INSAFNYA SEORANG GIGOLO
Gambar oleh 6557056 dari Pixabay

Aku lahir di Purbalingga 36 tahun silam, tepatnya Mei 1975. Umur sebelas tahun aku melanutkan sekolah menengah pertama di Serpong, Tanggerang karena orang tuaku harus pindah tugas di sana sebagai PNS. Hingga aku remaja, aku tinggal di Tanggerang dengan segala liku kehidupanku yang penuh ketidakmengertian sampai akhirnya aku melakoni peran sebagai gigolo, sebutan untuk pelacur laki-laki yang kerjanya memuaskan nafsu seks tante-tante.

Insafnya Seorang Gigolo - Awalnya aku jalani kehidupan sebagai gigolo dengan teman kuliah atau tetangga dekat. Semua itu hanya sekedar iseng dan keingintahuanku mengenai seorang wanita. Sampai akhirnya, aku menjadi terbiasa dan sulit ditinggalkan. Siapapun yang mengajak, aku turuti saja sepanjang ada imbalannya.

Masa remajaku penuh hura-hura. Perkelahian, minuman keras dan perempuan adalah bagian dalam ke seharianku. Seiring aku tak pulang ke rumah, bahkan kadang sampai dua hingga tiga hari, keluargaku seolah sudah tak peduli lagi denganku. Kuliahku-pun kandas, hanya sampai semester lima. Sejak itu kelakuanku terhadap perempuan semakin menjadi. Sering aku menginap di tempat kost teman perempuan. Aku sama sekali tak merasa canggung.

Hari terus berjalan, akupun terus melakukan aktifitas seperti biasa. Di mana ada perempuan yang membutuhkanku, di situ aku bekerja. Dengan segala cara, aku harus bisa membuat pelangganku puas dan ketagihan. Tak terasa pekerjaan ini aku geluti sudah lima tahun. Selama itu pula, aku hampir tak pernah kekurangan uang. Jika dompetku kosong, aku akan menelpon salah satu pelangga, lalu dia pasti akan berkata "Jika butuh duit, ya datang kerja dulu". Kemudian aku pun datang untuk memuaskan nafsunya di suatu tempat yang dia tentukan. Setelah itu baru dia memberiku uang.

Hingga suatu ketika aku mengalami sakit yang cukup parah. Aku terbaring lemah sendiri di kamar kost temanku. Bahkan saat itu keluargaku pun tak mengetahuinya, sehingga derita aku telan sendiri. Pada sat itulah datang seorang penyelamat. Gadis yang tinggal tidak jauh dari tempat kost temanku menolong. Dengan sabar dia merawatku. Membelikan obat, dan selalu memberikan perhatian yang begitu lebih. Aku tak tau apa yang ada dalam benak gadis itu. Cinta, sayang atau sekedar kasihan melihatku terbaring lemah sendiri di kamar yang sempit dan pengap. Dialah Winda, gadis asal Solo, yang kini menjadi istriku. Winda bekerja sebagai salah satu pengajar di sebuah sekolah dasar di Cikokol, Tanggerang.

Ya, mungkin aku salah, karena dari awal perkenalanku dengannya, aku berdusta. Aku berbohong kalau diriku bekerja di sebuah perusahaan swasta. Itu aku lakukan karena semata-mata tak mau disebut pengangguran. Aku takut Winda tak lagi simpatik dan tak menyayangiku. Aku tak mau kehilangan dia. Apalagi jika dia sampai tau kalau aku hanyalah seorang gigolo, dia pasti menjauhiku.

Hubunganku dengan Winda semakin akrab, hingga suatu ketika aku beranikan diri mengatakan cinta. Kalimat yang belum pernah aku ucapkan sebelumnya dengan tulus sepenuh jiwa dan hati terhadap perempuan manapun. Karena bagiku cinta adalah uang. Di mana ada uang di situ ada cinta. Tapi terhadap Winda hatiku mengatakan tidak! Dialah tambatan hatiku, dermaga jiwaku, tempat aku berlabuh setelah sekian tahun aku terombang ambing oleh badai kehidupan.

