![]() |
Gambar oleh 024-657-834 dari Pixabay |
Bayu Trengginas berusahan untuk tetap fokus merapal mantranya meski darah segar terus keluar dari mulutnya. Bahkan kini telinga dan hidungnya juga mengeluarkan darah segar. Ia kembali mencoba menggapai surai kuda di depannya. Namun lagi-lagi usahanya gagal. Letak surai kuda itu sepertinya sangat jauh, tidak terjangkau oleh tangannya.
Dendam Darah Perawan - "Saya tidak ada urusan dengan kamu. Lebih baik segera kamu bertobat sebelum saya mengunakan aji pamungkas", teriak Butogaul.
Ki Bayu Trengginas tidak bergerak. Ia semakin memfokuskan mata batinnya untuk mencari titik terlemah Butogaul. Ketiak darah yang keluar dari lubang telinga dan hidung semakin deras, tubuhnya mulai limbung. Sebelum kemudian dirinya ambruk, Ki Bayu Trengginas melepaskan tenaga terakhirnya untuk mengambil surai kuda. Berhasil. Secepat kilat ia melemparkan surai kuda itu ke arah Butogaul. Terdengar jeritan yang sangat keras seperti orang tercekik.
"Augghh....!!!"
Rupanya Butogaul tidak menyangka Ki Bayu Trengginas masih memiliki tenaga untuk melawannya. Surai kuda itu menjerat lehernya. Dia tidak bisa bergerak. Setiap kali bergerak, surai kuda itu semakin kuat menjerat lehernya.
Merasa di atas angin, tangan Ki Bayu Trengginas berkelebat menotok aliran darah di dadanya. Darah pun berhenti keluar dari hidung, telinga dan mulutnya. Ki Bayu Trengginas kembali merapal mantra untuk menetralisir racun dalam tubuhnya akibat serangan Butogaul. Lima belas menit kemudian nafas Ki Bayu Trengginaas mulai normal kembali.
Sementara Butogaul hanya bisa tertunduk di pojok ruangan yang berantakan itu. Dia tidak berani bergerak karena setiap gerakan yang dilakukan membuat surai kuda itu semakin kuat melilit lehernya. Rasanya sangat sakit.
"Hai Butogaul, kembali ke alammu dan jangan pernah menjadi pelindung anak manusia lagi", kata Ki Bayu Trengginas.
Butogaul tidak segera menjawab. Ia berhitung segala kemungkinan yang akan terjadi andai menolak perintah Ki Bayu Trengginas.
"Ampun Ki, saya menyerah", kata Butogaul akhirnya.
Ki Bayu Trengginas tersenyum licik.
"Apa buktinya kamu menyerah?" tanya Ki Bayu Trengginas.
"Saya siap mengabdi, Ki".
"Saya tidak butuh kamu. Saya hanya minta kamu jauhi perempuan bernama Wulan itu", tegas Ki Bayu Trengginas.
"Baiklah, Ki. Saya tidak akan melindungi dia lagi".
"Bagus. Sekarang pergilah", perintah Ki Bayu Trengginas.
"Tapi tolong lepaskan jerat surai kuda di leher saya Ki", pintanya.
Ki Bayu Trengginas tertawa. "Surai kuda itu akan terus menjerat lehermu sampai janjimu ditepati".
Butogaul melenguh dan secepatnya pergi dari ruangan itu.
Tangis Mariska sudah reda. Hanya sesekali isaknya masih terdengar. Baju tidur yang dikenakannya sudah sangat kusut seperti rambutnya. Ia duduk di tepi ranjang dengan wajah tertunduk.
"Percuma kamu pakai dukun untuk mencelakai Wulan. Saya tetap akan menikahinya", tegas Sindu dari tempat duduknya. Kamar tidur mereka sangat luas. Selain lemari pakaian dan meja rias, di sudut sebelah kanan juga ada satu set meja kursi kecil yang sangat antik. Sindu duduk di salah satu kursi dair tiga kursi yang ada di ruangan itu.
"Apa kekurangan saya, Pah?" tanya Mariska setengah berbisik. Sebenarnya ia jgua ragu dengan pertanyaannya sendiri. Sejak ia merebut Sindu dari istri pertamanya, sudah ada semacam perjanjian tidak tertulis yang memungkinkan suaminya itu suatu waktu mempunyai istri lagi. Sindu sangat yakin istri pertamanya dibunuh dengan cara gaib oleh mariskan. Terlebih setelah Sindu menangkap basah jerat asmara gaib yang dipasang Mariska untuk memperdaya dirinya, dengan bantuan seorang dukun.
