MEMBURU BUAYA JELMAAN AJI KAHAR
Gambar oleh Clker-Free-Vector-Images dari Pixabay

Cerita mistis ini berawal dari sebuah kampung di Padang Lawas, Gunung Tua. Kampung yang subur makmur, kemana pun mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan sawah menghijau. Ternak-ternak sehat dan penduduknya hidup rukun dan damai.

Memburu Buaya Jelmaan Aji Kahar - Sekitar tahun 1950-an, di salah satu sudut kampung ini tinggal seorang pria paruh baya yang kaya raya menurut ukuran kampung setempat pada waktu itu. Orang kampung memanggilnya dengan nama Aji Kahar.

Aji Kahar adalah seorang pekerja keras dan pantang menyerah. Berkat kerja kerasnya inilah pria itu jadi kaya raya. Dia punya sawah yang sangat luas, kerbau yang amat banyak. Berkat kekayaannya setiap hari selalu bertambah melimpah. Namun celakanya, Aji Kahar tetap merasa dirinya miskin.

Walaupun hartanya banyak, dia tetap merasa kekurangan. Bahkan dia tak segan-segan kerap mengakui kerbau orang yang tersesat di sawah atau ladangnya sebagai kerbau miliknya. Untuk mengelabui para pemilik kerbau, Aji Kahar sengaja memotong ekor kerbau yang menjadi miliknya. Biasanya, ketika kerbau orang lain berbaur dengan kerbau miliknya, maka Aji Kahar segera memotong ekor kerbau pendatang itu.

Seterusnya Aji Kahar mengakui kalau kerbau itu adalah hak miliknya. Dia tak memperdulikan orang-orang yang menentang perbuatannya yang culas dan licik ini.

"Kerbau ini pasti milikku. Lihat saja ekornya buntung kan? Di seluruh kampung ini hanya aku yang punya kerbau degnan ekor-ekor yang buntung!" Kalimat ini selalu diucapkan oleh Aji Kahar dengan nada tinggi apabila ada orang yang mengakui kerbaunya.

"Bukan begitu Pak Aji, itu jelas kebauku, aku lihat dengan jelas, dia tadi berbaur dengan kerbau milik Bapak", jawab orang yang kehilangan kerbau.

"Aku tak peduli itu, yang jelas setiap kerbau yang puntung ekornya, itu pasti milikku", katanya dengan nada yang lebih tinggi lagi.

Perdebatan seperti ini kadang berlangsung dengan sengit, namun Aji Kahar tetap pada pendiriannya yang salah. Karena tak sanggup menghadapinya, orang sekampungnya itu hanya memilih mengalah. Namun di hatinya paling dalam, mereka menyumpahi Aji Kahar yang tamak itu.

Demikianlah ulah Aji Kahar dari waktu ke waktu. Dikisahkan pula bahwa daerah tempat tinggal Aji Kahar ini dibelah oleh sebuah sungai besar bernama sungai Barumun, yang alirannya menuju Labuhan Bilik. Sungai Barumun yang indah itu meliuk-liuk dan bermuara ke Labuhan Bilik. Semakin ke hilir semakin lebar.

Hari berganti hari, bulan dan tahun terus melaju. Aji Kahar makin kaya raya saja. Tapi, ketamakannya kian menjadi-jadi.

Ada kehidupan tentu ada juga kematian. Dan ketika Aji Kahar meninggal dunia di sinilah fenomena mistis itu terjadi.

Suatu malam, sehari setelah kematiannya, disebutkan bahwa Aji Kahar bangkit dari kuburnya. Mayatnya yang mendadak hidup itu lalu pergi ke Sungai Barumun, untuk kemudian berubah wujud menjadi seekor buaya.

Kabarnya, dia sering meliuk-liuk di antara semak belukar di pinggir sungai, terus bergerak menuju hilir. Jalannya akan selalu menyisakan air yang berombak besar.

Dikisahkan pula, sesaat setelah mayat Aji Kahar berubah menjadi buaya jadi-jadian dan terjun ke Sungai Barumun lalu berenang menuju hilir, maka sesampainya di Tanjung Kupiah, terdengar suara jeritan silih berganti. Buaya jejadian itu ibarat monster. Dan sejak itulah dia gemar memangsa tiap orang. Bahkan menurut cerita masyarakat setempat, buaya ini sangat menyukai manusia "berdarah manis".

