerintahkan Tumenggung Bahurekso agar membabat Alas Roban. Mendapat perintah itu, berat hati Bahurekso, sepertinya Sultan menghendaki kematiannya dengan disuruh memasuki Alas Roban yang gawatnya kaliwat-liwat.
Bingung dengna tugas berat tersebut, ia pun menghadap Ki Guru untuk mohon saran. Ia pun berangkat menuju Alas Roban yang kala itu masih sangat luas. Bahurekso merasa sejak meninggalkan Padepokan Ki Guru, selalu diikuti seseorang yang tingkat kedigjayaannya cukup tinggi. Ia waspada, dan terus menuju tengah Alas Roban. Rasanya tak mungkin membabat hutan seluas ini sendirian dengan tenaga fisik. Lalu ia bertapa mohon pada Gusti Kang Akarnya Jagad. Dengan sekali lombat, tubuh Bahurekso menggelantung di dahan pohon yang paling tinggi dengan kepala di bawah, tubuh hanya ditopang kaki. Bertapa seperti ini sering disebut 'tapa nglowong'. Makannya pun hanya buah-buahan saja.
Saat bertapa ini terdengar suara ki Guru. "Anakku Bahurekso, untuk membabat hutan ini, taklukan dulu penghuni gaibnya. Kemudian manfaatkan tenaganya untuk Babad Wana".
Kala sedang tafakar bertapa, sosok yang mengikuti Bahurekso muncul, ternyata ia adalah telik sandi Mataram yang diperintahkan mengawasi Bahurekso. Apakah melaksanakan perintah Sultan atau tidak. Karena dipandang tak melaksanakan, maka diseranglah Bahurekso yang menggelantung di pohon. Namun aneh, tak ada satupun senjata yang mampu menembus kulit Bahurekso. Telik sandi mataram itu terbengong-bengong.
Telik sandi Mataram masih bingung dengan apa yang menimpa dirinya, tiba-tiba hutan Roban seperti gempa, angin bertiup kencang, suara-suara ganjil muncul. Tumenggung Bahurekso yang sedari tadi diam menggelantung, tiba-tiba matanya terbuka merah menyala dan turun ke tanah, seperti menyerang sesuatu yang tak tampak.
Dari kacamata gaib, Tumenggung bahurekso sedang bertempur dengan prajurit gaib Alas Roban. Ternyata pemimpin makhluk halus ini perempuan tua yang sering disebut Ratu Sepuh Nini Kala Srenggi. Bila mawujud berupa seekor babi hutan yang disebut Celeng Goteng. Pertempuran yang sangat seru, bahkan Bahurekso dibantu telik sandi Mataram yang tadinya menyerang dirinya. Konon pertarungan ini memakan waktu 7 hari 7 malam. Baru Ratu Sepun Nini Kala Srenggi dapat ditaklukkan.
Pasukan Ratu Sepuh Nini Kala Srenggi, dibawah komando patihnya Jin Kala Kapiran, diperintahkan oleh Bahurekso agar membabat hutan Roban sampai tuntas. Lalu mereka diberi tempat baru di sekitar Grinsing dan Batang, sebagai kerajaannya. Hutan Roban itulah yang sekarang kita kenal semakin sempit ini.
Setelah melaksanakan tugasnya, Tumenggung Bahurekso dikawal telik sandi Mataram yang bernama Tumenggung Djaka Satuhu, berangkat ke Mataram. Namun sebelum ke Mataram Tumenggung bahurekso sowan dulu ke Padepokan Ki Guru, dan dengan ikhlas, kekasih hatinya, Endang Rantamsari dibawa serta ke Mataram.
Sesampainya di Mataram, semua yang terjadi diceritakan Tumenggung Djaka Satuhu pada Sultan Agung.
"Aku percaya kesetiaanmu Tumenggun Bahurekso, hutan yang kau babad itu, jadikan pemukiman baru untuk persiapan pasukan Mataram menggempur Batavia. Dan nama kota itu kuberi tetengger Pekalongan. Karena tempat itu pernah digunakan Tumenggung Bahurekso untuk bertapa dengan cara seperti kelelawar atau Kalong.
Dan ketika Endang Rantamsari duduk di dampar Prameswari, tiba-tiba tubuhnya menyala kuning keemasan sangat menyilaukan mata, itu pertanda Wahyu Widowati telah kembali ke Dampar Mataram. Dan Endang Rantamsari, dikembalikan pada Bahurekso untuk dijadikan istrinya. Kenapa Endang Rantamsari sangat dibutuhkan Mataram kala itu?
Dalam diri Endang Rantamsari berdiam Wahyu Widowati, yaitu titisannya Wahyu Pengemban Penguasa Tanah Jawa yang dipercaya adalah Kanjeng Ratu Kidul. Konon, Kanjeng Ratu Kidul ingin menuntaskan reinkarnasinya, makanya ia harus lahir kembali ke dunia sebagai manusia. Dan rahim yang dipilih adalah istri Ki Guru, seorang ulama yang sangat sholeh murid dari Mbah Kendil Wesi Maulana Ibrahim. Karena kesucian guru Bahurekso inilah, maka Wahyu Widowati tumurun pada putrinya.
Petilasan Endang Rantamsari yang berupa sumur hingga sekarang masih ada, di belakang Kelurahan Kalisalak, Batang. Sumur tua itu masih sangat dikeramatkan. Bahkan airnya dipercaya memiliki tuah untuk kecantikan, awet muda, mudah jodoh dan kesembuhan.
