PERJALANAN MENEMBUS ISTANA DI BAWAH LAUT
Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay

Istilah pesugihan kerap menjadi bahan pergunjingan, yang berujung pada pro dan kontra. Ada yang percaya, ada yang tidak. Dari mereka yang percaya, sebagian besar mereka takut akan efek yang ditimbulkan dari laku pesugihan. Misalkan saja, ritual tersebut selalu membawa korban jiwa.

Perjalanan Menembus Istana Bawah Laut - Kendati yang namanya pesugihan selalu menuntut tumbal, terutama nyawa manusia, namun tak sedikit orang yang mengejarnya. Demi bayangan kekayaan yang melimpah ruwah, mereka tak peduli dengan efek negatif yang muncul, bahkan ancaman siksa neraka sekalipun. Itulah realita kehidupan yang terjadi. Semua ini bisa terjadi akibat tipisnya kadar keimanan dari manusia yang bersangkutan.

Adalah sebuah tempat yang sebut saja dengan nama Pantai Pertanahan. Tempat ini masih berada di kawasan pesisir pantai selatan. Telah lama disebutkan tempat ini menjadi ajang perburuan Pesugihan Ibu Ratu Kidul, khususnya yang berada di wilayah Kebumen, Jawa Tengah.

Kisah muja atau mencari pesugihan di daerah ini kabarnya baru dikenal sejak tahun 1984. Dipopulerkan seorang juru kunci bernama Abah Polen dan istrinya, Nyi Nini.

Konon, setiap malam Kamis Legi, Pantai Pertanahan selalu ramai dikunjungi orang-orang yang memburu pesugihan, bahkan tak sedikit pula dari mereka yang bermalam sampai berhari-hari lamanya.

Jiwa insan-insan yang telah terbalut oleh suatu keinginan Dajjal, sehingga membuat mereka rela berkorban jiwa raga dalam dinginnya angin malam, bahkan panasnya terik mentari di siang bolong. Namun, dengan semangat yang sesat mereka pantang menyerah. Mereka ingin bertemu dengan sang pujaan, Ibu Ratu Laut Kidul.

Tapi benarkah semua itu dalam kenyataan yang sesungguhnya?

Kisah ini baru Saya dengar saat seorang teman mengajakku ke sana. Ya, ke Pantai Pertanahan! Tepatnya pada tahun 2001 silam. Ketika itu, Suwandi, sang teman yang berasa dari daerah Buntet, Sindang Laut, ingin Saya temani dalam suatu perjalanan bertemu seseorang yang katanya sangat sakti.

Sebagai sahabat karib, Saya tak menolak ajakan tersebut, walaupun tak pernah tahu akan maksud sang teman sesungguhnya.

Tepat pukul 23.15 WIB, Kami sampai di suatu tempat setelah sepanjang hari duduk di jok bus non AC dengan bermandikan peluh. Persisnya, Suwandi mengajak Saya mampir ke sebuah rumah yang cukup lumayan besar dengan pemandangan panorama laut yang sangat indah dan nyaman.

Ternyata, rumah itu hanya dihuni oleh sepasang suami istri yang sudah lanjut usia. Dengan tergopoh-gopoh seorang perempuan uzur membukakan pintu tatkala Suwandi memanggil mereka dari luar.

Kelihatannya, pasangan suami istri itu sudah mengenal Suwandi sebelumnya. Dan mereka nampak sangat senang menerima kehadiran kami. Buktinya, mereka langsung mempersiapkan jamuan untuk menghormati kedatangan kami.

Dugaan Saya memang tidak meleset. Rupanya Suwandi memang sudah akrab betul dengan mereka. Buktinya, dia sudah kelihatan tidak canggung sedikitpun di hadapan suami istri tua itu.

Akhirnya aku tahu kalau suami istri itu adalah juru kunci apa yang disebut sebagai Pantai Pertanahan. Mereka tak lain dan tak bukan adalah, Abah Polen dan Nyi Nini.

Dalam keakraban yang teramat wajar, kami selaku tamu sangat tersanjung akan penghormatan mereka. Kehangatan sikap mereka membangkitkan rasa keingin tahuan kami, khususnya Saya, tentang kebenaran cerita yang mereka tuturkan.

