KESAKSIAN SEORANG SARJANA PERTANIAN: AKU BERCINTA DENGAN ULAR SILUMAN
Gambar oleh Виктория Бородинова dari Pixabay

Kisah percintaan antara manusia dengan makhluk halus sungguh merupakan perkara yang tak masuk akal. Namun apa yang diceritakan lelaki muda bernama Ir. Bagja Erawan ini merupakan pengalaman unik dan menarik, yang mungkin sekali bisa mengubah pandangan tersebut. Ya, apa yang sebelumnya dianggap tak masuk akal, bahkan mustahil sekalipun, toh bisa saja terjadi di jagat kehidupan yang penuh dengan kejadian-kejadian tak terduga ini.

Kesaksian Seorang Sarjana Pertanian: Aku Bercinta Dengan Ular Siluman - Pria lajang yang tampan dan lumayan kaya untuk ukuran lingkungan tempat tinggalnya ini adalah penduduk sebuah desa di Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung, Jawa Barat. Kepada Kami dia mengaku dengan bersumpah bahwa dirinya pernah melakukan hubungan percintaan dengan makhluk halus.

Bagja mengakui walau tiga tahun peristiwa musykil itu telah berlalu, namun hingga kini wajah wanita cantik itu masih kerap terbayang di pelupuk matanya. Dia juga masih teringat bagaimana gairah dan cumbu rayu serta kehangatan tubuh wanita jelita yang ternyata penjelmaan dari ular siluman itu membuatnya terbuai.

"Bersamanya, surga dunia itu kuarungi dengan penuh kebahagiaan", desah Bagja dengan sorot mata menerawang jauh. Lalau, dengan mendetil dia menuturkan kisahnya. Berikut ringkasan penuturan Bagja yang kami sajikan dalam bentuk pengakuan.

Aku sudah dua tahun lulus sebagai Sarjana Pertanian dari sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di Bandung. Namun ilmu yang kupelajari dengan susah payah selama lima tahun itu, nyaris tak bermanfaat, karena memang belum bisa kuaplikasikan dengan sesungguhnya. Maklum saja, untuk mencari bidang pekerjaan yang ada hubungannya dengan dpertanian, dewasa ini memang sangatlah susah. Apalagi aku masih senang disuapi orang tua. Keluargaku memang tergolong cukup berada di lingkungan tempat tinggalku. Ayah memiliki lima buah toko kelontong yang tersebar di Kota Bandung. Bisa dibayangkan, setiap harinya menghasilkan keuntungan yang tidak kecil.

Karena perekonomian keluarga yang serba berkecukupan, maka aku juga menjadi anak yang manja. Apalagi, aku juga anak semata wayang. Ibaratnya, ingin apapun pasti ayah dan ibuku mengadakannya.

Suatu contoh, ayahku pernah memberi modal yang cukup besar untuk membuka usaha percetakan dan sablon. Namun karena aku tidak tekun dan kurang menguasai bidang tersebut, maka usahakupun kandas di tengah jalan.

Setelah gagal dengan usaha percetakan aku sepertinya ogah unutk mencoba usaha di bidang yang lain. Padahal ayahku berjanji akan memodaliku lagi untuk membuka usaha lain. Ya, misalnya saja membuka warung atau toko serba ada. Ayahku sering bilang, "Berkali-kal jatuh dalam berusaha itu hal yang biasa. Yang penting kau harus bangkit kembali dan jangan mengeluh. Berkali-kali kita gagal, ulangi kembali dan cari akal".

Kendati ayah memberi motivasi seperti itu aku tetap tak mau mencoba berbisnis lagi. Bagiku dunia bisnis tidak memberi daya tarik sama sekali.

Namun karena tidak melakukan kegiatan yang sifatnya produktif, lama kelamaan kejenuhan juga menyerang otakku. Ya, karena lama menganggur membuatku jadi depresi. Setiap hari kerjaku hanya membaca buku-buku roman dan novel picisian, atau memutar video porno. Bahkan kadang-kadang tak jarang begadang sampai jauh malam bersama teman-teman.

Meskipun demikian, sampai sejauh ini, aku tidak terperosok ke jurang yang nista. Ya, aku selalu menghindari minuman keras, narkotik dan perempuan. Di hatiku masih ada setitik iman.

Suatu ketika, datang seorang teman sewaktu kuliah mengajakku joint membuka lahan pertanian di daerah Bandung Selatan. Aku sangat tertarik dan kunyatakan bersedia bekerjasama dengannya.

Temanku yang sebut saja bernama Nandang itu amat berambisi menjadi petani cabai yang sukses. Katanya, di desa Rawabogo, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, dia mempunyai lahan pertanian seluas 5 hektar, yang merupakan warisan orangtuanya. Dia berniat lahan ini akan ditanami cabai jenis "hot beauty".

"Asal kau mau kerja, tak usah mengeluarkan uang, kita bertanam cabai. Modalnya jangan khawatir, kau tahu sendiri aku kini jutawan ha.. haa..ha..!" Nandang tertawa ngakak.

Dia lalu menceritakan bahwa ayahnya beberapa bulan yang lalu telah berpulang ke Rahmatullah. Ibunya sendiri sudah lama meninggal. Secara kebetulan Nandang juga merupakan anak tunggal. Sama seperti diriku.