Mariska juga tidak bisa menguasai seluruh harta Sindu. Sebelum menikah, Sindu sudah bilang Mariska hanya berhak atas rumah yang kini ditempatinya plus perusahaan minuman ringan di mana dia dulu bekerja sebagai sekretaris Sindu. Saaat itu Mariska menyetujui karena yakin seiring berjalannya waktu Sindu akan menyerahkan seluruh harta kekayaannya. Terlebih setelah ia berhasil menyingkirkan istri pertama Sindu. Dua anak SIndu masih remaja sehingga bisa dengan mudah diperdaya.
"Jadi kapan Papa mau menikahi Wulan?" tanya Mariska ketika dilihatnya Sindu tetap diam.
"Secepatnya. Kalau kamu macam-macam dengan Wulan, saya tidak segan-segan untuk menceraikan kamu", tegas Sindu.
Mariska mendengus. Bukan hanya Wulan, kamu pun akan saya lenyapkan, kata Mariskan dalam hati. "Baiklah, silahkan Papa menikahi Wulan. Tapi nikah siri, kah?"
"Kita lihat saja nanti", desis Sindu.
Wulan belum selesai juga bisa memejamkan mata. Pikirannya melalang kemana-mana. Kadang terselip juga rasa kangen dengan teman-teman di SMA. Mereka pasti bingung karena ia pergi mendadak. Saat ini mereka pasti tengah sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian nasional. Tidak terasa sudah lima bulan lebih ia pergi.
Jika sudah begitu, WUlan lantas teringat pada Ridho dan teman-temannya. Mereka bukan saja telah merenggut keperawanannya, namun juga masa depannya. Hati Wulan langsung membara setiap kali ingat mereka. Di mana sekarang mereka? Saya haris membalas perbuatan mereka, tekad Wulan.
Namun saat ini Wulan pun mulai ragu. Situasinya sangat jauh dari harapan. Genderuwo itu terus mengganggunya. Dia bingung bagaimana jika sampai Sindu mengetahui semuanya. Sejauh ini ia masih bisa mengelabuinya. Namun bagaimanan nanti setelah dirinya resmi menjadi istri Sindu? Pasti sulit menutupi keberadaan Butogaul, terutama setelah dia menggaulinya. Pengalaman kemarin membuatnya jijik. Butogaoul menjilati seluruh tubuhnya dan meninggalkan bercak merah yang susah hilang. Setidaknya perlu tiga hari untuk menghilangkan bercak merah itu.
Mengapa saya tidak memanfaatkan Butogaul? Pikiran itu seperti menyentak Wulan sehingga ia langsung bangun dari tempat tidur dan mondar-mandir di dalam kamar. Dengan bantuan genderuwo itu, pasti mudah bagi dirinya untuk menghabisi Ridho dan teman-temannya. Tetapi mau langsung dibunuh atau disiksa dulu?
Belum sempat Wulan mengambil keputusan, tiba-tiba Butogaul sudah muncul di depannya. Berbeda dengan biasa, kali ini Butogaul sama sekali tidak bergerak. Dia diam terpekur di sudut ruangan. Kepalanya terus menunduk.
"Ada apa?" tanya Wulan.
Butogaul tidak menjawab. Matanya seperti terpaku mengamati lantai keramik.
"Coba jawab dulu, mengapa kamu datang tanpa saya panggil?" desak Wulan.
"Saya mau pamit. Saya mau kembali ke alam saya dan tidak akan kembali lagi ke sini..."
"Kenapa? Coba kamu lihat wajah saya?" perintah Wulan.
Butogaul menggeleng. "Maafkan saya. Leher saya sakit", desah Butogaul.
Wulan mulai curiga. Wulan mendekati butogaul dan melihat ada jerat di lehernya. "Siapa yang melilitkan jerat itu di lehermu?"
"Ki Bayu Trengginas, dukun sakti suruhan istri tuanmu. Saya kalah bertarung melawan dia. Saya harus kembali ke alam saya..."
Wulan terkesiap., Ternyata dukun istri Sindu lebih sakti dari genderuwo ini. "jadi kamu tidak mau lagi mendampingi saya", tanya Wulan.
"Saya harus menetapi janji saya kepada Ki Bayu Trengginas".
Sampai akhirnya Butogaul benar-benar pergi, Wulan masih juga belum beranjak dari tempatnya berdiri. Kepada siapa lagi saya meminta tolong untuk menghadapi serangan gaib yang dilakukan dukun-dukun istri Sindu? Keluh Wulan dalam hati.
Benar saja kekhawatiran Wulan. Esoknya Mariskan datang ke rumahnya bersama Ki Bayu Trengginas. Dengan sekali usap, Wulan pingsan dan langsung dimasukkan ke dalam mobil.
Bersambung...
Bayu, Yon. 2012. Majalah Misteri Edisi 527. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.