Salah satu cerita yang membuat hati berdebar, adalah pengakuan mereka yang katanya telah mempunyai seorang anak gadis angkat pemberian Nyai Blorong. Benarkah? Lantas dimana gadis itu?

Sebelum kisah ini Saya beberkan secara terperinci dan jelas, ada baiknya sedikit saya buka tabir tentang asal usul gadis yang jadi anak angkat Abah Polen dan Nyi Nini itu. Beginilah penuturan Ki Polen di hadapan Kami.

Setiap menjelang tangal 10 Dzulhijah, atau tepatnya malam Idul Adha, pasangan suami istri itu selalu mengadakan selamatan berupa upacara larung sesajen ke laut. Semua itu mereka lakukan sebagai tradisi yang ditinggal oleh almarhum ayah Abah Polen. Maksudnya untuk memberi penghormatan atas keselamatan penduduk Pantai Pertanahan kepada Kanjeng Ratu Pantai Selatan. Menurut pengakuan Abah Polen, acara seperti itu sudah dilakukan sejak tahun 1964 silam.

Pada tahun 1990, tepatnya malam menjelang Idul Adha, Abah Polen dengan dibantu para penduduk setempat telah mempersiapkan segala keperluan untuk upacara larungan, yang terdiri dari 27 macam sesajen. Nantinya, semua sesajen akan dibagi menjadi 3 tempat yang ditaruh di atas wadah yang terbuat dari anyaman bambu.

"Setelah Maghrib, ditemani oleh sang istri aku mulai membacakan mantra-mantra di depan 3 sesajen yang sudah dipersiapkan. Pada puncaknya nanti, satu persatu sesaji tersebut akan kuhanyutkan. Lalu, sebagai penghormatan terakhir aku dan istriku berdiri sambil memandangi ketiga sesaji itu hingga tenggelam diterjang gelombang.

Lewat terangnya bulan purnama, kami berdua bisa melihat dengan jelas ketiga sesaji itu mulai menjauh. Namun anehnya, beberapa saat kemudian tiba-tiba muncul ombak besar, yang menerjang sesaji itu dan membawa kembali persis ke hadapan kami. Aku dan istriku saling pandang. Jangan-jangan ada yang salah sehingga Penguasa Pantai Selatan menolaknya.

Kami kian resah, sebab tatkala beberapa kali kucoba melarungnya, sesaji-sesaji itu tetap kembali lagi ke hadapan. Baru ke tujuh kalinya sesaji itu benar-benar raib di telan ombak besar. Aku sangat lega sekaligus juga takut".

Demikian tutur Abah Polen panjang lebar. Setelah menghisap cerutu kegemarannya, dia pun melanjutkan kembali, "Masih dalam keadaan gemetar, kami bergegas pergi dari pantai. Tapi baru beberapa langkah saja kami berhenti karena dikejutkan oleh suara tangis bayi".

Dituturkan, ternyata di sudut pantai tempat Abah Polen dan Nyi Nini berdiri tadi sudah ada sesosok bayi yang tergeletak di atas salah satu wadah sesaji yang sebelumnya mereka larung. Keduanya terpana. Meski setengah takut, namun mereka cepat-cepat mengambil bayi yang ternyata berjenis kelamin perempuan itu.

"Dalam perjalanan pulang, kami berdua mendengar suara tanpa rupa yang menyatakan "Wahai manusia, aku Nyi Blorong penguasa pantai ini menitipkan anakku pada kalian. Rawatlah anakku baik-baik, seperti kau rawat anakmu sendiri".

Tentunya sebagai suami istri yang tidak mempunyai keturunan, kami sangat bersyukur sekali atas pemberian tersebut. Bayi itu kemudian kuberi nama Indah, sesuai dengan wajahnya yang cantik jelita", tutur Abah Polen lagi.

Sejak kehadiran Indah di tengah keluarga mereka, lambat laun kehidupan mereka mulai berubah. Abah Polen dan Nyi Nini mengaku setiap malam selalu di datangi para lelembut Pantai Pertanahan. Mereka banyak mengajarkan tentang berbagai ilmu penghubung alam gaib, penyembuhan dan ilmu pengasih.