Ternyata Winda pun menerima cintaku sampai akhirnya kami menikah pada Juli 2005, dan kami menetap di Jakarta. Setelah selang satu tahun, Winda mengajukan mutasi ke daerah Solo, tinggal di kampung halamannya. Dengan alasan beban hidup di kota yang semakin menggunung. Meskipun aku sudah berusaha untuk melarangnya, namun Winda tetap ngotot sehingga aku akhirnya mengalah. Setelah melalui proses panjang, keinginan Winda berhasil. Kami pun kemudian pindah ke Solo.

Di tempat yang baru, aku semakin bingung dengan pekerjaanku. Aku nol besar. Kota Solo, terasa begitu asing bagiku. Aku tak punya teman, apa lagi pekerjaan, tapi setiap hari aku terus berangkat dan pergi untuk mencari kerja walau hasilnya tetap nihil. Winda pun selalu memberi dorongan agar aku tak putus asa dalam berusaha. Namun mencari pekerjaan yang halal ternyata sangat susah sehingga kemudian aku kembali tercebur dalam pekerjaan lamaku. Dalam waktu singkat aku banyak mempunyai kenalan kalangan ibu-ibu. Kepada Winda aku kembali berbohong kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan di suatu perusahaan. Winda percaya-percaya saja. Jika pagi aku berangkat dan sore pulang. Kadang berangkat sore dan malam pulang, tergantung mereka yang membutuhkanku. Aku jelaskan pula hal itu pada Winda, kalau aku bekerja sesuai kebutuhan perusahaan.

Salah satu pelanggan setia sekaligus berkesan bagiku bernama Hesti, seorang ibu muda yang begitu ganas dan buas permainannya di atas ranjang. Seganas suaminya yang telah meninggalkan dirinya ke luar negeri. Sampai kadang aku melupakan profesiku sebagai seorang gigolo yang lebih mengutamakan uang daripada cintanya.

Rasanya, semua tentangnya bagiku begitu berkesan. Padahal aku masih banyak pelanggan yang lain, yang tak kalah cantik dan banyak uang. Tapi Hesti selalu membuatku ketagihan, begitu liar dan rakus permainan cintanya. Jujur kalau bisa aku katakan, dia lebih hangat dan menggairahkan dibanding istriku!

Perkenalanku dengan Hesti bermula saat hujan turun pada malam itu. Kami sama-sama berteduh di sebuah pertokoan di jalan Ahmad Yani. Lalu saling berkenalan dan kemudian aku mengantarkannya pulang saat hujan telah reda. Di saat itu pula, aku diajaknya masuk.

"Masuklah dulu barang sesaat, malam juga belum terlalu larut kok", ajaknya sembari melontar senyuman.

Dengan terpaan keremangan lampu, ternyata wanita ini begitu sempurna kecantikannya. Aku terus mengagumi kelembutan paras Hesti yang mempesona, betapa tentaram dan damai rasanya jiwaku berlabuh dalam pelupuk matanya saat pandangan itu saling berbenturan, lalu pecah membentuk senyum yang terselip pada belahan bibir merekah, yang menghiasi kedua pipinya yang ranum.

"Pakaianmu sedikit basah, sebaiknya kau lepas biar aku keringkan sebentar", katanya seraya mendekatiku. Dengan tangan lembutnya yang terampil, dia melepas pakaianku. Aku tak bisa berbuat banyak, kecuali terkesima. Semakin dekat, wajah itu semakin aku kagumi. "Aku.. aku.., biar aku lepas sendiri". ucapku geragapan.

Kembali Hesti tesenyum sembari mengedipkan bola matanya yang sayu. "Kau tak usah khawatir, aku tinggal sendiri di rumah ini kok".