Kisah yang Kami peroleh dari orang tua asli penduduk Labuhan Bilik mengatakan, "Aji Kahar dulunya menuntut ilmu hitam, dia berwasiat, ketika meninggal jasadnya agar di siram dengan air kelapa. Nah, agaknya wasiat itu dilupakan oleh ahli warisnya. Maka karena itulah setelah mati Aji Kahar berubah wujud jadi buaya jadi-jadian", ujarnya.

Buaya jadi-jadian Aji Kahar memang kerap mengganas. Beberapa daerah di Labuhan Bilik penduduknya pernah diteror keresahan akibat ulah buaya siluman ini. Sebut saja seperti Desa Tanjung Kupiah, Tanjung Sarang Olang, Sungai Rakyat dan daerah lainnya.

Memang, peristiwa berubahnya mayat Aji Kahar menjadi buaya itu terjadi sekitar lima puluhan. Penduduk makin meyakini buaya itu jelmaan Aji Kahar karena kuburannya bolong dan selama hidupnya Aji Kahar dikenal sebagai orang yang tamak.

Tak hanya itu, Aji Kahar disebut-sebut sebagai penganut ilmu hitam. Apalagi diperkuat lagi kemunculan buaya jadi-jadian itu terjadi sejak Aji Kahar meninggal dunia.

Daerah Labuhan Bilik adalah daerah pantai. Setiap pagi, para penduduk, khususnya kaum ibu rumah tangga, selalu mencuci pakaian. Sudah menjadi kebiasaan di sela-sela mencuci, mereka sering bersenda gurau, saling tukar cerita, dan diakhiri dengan tawa cekikian.

Bila di antara mereka ada seorang wanita yang akan menikah, tentu saja banyak nasihat, atau lelucon yang dilontarkan padanya. Seperti yang terjadi beberapa waktu silam terhadap Intan (bukan nama sebenarnya), dara yang memang akan segera menikah. DIa hanya senyum-senyum saja mendengar gurauan para ibu yang terus mengolok-oloknya.

"Malam pertama hati-hati Tan! Jangan keseleo pinggangnya", kata seorang ibu.

Yang alin menimpali, "Tan, yang di bawah perut tuh sering-sering dibersihkan, biar keset"

"Kalau suamimu pulang, jangan lupa buatin kopi, harus perhatian, kalau udah diambil hatinya, tiap malam, wuih enak sekali", seloroh ibu muda yang mencuci dekat intan.

Sesaat kemudian terdengar suara tawa memecah. Mereka pun ramai-ramai menyirami Intan hingga basah kuyub. Pakainnya yang transparan itu kian menampakkan lekukan tubuhnya yang menawan.

Muka Intan merah padam, malu, namun hatinya bahagia. Mengapa tidak, lelaki yang menyunting dirinya adalah cinta pertamanya. Para keluarga sudah berembuk, akhir pekan nanti pesta pernikahan antara Intan dengan pria idamannya akan digelar.

"Intan, kamu jangan sering di luar. Wanita yang akan menikah itu termasuk darah manis", ujar wanita paruh baya menghentikan gelak tawa mereka. "Lekas selesaikan mencucinya, dan segera pulang!"

"Ya, Mak!" ujar Intan sambil segera mengemasi cuciannya. Bergegas dia naik ke darat.

Namun sebelum Intan berhasil mencapai tepi sungai berbatu itu, mendadak suatu peristiwa terjadi. Keceriaan yang menwarnai pinggir sungai itu pun berubah menjadi histeris.

Tiba-tiba air bergelombang ebsar. Disusul kemudian dengan sambaran ekor buaya yang telak mendarat di punggung Intan, si calon pengantin baru. Semua terperangah. Setelah Intan jatuh ke dalam air, seekor buaya itu muncul dari dalam sungai, menggulung tubuh Intan dan membawanya pergi.

Jeritan histeris menggema di pagi hari itu. Air jernih berubah merah dan berbau amis. Intan hilang bersama riak air yang kian tenang. Isak tangis terdengar menyayat hati. Sontak saja, keadaan aman di Labuhan Bilik berubah riuh.

Buaya Aji Kahar telah menelan korban! Demikian berita yang beredar.

Raut wajah penduduk desa tampak sendu, apalagi yang menjadi korbannya adalah wanita calon pengantin. Sungguh peristiwa yang menyembilu hati.