Dari situ pula akhirnya lambat laun banyak orang berdatangan meminta syareat batin kepada mereka, sehingga akhirnya nama keduanya menjadi terkenal di kalangan orang-orang tertentu.

Pagi Menjelang. Dengan terburu-buru Suwandi mengajakku untuk menemui Indah di tempatnya. Saya merasa heran dengan tingkah sang teman. Sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan, sebab biasanya dia tidak seperti itu.

"Memang kamu tahu di mana gadis itu? Memangnya dia bisa dilihat dengna mata biasa? Memangnya kamu tahu di mana tempatnya? Ah, ini benar-benar gendeng!" Gerutu Misteri sambil tak habis pikir. Suwandi menanggapinya dengan senyum penuh rahasia.

Meski kesal, rasa penasaran dan keingintahuan terhadap Indah, membuat Saya memutuskan harus bersikap lebih sabar. Bernarkan putri titipan Nyi Blorong yang bernama Indah itu berwujud seperti manusia biasa, ataukah hanya sekerdar penampakan gaib? Hal inilah yang membuat Saya terus penasaran.

Mungkin hanya kurang lebih 30 menit perjalanan dengan jalan kaki dari rumah Abah Polen, kami berdua sampai di sebuah mulut goa. letaknya hanya sekitar 70 meter dari bibir pantai laut.

Keanehan memang terjadi di goa ini. Setelah Suwandi membakar kemenyan pemberian Abah Polen dan Nyai Nini, tiba-tiba dari dalam goa keluarlah seorang gadis cantik menyambut kedatangan temanku. Si cantik yang amat jelita ini dengan penuh kemesraan menjemputnya. Aku benar-benar tercengang dan hampir tidak percaya. Benarkah di dalam goa sunyi dan terpencil ini tinggal seorang gadis yang begitu anggun, dengan kecantikan yang sulit dilukiskan lewat untaian kalimat?

Gadis berbusana setelan kebaya amat indah untuk mempersilahkan Suwandi, juga Saya, untuk masuk ke dalam goa lumayan luas dan terang, sebab di atasnya ada luabang besar sehingga sinar matahari bisa masuk menyinari seluruh ruangan goa.

Di mataku, gadis bernama Indah ini benar-benar perempuan pilihan. Wajahnya sungguh cantik, juga tutur bahasanya begitu lembut. Hal ini dipastikan dapat membuat siapapun akan tergerak hatinya untuk selalu bisa berdekatan dengannya. Pantas saja bila sampai Suwandi, temanku, tergila-gila padanya.

Dalam pertemuan di dalam goa ini, Saya sengaja menjauh dari mereka. Ini sengaja Saya lakukan agar tidak mengganggu kemesraan mereka. Saya menduga di antara mereka sudah terjalin hubungan khusus.

Untuk mengisi kekosongan waktu, sementara Suwandi dan Indah berduaan di dalam goa, Saya  berjalan hilir mudik di pantai sambil menghayati keindahan alam yang begitu asri. Menjelang petang, Suwandi dan Indah menemuiku yang sedang terkantuk-kantuk di bawah pohon.

"Idris, malam ini kau harus menemaniku tidur di goa ini!" Kata Suwandi.

Saya tersentak. Sebentar, ada niat memprotes ajakan Suwandi. Namun, untunglah Saya segera sadar bahawa hal tersebut tidak perlu dipertanyakan, sebab apa yang terjadi sepanjang hari ini memang kenyataan yang serba aneh.

"Bagaimana, kamu bersedia kan?" Kejar Suwandi.

"Okelah, demi seorang teman!" Jawabku sambil coba tersenyum.

Malam telah larut. Karena kecapekan Saya segera tertidur lelap. Namun akibat gigitan udara yang amat dingin, emnjelang tengah malam aku terjaga. Aneh, Suwandi sudah tak ada lagi di sebelahku. Padahal, saat menjelang tidur dia menemaniku, sedang Indah pergi entah kemana.

Karena penasaran, Saya coba mencarinya. Ternyata, Suwandi tengah berduaan dengan Indah di bibir pantai. Dari sikap mereka yang duduk bersila dan saling berhadapan, maka jelas sekali mereka tengah meritualkan sesuatu.