Hesti lalu menceritakan semua mengenai dirinya dengan lengkap, bahwa dia tinggal seorang diri di rumah itu. Suaminya bekerja di luar negeri, dan telah lama tak mengunjunginya. Sambil bercerita, Hesti melucuti satu persatu pakaianku sehingga kemudian tanpa aku sadari aku sudah telanjang bulat. Reflek aku juga mulai membuka penutup tubuh Hesti. Sofa biru itu yang akhirnya menjadi saksi bisu atas permainan liar Hesti yang telah melumat semua bagian yang aku miliki. Seolah tak ada yang tersisa lagi buat Winda, apa lagi Yunita dan Rani. Kepuasan ini tak pernah aku rasakan sebelumnya, dari Hestilah semua aku peroleh hingga akhirnya aku menjadi ketagihan, bahkan seolah mengikis cintaku pada Winda. Sejak itu hampir setiap minggu aku jalan dengannya, dan semua pasti diakhiri pada puncak kemesraan di sebuah hotel atau rumah hesti saat mengantarnya pulang. Bahkan tak jarang pula aku menginap di rumahnya. Lalu aku akan beralasan pada Winda kalau aku kerja lembur.

Kadang sebenarnya kau merasa berdosa juga pada Winda karena memberi nafkah dari uang hasil jual diri. Apalagi saat ini istriku tengah mengandung anak kami. Namun aku tak sanggup untuk menghentikan semuanya. Aku terlanjur terjun dalam dunia yang berlumur dosa ini. Aku berjanji suatu saat nanti, akan aku dapati pekerjaan yang di Ridhoi Tuhan. Tapi aku tak tau, kapan semua petualanganku dengan Hesti, Yunita, Rani dan masih banyak lagi akan aku akhiri? Sedang aku masih pengangguran, dan begitu sulit rasanya melepas cinta kehangatan Hesti yang menggebu. Sedang seminggu tak bertemu dengannya, aku pasti terus diburunya, bahkan dijemput ke rumah. Sehingga lebih baik aku yang mengalah untuk datang ke rumahnya, demi menutupi perasaan hatimu Winda.

Namun ketika bermain di rumah Hesti, selain sungkan dengan para tetangga, aku sebenarnya juga takut suaminya tiba-tiba pulang. Namun Hesti selalu meyakinkanku, "Kamu tak usah takut dan ragu, suamiku tak mungkin mengetahuinya. Dia pergi jauh dan entah kapan kembali. Lakukanlah apa yang kau inginkan dari diriku", tegas Hesti.

Sejak itu, seolah tak ada keraguan yang timbul di hatiku. Seolah apapun resiko yang bakal terjadi akan kami tanggung berdua. Dan demi menjaga kebugaran, jika aku mendapat panggilan Hesti aku selalu menyempatkan diri untuk sekedar minum di warung Jamu yang tak jauh dari rumahnya. Seperti malam ini. Kebetulan warung itu cukup sepi, mungkin karena habis hujan sore itu. Aku masuk untuk kemudian duduk sembari memilih jamu yang aku rasa cocok buatku.

"Silahkan mas, mau minum jamu apa?" tanya penjual warung dengan ramah.

"Jamu sehat lelaki saja?"

"Oh iya, sebentar saya seduhkan. Ngomong -ngomong. Mas ini penjaga malam di rumah itu?"

Aku terdiam cukup lama. Bingung juga untuk menjawab pertanyaan itu.

"Yah, rumah sebesar itu memang harus ada penjaganya. Kalau tidak ada yang nunggu sayang dan bisa cepat rusak nanti", lanjut penjual jamu itu membuat aku semakin tak mengerti. Apalagi menurut dia, rumah itu tanpa penghuni, "Rumah itu telah kosong sejak beberapa tahun yang silam. Tepatnya sejak kematian istri muda Par Hartanto, yang katanya akibat diguna-gunai oleh istri tuanya. Sejak itu Pak Hartanto tak pernah datang ke rumah ini lagi. Kabarnya, dia bekerja di Taiwan".

"Siapa nama istri muda Pak Hartanto itu?" tanyaku dengan suara parau.

"Namanya Hesti. Orangnya memang cantik sehingga wajar kalau Pak Hartanto begitu tergila-gila. Mas ini termasuk berani juga lho..." puji penjual jamu.