Musyawarah desa langsung digelar. Bagaimana menangkap buaya jahat jelmaan Aji Kahar itu secepatnya, itulah agenda utama rapat. Memanggil pawang! Ya, secepatnya pawang dicari.

Semangat kegotongroyongan dan kerjasama terlihat jelas di tengah denyut kehidupan warga Labuhan Bilik. Mereka sama-sama mencari pawang buaya, hingga ke berbagai daerah. Ada dari Kampung Masjid, Tanjung Ladang, hingga sampai ke kota kerang, Tanjung Balai.

Para pawang akhirnya berdatangan. Acara penaklukan buayapun digelar. Berbagai mantra dan upacara diadakan untuk menangkap buaya jadi-jadian itu.

Namun, tak mudah menangkap buaya jelmaan Aji Kahar. Bahkan, sang buaya justru kian merajalela. makin banyak korban yang bertumbangan. Bukan hanya calon pengantin baru, semua di mangsa tanpa pandang bulu. Saat itu, buaya jelmaan Aji Kahar bagai monster pencabut nyawa, menyantap manusia tanpa ampun. Kemunculannya selalu tak terduga. Bisa pagi, siang, sore, dan malam.

Melihat keadaan ini, bukan hanya tenaga pawang yang diturunkan, bahkan pasukan keamanan juga ikut membantu. Sampan meisn polisi lengkap dengan senapan ikut memburu. Namun, di mana buaya jelmaan Aji Kahar itu berada?

Semuanya seakan tak berguna. Buaya jejadian itu terus mengamuk. Hingga perburuan besar-besaran dilakukan.

Menurut sumber Kami, wujud dari buaya itu sangat mengerikan. Panjangnya enam meter, lain dari buaya umumnya. Kulitnya hitam legam, sementara ditengkuknya terdapat gerigi berbentuk tebal.

Peristiwa akbar nan berdarah itu terus berlangsung, hingga hitungan tahun. Para pawang kian bekerja keras untuk menundukkan buaya itu. Berbagai cara dilakukan, menabur bunga ke sungai, membacakan mantra, membujuk buaya, hingga memburunya pakai senapan. Buaya Aji Kahar belum juga berhasil ditundukkan. Selama peristiwa itu, Labuhan Bilik terasa mencekam. Para warga dicekam ketakutan yang luar biasa.

Hingga akhirnya ada seorang pawang buaya yang berasal dari Tanjung Balai, di undang ke Labuhan Bilik. Acara ritual pun digelar. Bersama pawang yang berasal dari kota kerang ini, para penduduk Labuhan Bilik menyisir pinggiran Sungai Barumun. Pawang buaya itupun mengerahkan ilmu yang dimilikinya. Memancing agar buaya itu keluar dari tempat persembunyian.

Sampai berhari-hari penampakan buaya Aji Kahar itu belum ada. Walaupun demikian, mereka tetap melakukan pencarian dengan tenaga pawang.

Pawang yang memburu buaya Aji Kahar itu membawa rotan yang dibulatkan. Menurutnya, untuk menundukkan buaya itu, harus menggunakan rotan.

Sampailah pada suatu siang, di sebuah tikungai sungai, pawang buaya melihat ada buih-buih air berserakan. Tiba-tiba, dari dasar sungai, seperti ada yang meniupkan udara.

Mulut pawang itu kian komat-kamit membacakan mantranya. Dari dasar sungai, seekor buaya yang menyeramkan akhirnya meloncat, ingin memangsa para penduduk yang menyertai pawang itu. Saat itulah, sang pawang melingkarkan rotan ke leher si buaya. Terdengar suara ringkihan panjang. Buaya jelmaan Aji Kahar itu lemas! Berama rotan yang melingkar di lehernya, buaya itu ditarik ke Labuhan Bilik.

Oleh warga dan pawang mulut buaya itu dingangakan. Mendadak, aroma busuk keluar dari mulutnya. Buaya itu dibelah dan didalamnya terdapat rambut-rambut manusia dan batu seberat dua puluh kilogram.

Sejak tertangkapnya buaya jejadian penjelmaan Aji Kahar, suasana di kawasan Labuhan Bilik tenang kembali. Namun kejadian menegangkan itu tetap ada di benak masyarakat hingga kini, bahkan kemudian menjadi sebuah legenda mistis dari tanah Labuhan Bilik. Kisan beraroma msitis yang memang sulit untuk dilupakan dengan begitu saja.



Sastro, Ki Rahman. 2006. Majalah Misteri Edisi 408. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.