Saya hanya memandangi mereka dair mulut goa, karena takut mengganggu ritual yang mereka lakukan. Tapi sepertinya Indah yang tentu saja memiliki kepekaan batin yang hebat, sudah memahami kehadiran Saya. Buktinya, tak beberapa lama dia memanggilku untuk turut serta.

Akhirnya, Saya ikut duduk bersila di antara Suwandi dan Indah. Saat inilah, dalam pinta dan permohonannya, Indah selalu menyebut nama Ibu, baik secara amalan kejawen maupun dengan berbahasa Arab. Aneh, memang!

Saya menunggu apa yang terjadi. Hingga sekitar 2 jam kemudian, Indah meluruskan kedua tangannya ke depan, dengan punggung tangan menghadap ke atas. Dari situlah Saya baru paham, lewat cahaya rembulan yang terang benderang, tangan Indah mulai bergetar hebat dan dari pergelangan tangan kanannya, keluarlah seberkas cahaya kemerahan. Astaga, ternyata sebuah batu kecil sebesar biji kacang hijau. Batu itu sepertinya keluar dair dalam tangan Indah.

Menurut Indah, batu itu adalah mustika Merah Delima, yang selama ini diburu oleh banyak orang.

Yang terjadi kemudian tak kalah mencengangkan!

Setelah Merha Delima itu berada di telapak tangan kanannya, Indah merapal sebuah mantra berbahasa kejawen, setelah itu si batu dilemparnya ke tengah laut. Keajaiban lalu terjadi di depan mata.

Setelah batu kecemplung di laut, semua air yang terlihat berubah warnanya menjadi merah. Ya, air laut tiba-tiba ebrubah menjadi dua bagian. Antara yang merah dan biru, sehingga seperti ada sebuah lorong jalan, atau persisnya terowongan.

Saya terkesima, karena baru kali ini menyaksikan secara langsung kesaktian yang dimiliki seorang anak dari dedengkot lelembut laut kidul; Nyi Blorong.

"Itu adalah jalan yang dapat kalian lalui untuk masuk ke istana Kerajaan Laut Kidul!" Kudengar suara Indah membelah kesunyian.

Saya tak percaya. Benarkah seperti itu? Seolah dapat membaca keraguan Saya, Indah lalu memberi isyarat kepada kami berdua untuk mengikutinya dari belakang. Saat kaki kulangkahkan, ada rasa takut teramat sangat dalam hati; Jangan-jangan air laut akan kembali seperti semula dan menenggelamkan diriku. Ternyata dugaanku sama sekali tak terjadi.

Memang sulit dimengerti, depan kami sepertinya ada sebuah mulut goa yang sangat besar. Lalu kami pun masuk sampai ke ruang bagian dalam. Subhanallah! Saya terus mengucap Asma Allah dalam hati. Ternyata goa itu adalah sebuah jalan rahasia menuju alam dimensi lain.

Sebentar kemudian sesuatu yang sulit terbayangkan terhampar jelas di depan Saya. Betapa megah dan indahnya semua yang kulihat saat itu. Ya, sebuah istana yang sungguh sangat mempesona dipandang mata.

Kami masuk ke sebuah pintu gerbang dari salah satu gerbang yang ada di istana itu. Kami disambut ramah oleh para prajurit dan ponggawa istana bawah laut, juga oleh para dayang yang semuanya cantik jelita. Semua kawula kerajaan bawah laut ini sepertinya sudah kenal betul dengan Indah. Bahkan terkesan bahwa Indah adalah salah satu keluarga kerajaan yang sangat dihormati.

Kami akhirnya sampai di sebuah ruangan besar, yang mirip dengan balairung. di sana terdapat pernak-pernik hiasan yang terbuat dari emas, dengan seni ukir yang berselera tinggi. Semua dinding, juga singgasana raja yang begitu indah membuat istana benar-benar sempurna adanya.