Tapi aku justru semakin merinding mendengarnya. Terlebih kata penjual jamu, sejak kemaitannya hampir tak ada orang yang berani melewati rumah kosong tersebut. Karena banyak orang yang melihat kalau arwah Hesti masih sering muncul dan berkeliaran di sepanjang jalan in.

Aku akhirnya tidak jadi minum jamu yang telah diseduh oleh pak tua itu, dan langsung pulang. Takut, ngeri, merinding dan sejuta tanda tanya bergayut dalam jiwaku. Aku benar-benar stres, bahkan mungkin gila jika saja Winda tak tanggap dengan perubahan yang aku alami.

Pasalnya, Hesti terus mengejar dan mendatangi rumahku, terutama jika malam-malam tertentu, meski aku sudah mati-matian menolaknya. Kesetiaan Windalah yang telah meredam keberingasan gairah Hesti yang terus memburuku, dengan dibantu oleh seorang Kyai untuk meruqyah diriku.

Hingga akhirnya, arwah Hesti merasa segan mendatangi rumah mungil kami lagi. Segudang penyesalan menghinggapi hati yang rapuh ini. Ya Allah, aku benar-benar ingin insaf dan tak akan mengulangi kembali perbuatan itu.


Seperti diceritakan NN kepada penulis.


TANGGAPAN UNTUK MASALAH GIGOLO 'NN' MENDEKATKAN DIRI PADA TUHAN ADALAH JALAN TERBAIK

Menjadi seorang gigolo memang bukan pilihan terbaik dalam hidup ini. Apapun alasannya. Setiap lelaki normal yang memiliki keperkasaan tentu saja tidak akan sudi menjual dirinya hanya untuk memuaskan wanita yang usianya lebih tua darinya. Sebab secara naluriah, setiap lelaki pasti akan lebih suka dengan wanita yang usianya lebih muda. Mungkin karena faktor uanglah, seorang lelaki terpaksa menjadi gigolo.

Tapi terlepas dari hal diatas, dalam kasus NN saya melihat ada berkah yang seharusnya bisa diraih NN ketika terbaring sakit di kamar kost. Tuhan telah mengirimkan seorang wanita yang baik bernama Winda. Wanita ini adalah malaikat penyembuh yang menyelamatkan nyawa NN dari incaran malaikat maut.

Saat itu seharusnya NN sudah berhenti total dari kegiatannya sebagai gigolo. Tuhan telah menegur NN dengan penyakitnya. Lalu Tuhan juga yang mempertemukan NN dengan Winda sebagai obat dan pintu tobat NN. Hingga NN menikahi Winda dan hidup dalam dunia yang seharusnya ia lakoni. Ini sebuah kemajuan dan keberhasilan bagi NN.

Tapi Tuhan kembali menguji NN dengan kesulitan ekonomi. Bahtera rumah tangga NN dan Winda harus dilalui NN di kota Solo yang asing baginya. Dan karena tak kuat dengan cobaan itulah akhirnya NN kembali terjerumus ke dunia hitam. Hingga NN kemudian terjerat wanita bernama Hesti. Ini adalah kali kedua NN terjerumus dan seharusnya NN bisa menyikapinya dengna berkaca pada keadaan ketika ia terbaring sakit di kamar kost.

Sikap NN untuk menghindari Hesti adalah sebuah keharusn bahkan kewajiban. NN harus benar-benar melakukan taubatan nasuha dengan meninggalkan perbuatan buruknya. NN harus berputar 180 derajat dengan mendekatkan diri pada Tuhan. Hanya itu jalan keluar bagi NN untuk lepas dari kejaran Hesti.

Yang terbaik yang bisa dilakukan NN sekarang adalah mendalami ilmu agama dengan mondok di salah satu pondok pesantren terdekat. Dengan demikian selain dapat meningkatkan ilmu agama, NN juga bisa terhindar dari kejaran Hesti. Di pondok pesantren yang mendalami ilmu hikmah biasanya terdapat beberapa ajaran atau ilmu yang bisa menghindarkan seseorang dari kejaran makhluk seperti Hesti.



Supriatna, Eka. 2012. Majalah Misteri Edisi 527. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.