PELAJARAN CINTA SANG GEMBALA KEPADA NABI MUSA
Gambar oleh かねのり 三浦 dari Pixabay

Kisah singkat penuh hikmah berikut ini kami sarikan dari buku Tales From The Land of The Sufis karya Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia. Selamat menyimak...!

Pelajaran Cinta Sang Gembala Kepada Nabi Musa - Pada zaman dahulu, hiduplah seorang gembala berjiwa bebas. Seluruh miliknya hanyalah hati yang bersih dan tulus, hati yang bergetar karena cinta kepada Tuhannya.

Bersama hewan gembalaannya, sepanjang hari, si gembala menjelajahi padang rumput sambil berkata kepada ATuhan, Kekasihnya, "Wahai Tuhan, di manakah Engkau yang kepada-Mu aku abdikan hidupku? Wahai Tuhan, yang demi diri-Mu aku hidup dan bernafas, yang dengan rahmat-Mu aku ada, aku akan mengorbankan dombaku untuk memandang dan menatap-Mu".

Suatu hari, Nabi Musa melewati sebuah padang rumput dalam perjalanannya menuju kota. Dia melihat si gembala itu sedang duduk di samping ternak gembalaannya sambil menengadahkan wajahnya ke atas, dan menyeru Tuhan, "Di manakah Engkau, agar bisa kujahitkan pakaian-Mu, kutambal kaus kaki-Mu, dan kusiapkan tempat tidur-Mu? Di manakah Engkau, agar bisa kusisir rambut-Mu dan kucium kaki-Mu? Di manakah Engkau, agar bisa kusemir sepatu-Mu dan kubawakan susu dan minuman-Mu?"

Nabi Musa menghampiri dan bertanya kepada si penggembala tersebut, "Siapakah yang sedang engkau ajak berbincang-bincang?"

"Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan yang menguasai siang dan malam, langit dna bumi", jawab sang penggembala.

Nabi Musa benar-benar marah mendengar jawaban si penggembala itu. Dia lalu berkata, "Berani-beraninya engkau berbicara kepada Tuhan seperti itu! Engkau sudah menghujatNya! Sumpal saja mulutmu jika engkau tidak bisa mengendalikan lidahmu, agar tak seorang pun mendengar ucapanmu yang menghina dan meracuni udara ini. Jangan berbicara seperti itu lagi, nanti Tuhan akan mengutuk seluruh manusia karena dosamu!".

Si gembala langsung bangkit begitu mengetahui kehadiran sang Nabi, sambil berdiri gemetar. Dengan berurai air mata, dia mendengarkan ucapan Nabi Musa, "Apakah Tuhan itu manusia, sehingga Dia memakai sepatu dan kaus kaki? Apakah Dia seorang bocah yang memerlukan susu dan membuatNya tumbuh besar? Tentu saja tidak! Tuhan amat sempurna dalam diriNYa sendiri, sama sekali tidak membutuhkan apa pun. 

Dengan berbicara seperti itu kepada Tuhan, engkau bukan saja merendahkan dirimu sendiri tetapi juga seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Engkau tak lain adalah penentang agama dan musuh Tuhan! Pergi dan mohonlah ampunan kepada-Nya, jika engkau masih sadar dan waras!"

Sang gembala yang sederhana dan lugu sama sekal tidak mengerti bahwa ucapannya kepada Tuhan sungguh kasar dan kurang ajar. Dia jgua tidak paham, mengapa sang Nabi menyebutnya sebagai musuh. Namun, dia tahu bahwa seorang Nabi utusan Tuhan pastilah lebih tahu ketimbang orang lain.

"Engkau telah membakar jiwaku. Mulai sekarang aku akan diam dan tutup mulut", kata si gembala kemudian, sambil terisak-isak.

Setelah itu dia juga meninggalkan hewan-hewan gembalanya dan berjalan menuju padang pasir. Dengan perasaan bangga karena telah meluruskan jiwa yang sesat. Nabi Musa melanjutkan perjalanannya ke kota.

Di saat inilah Allah menegurnya, "Mengapa engkau mengusik-Ku dan hamba setia-Ku? Mengapa Engkau memisahkan pecinta dari sang Kekasih? Aku mengutusmu untuk untuk mempersatukan manusia, dan bukan mencerai-beraikannya".

Nabi Musa mendengarkan kata-kata Tuhan dengan penuh takzim dan perhatian. Tuhan melanjutkan firman-Nya, "Aku tidak menciptakan dunia ini untuk mengambil manfaat darinya. Seluruh ciptaan ini hanyalah untuk kepentingan makhluk. Manusialah yang beroleh manfaat darinya.

Ingatlah bahwa dalam cinta, kata-kata hanya kulit luar dan tidak berarti sama sekali. Aku tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau susunan kalimat. Aku hanya memperhatikan keadaan hati. Dengan begitu, Aku mengetahui ketulusan makhluk-makhlukKu, seklipun kata-katanya mungkin tidak bagus.

Sebab, mereka yang terbakar oleh cinta sesungguhnya telah membakar kata-kata mereka sendiri".

Begitulah, Tuhan mengajarkan segenap rahasia cinta kepada Nabi Musa. Kini dia sadar akan kesalahannya, dan menyesali kemarahannya. Karena keinsyafan ini dia bergegas mencari si gembala itu untuk meminta maaf kepadanya.

Selama berhari-hari Nabi Musa mengarungi padang rumput dan gurun pasir. Dia bertanya kepada orang-orang yang ditemuinya, kalau-kalau diantara mereka ada yang pernah melihat si penggembala kambing yang sedang dicairnya. Celakanya, setiap orang yang ditanya, memberikan jawaban yang berbeda-beda.

Pada suatu hari, ketika hampir putus asa mencari, akhirnya Nabi Musa AS menemukan si gembala tersebut di dekat sebuah mata air dengan pakaian compang-camping dan usang. Rupanya dia sedang duduk merenung dalam-dalam, dan tidak melihat kedatangan Nabi Musa AS yang sudah lama memperhatikannya.

Tetapi akhirnya, sang gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat Nabi Musa AS. "Aku punya pesan untukmu, sangat penting. Tuhan telah berfirman kepadaku, bahwa tidak perlu ada sopan santun atau tatakrama bagimu untuk berbincang-bincang dengan Tuhan.

Engkau ebbas berbicara kepadaNya dengan cara yang engkau sukai, dengan kata-kata pilihanmu sendiri. Sebab yang kukira sebagai penghujatan sesungguhnya akidah cinta yang menyelamatkan dunia", kata Nabi Musa AS.

Sang gembala itu menjawab dengan enteng, "Aku telah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku kini diterangi oleh kehadiranNya. Aku tak bisa menjelaskan keadaan yang kualami kepadamu. Aku juga tak bisa menggambarkannya kepada orang lain".

Setelah berkata seperti itu, si gembala kemudian bangkit dan melanjutkan perjalanannya. Nabi Musa AS melihat sosok gembala yang pergi meninggalkannya, hingga dia tidak lagi melihatnya.

Kemudian Nabi Musa pergi menuju kota terdekat dengan perasaan sangat kagum oleh peralajaran yang diterima dari seorang hamba yang sederhana, lugu, dan tak berpendidikan.



Suganda, Mawan. 2006. Majalah Misteri Edisi 408. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.