Sebentar kemudian, dari salah satu ruang kaputern muncul arakan dayang-dayang, yang rupanya mengiringi kedatangan seorang ratu yagn kharismatik. Melihat kemunculan sang ratu Indah langsung bersembah sujud. Seperti yang lain, Kami dan Suwandi pun melakukan hal yang sama, mengikuti gerakan para kawula sang ratu.

Setelah Indah menghaturkan sembah sungkem dan memperkenalkan kami berdua, kulihat sang ratu hanya tersenyum. Dia tak berkata sepatah katapun. Dengan gerakan amat anggun dia langsung duduk di sudut ruangan agak kecil, yang diterangi cahaya benderang. Anehnya, Saya lalu melihat dia memegang kitab suci Al-Qur'an, meski tidak terdengar suara bacaannya.

Benarkah yang dipegang sang ratu itu adalah Al-Qur'an? Dari penampilan fisiknya memang terlihat demikian. Selebihnya, Saya tak bisa memastikannya.

Melihat sang ratu telah duduk dengan anggun di hamparan permadani berenda emas, Indah langsung memberi isyarat agar kami mengikutinya. Rupanya, Indah mengajak kamike ruangan lain yang tak kalah megah. Di ruangan inilah Indah memberi keterangan seputar sang ratu yang senantiasa disebutnya sebagai Ibu Ratu. Dijelaskan oleh Indah bahwa Ibu ratu tidak ingin diganggu dulu karena ada beberapa faktor yang masih mengganggunya.

Setelah diajak melihat-lihat, ruang istana, Indah kemudian mengajak Misteri dan Suwandi melihat bangunan-bangunan pendukung istana lainnya. Anehnya, di dalam ruangan lain yang keindahannya sulit dijelaskan dengan untaian kalimat ini, Saya dan Suwandi sempat bertemu dengan para tokoh legendaris negeri ini, seperti: Gajah Mada, Ir. Sukarno, Kyai Samber Nyawa, Rakuti, juga beberapa nama raja sejak zaman Majapahit, bahkan kerajaan-kerajaan sebelumnya.

Apakah benar Saya telah bertemu dengan mereka dalam pengertian secara fisik? Bukankah mereka semua telah mati? Bagaimana mungkin Saya dapat bertemu dengan mereka?

Ah, semua pertanyaan itu memang sangat mengganggu Saya. Sampai kini tak ada jawaban yang bisa diberikan sebagai seuatu kepastian, atau pun sebagai suatu bantahan. Yang pasti, bagi Saya semua peristiwa ini serasa begitu nyata. Meski tetap saja sangat sulit diterjemahkan dengan akal sehat.

Tak dapat Saya lupakan sejuknya udara di istana bawah laut. Warga kerajaan semua juga amat ramah. Anehnya, kebanyakan di antara mereka juga menjalankan ritual peribadatan seperti para pemeluk Islam pada umumnya, yang ada di alam nyata.

Dari pengalaman yang bagi Saya sangat nyata ini, rupanya apa yang diceritakan selama ini bahwa kerajaan Laut Kidul identik dengan berbagai hal yang berbau pesugihan dan kesesatan terbantah dengan sendirinya. Ini adalah keyakinan Saya. Atau mungkin, memang ada istana di bawah laut selatan lainnya yang penuh dengan kesesatanitu? Artinya, ada dua versi Ratu Laut Kidul. Ya, ada yang hitam dan ada yang putih!

Untuk saat ini, Saya belum dapat menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Yang pasti, setelah waktu bagi kami telah dianggap cukup, si cantik Indah mengajak kami mengunjungi tempat terakhir. Dia menyebutnya ke "Istana Panas". Menurut Indah, di istana inilah salah seorang pamannya bertahta sebagai raja.

Dengan kendaraan berupa kereta yang ditarik enam ekor kuda putih, kami segera berangkat menuju tempat yang disebutkan Indah. Sekitar setengah jam waktu di perjalanan, kami pun sampai di sebuah istana yang udaranya serba panas.

Mungkin karena itulah disebut "Istana Panas" Mengapa di sini udaranya panas? Mungkin, seperti yang kita ketahui bahwa samudera memiliki bagian panas dan dingin.