Sat tiba di tempat ini, penulis melihat cahaya kuning keemasan, dan muncul sosok perempuan cantik, sederhana sangat anggun. Dari pengakuannya ia bernama Ratu Mambang, katanya qarin dari Endang Rantamsari. Dalam dialog itu, Jin Ratu Mambang menjelaskan, kalau air sumur itu bertuah untuk menghilangkan sengkala hidup, khususnya kaum hawa. Kaum Adam pun juga banyak yang berziarah di tempat ini.
Ada cungkup yang dipercaya masyarakat setempat sebagai makam orang tua Endang Rantamsari, yang juga guru Bahurekso, yakni Ki Guru. Di Batang sendiri ada beberapa makam yang didyakini sebagai makam Ki Guru. Ketika penulis menapakkan kaki di tempat ini terasa sekali getar yang sangat halus, dan lokasinya memancarkan aura putih lembut seperti kapas yang tertiup angin. Ini menandakan tingkat spriitual yang pernah ada di sini tingkatan pemahaman ilmu kasampurnaan mendekati khatam. Dan aura seperti ini cocok sekali bagi mereka yang menggeluti bidang spiritual kasepuhan.
Setelah daerah sekitar Alas Roban menjadi ramai, yakni Pekalongan, merembet ke Timur lagi, berdiri kabupaten Batang. Ada kisah yang menghebohkan berkaitan dengan penghuni gaib Alas Roban dimasa pemerintahan Adipati Suryokusumo. Kebetulan Alas Roban yang makin kecil ini masuk wilayah kadipaten Batang. Jika terjadi apa-apa maka penguasa wilayah ini yang ikut menanggung getahnya.
Setelah Ratu Nini Kala Srenggi diangkat jadi pepatih Kerajaan laut Utara oleh Dewi Hulanjar atau Ratu Ibu Hajjah Fatimah, Alas Roban diserahkan pada pepatihnya Jin Kala Kapiran. Ujudnya raksasa yang menyeramkan dengan memiliki cambang yang sangat panjang, sehingga sering disebut Mbah Jenggot Sari.
Kebetulan di sepanjang pesisir Utara ini dikuasai Jin Muslim dibawah pimpinan Mbah Talabodinllah, yang selalu bisa mematahkan serangan anak buahnya. Dendam kesumat ini menjadi perang besar-besaran antara keduanya.
Pertarungan akbar ini megnakibatkan alam berguncang, dan hewan-hewan penghuni Alas Roban berlarian menuju pemukiman penduduk. Penduduk Kadipaten Batang yang semula aman tentram karena peristiwa ini menjadi kacau balau. Mereka minta perlindungan pada Kanjeng Adipati Suryokusumo.
Melihat itu diutuslah telik sandi mencari penyebab kekacauan ini. Tapi hasilnya mengecewakan, karena tidak ditemukan sebab musababnya.
Berangkatlah Adipati Suryokusumo dengan membawa pusaka tombak Abirawa, andalan Kadipaten Batang. Semua prajurit terbengong-bengong sesampainya di Alas Roban. Pohon-pohon besar beterbangan tertiup angin. Seperti ada yang menggerakkan namun tak ada penyebabnya. Namun mata batin Adipati Suryokusumo dapat menangkap penyebab semua itu.
KEdatangan orang nomor satu Kadipaten Batang ini membuat Mbah Jenggot Sari dan Mbah Talabodinllah gentar, semua prajurit jin terdia. Akhirnya pertempuran itu dapat didamaikan oleh Adipati Suryokusumo. Mbah Talobodinllah kembali ke kerajaan Pesisir Utara yang letaknya sekitar Pantai Ujung Negoro, Batang. Sedangkan Mbah Jenggot Sari kembali ke kerajaan Alas Roban. Tapi dia minta kepada Adipati Suryokusumo setiap tahunna di tengah Alas ROban agar diadakan upacara ritual sedekah bumi dengan tumbel kepala kerbau dan nasi tumpeng, sebagai ganti Mbah Jenggot Sari dan pasukan jinnya yang ikut menjaga ketentraman daerah Batang. Dan persyaratan itu disetujui.
Hinga sekarang di jalan tanjakan sebelah Timur jembatan Sengon, jalur Pantai Utara Subah, Batang, dikenal para sopir sebagai jalur tengkorak, karena keangkerannya. Topografinya memang rawan, dari arah berlawanan (Timur) kondisinya selain menurun tajam juga agak menikung ke Selatan. Dari sisi gaib kepercayaan masyarakat setempat, wilayah ini katanya merupakan istana gaib yang dihuni para jin peri prayangan yang dipimpin makhluk halus berwujud seorang wanita tua berambut panjang. Ini lah yang disebut Keraton Roban Siluman yang sebenarnya.
Hampir setiap ada kejadian kecelakaan di sini, pasti terjadinya pada Jum'at. Anehnya lagi jika terjadi kecelakaan selain hari Jum'at korban biasanya tidak meninggal dunia.
Bila akan terjadi kecelakan yang menelan korban jiwa, biasanya beberapa hari sebelumnya akan ada tanda-tanda suara bergemuruh pada tengah malam. Ciri lainnya aliran sungai Sengon yang biasanya ke arah Utara berubah ke arah Selatan. Hal ini banyak disaksikan penduduk sekitar.
Sekarang pembangunan jalur Alas Roban semakin disempurnakan, sehingga human-error, salah satu penyebab terjadinya kecelakaan dapat diantisipasi seminimal mungkin.
We., Gunawan. 2012. Majalah Misteri Edisi 527. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.