Entah dengan alasan apa, Saya dan Suwandi hanya disuruh menunggu di beranda istana, sedangkan Indah masuk ke dalamnya dengan di antar beberapa orang pengawal. Baru sekitar 20 menit kemudian, Indah muncul lagi. Anehnya, dia membawa jengger ayam Cemani yang sudah matang.

"Makanlah!" Katanya sambil menyodorkan jengger itu kepada kami.

Saya dan Suwandi hanya diam dalam keraguan. Rupanya Indah tahu perasaan kami. Sambil tertawa renyah, dia kembali berkata, "Kalian jangan ragu. Makan saja, sebab jengger itu berkhasiat untuk menghilangkan sifat panas dari pengaruh pamanku!"

Kami pun langsung memakannyua. Dan benar saja, hawa panas yang keluar dari dalamistana itu tak lagi terasa olehku. Lalu kami berdua di ajak masuk oleh Indah ke dalam apa yang disebut sebagai "Istana Panas".

Akhirnya, Saya baru tahu tentang siapa sebenarnya yang disebut Indah sebagai Paman itu. Dia bernama Ki Banaspati. Apakah tokoh gaib ini yang selalu dibicarakan orang perihal kesadisannya yang konon gemar membunuh orang dengan keris miliknya yang selalu membara?

Yang pasti, saat kami melangkah masuk ke dalam "Istana Panas", saat gerbangnya dibuka, maka Saya melihat para prajurit yang semuanya berwajah bengis. Mereka terlihat tidak ada yang mempunyai perwatakan halus. tubuh mereka semua hitam legam dan mengkilat, seolah baru bermandikan minyak zaitun.

Kami terus melangkah mengikuti Indah. Akhirnya sampailah di suatu ruang tengah istana yang besar sekali. Di raungan ini kengerian menyerang otakku, sebab ribuan tengkorak manusia berserakan, dengan tulang belulang menjadi satu yang sepertinya sengaja menjadi penghias dinding. Tak hanya itu, ribuah keris juga bergelantungan. Anehnya, setiap keris mempunyai mata di ujungnya, seperti layaknya mata manusia.

Saat Saya masih tercekam kengerian, tiba-tiba aku dikejutkan oleh satu suara yang menggema, "Selamat datang wahai manusia bumi!"

Jantungku nyaris saja copot. Di depan sana, kulihat sesosok makhluk mirip manusia, dengan bara api di sekujur badannya yang hitam legam, juga wajah serta rambutnya menyala seperti bara. Sungguh membuat bulu kuduk merinding melihatnya.

Indah cepat-cepat memberi hormat, dan kami berdua mengikutinya. Ternyata, dia adalah Ki Banaspati seperti yang disebutkan Indah. Dari pertemuan singkat ini, Ki Banaspati mengakui telah merestui hubungan cinta Indah dengan temanku, Suwandi.

Singkat cerita, pada tahun 2003 yang silam, Suwandi dan Indah telah menikah secara sah di sebuah kantor KUA yang ada di daerah Pertanahan. Setelah menikah, mereka menetap di salah satu daerah di Bali.

Sejak itulah Saya dan Suwandi berpisah dan hingga kini tak pernah bertemu lagi. Termasuk pula dengan Indah. Entah bagaimana kabar mereka sekarang? Hal ini sama sulitnya dengan mencari jawaban dari pertanyaan; bagaimana mereka bisa menikah, padahal antara Suwandi dan Indah bisa jadi makhluk berbeda alam?

Bagi Saya, tak penting mencari jawaban dari semua pertanyaan yang teramat sulit dijawab itu. Biarlah semuanya menjadi bagian dari nostalgia kehidupan ini. Hanya saja, lewat tulisanku ini, ada hal penting yang harus ku sampaikan pada kalian berdua. Ketahuilah, pantai yang dahulu menjadi tempat kita merajut kenangan, kini telah tiada. Goa dan pantai itu semuanya hancur dihempas gempa waktu Yogya 27 Juli 2006 yang lalu.

Doa tulus dari seorang sahabat, semoga kalian selalu berbahagia. Jika kalian membaca tulisanku ini, maka maafkanlah aku bila ada kata yang salah, dan kunantikan selalu kehadiran kalian di sisiku.



Nawawi, Idris. 2006. Majalah Misteri Edisi 408. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.