Akhirnya, aku sungguh-sungguh bekerja sama dengan Nandang. Saat aku diajak meninjau lokasi, ternyata sebagian besar lahan yang untuk ditanami cabai hot beauty itu masih berupa hutan belukar yang sangat lebat. Tentu saja harus dibabat habis dulu agar bisa ditanami.

Aku nyaris putus asa memikirkan bagaimana sulitnya merombak hutan menjadi kebun cabai yang subur. Ketika hal ini kukemukakan kepada Nandang, dia hanya tertawa ngakak.

"Kenapa harus pusing! Kita kan bisa membayar tenaga orang untuk membabat hutan belukar itu", katanya.

Dengan semangat sangat tinggi, kami mempekerjakan beberapa orang untuk membersihkan lahan yang akan kami tanami. Hanya dalam waktu satu bulan, sekitar 3 hektar hutan itu telah berhasil dibersihkan.

Dengan demikian tinggal kurang lebih satu hektar lagi. Puluhan petani setempat yang kami upah bekerja keras membabat hutan.

Aku sendiri kagum pada semangat Nandang yang sepertinya pantang menyerah. Mungkin karena semangatnya maka aku pun juga terbawa bergairah dalam bekerja. Bahkan, hampir setiap malam aku tidur di saung atau gubuk yang sengaja dibikin Nandang di tengah hutan itu. Dan entah mengapa aku betah tinggal di sini.

Setiap hari, aku mendapat tugas ngaliwet (memasak nasi). Nasi yang kutanak ini selalu mendapat pujian dari Nandang. Katanya, setiap menyantap nasi liwetku, dia teringat sewaktu kecil, saat menjadi santri di sebuah pesantren. Setiap hari dia selalu membuat nasi liwet.

Singkat cerita, sampailah pada suatu malam. Jika tak salah ingat, waktu itu malam ke-27 aku bersama Nandang membabat hutan. Seperti biasa aku tidur di saung bersama Nandang dan dua orang petani yang pada siang harinya ikut membabat hutan.

Pas tengah malam aku terjaga. Kulihat arlojiku menunjukkan pukul 24.00 WIB.

Sementara, Nandang dan kedua petani itu tertidur pulas. Aku duduk dekat pintu saung. Malam terasa semakin panjang dan tak bertepi. Kulayangkan pandanganku ke hutan yang belum terambah. kulihat seribu kunang-kunang seperti berlomba mendatangiku. Lalu, kulihat ada gerakan asap putih tipis perlahan-lahan keluar dari hutan itu.

Aneh sekali! Di tengah asap putih tipis itu kulihat ada cahaya lembayung berbaur dengan warna kuning emas. Aku terpesona. Mataku tak berkedip menatapnya. Asap putih itu kemudian makin lama semakin tebal. Dan tak lama kemudian asap yang indah itu menjelma menjadi sesosok perempuan yang sangat cantik Aku kaget bercampur kagum. Sesaat kemudian kulihat dia seperti melayang. Ya, makhluk teramat cantik itu menghampiri diriku.

"Kang Bagja...!" Sapanya dengan senyum di bibirnya yang mungil.

Aku heran, darimana dia tahu namaku? Namun aku tak peduli. Seolah terhipnotis oleh kecantikannya, tanpa rasa takut sedikitpun aku bangkit perlahan-lahan dan menghampiri wanita jelita itu.

Demi Tuhan, kecantikannya begitu sempurna. Lesung pipit yang menghiasi pipinya saat tersenyum, ditambah tahi lalat yang melekat di ujung dagunya membuat aku makin terpesona. Tak hanya itu, suaranya yang empuk terdengar bagai buluh perindu. Bau harum bunga kenanga bercampur kemenyan putih tercium dari jauh.

Sesaat aku seolah tersadar dari keterpesonaanku. Aku menggosok-gosok mataku. Tapi ternyata ini bukan mimpi.

"kang Bagja mari kita pergi!" Ajaknya dengan suara lembut menggoda.

Tanpa menanti jawabanku, wanita cantik itu meraih tangan kiriku. Anehnya, seperti kerbau dicucuk hidungnya aku mengikuti saja langkahnya.

Sesaat keanehan menyerang otakku. Saat dia mengajakku melangkah, aku merasa berjalan dengan terbang menuju hutan itu. Ya, ternyata aku dibawa ke rumah mungil yang temaram. Rumah dan seluruh isinya kelihatan serba putih. Aku duduk di kursi antik yang tersedia di ruang depan.

Sambil tak melepaskan senyumnya, mojang geulis itu duduk di sisiku. Tubuhnya yang harum menebarkan aroma yang aneh semakin melambungkan kesadaranku, sehingga aku tak bisa mengontrol lagi apa yang sesungguhnya terjadi.

Beberapa saat setelah kami duduk saling merapatkan tubuh, dengan suara lembutnya dia kemudian memperkenalkan dirinya dengan nama Nyai Centring Manik. Dia mengaku sudah lama tinggal di tempat ini. Hanya seorang diri.

Anehnya, aku tak berkata walau sepatah katapun. Sukmaku entah di mana. Mungkinkah aku sedang berada di alam lain, karena kulihat rumah ini serba putih dan sejuk. Bahkan, kulihat pakaian yang dikenakan Nyai Centring Manik juga warnanya putih kekuning-kuningan. Hanya lehernya terbelit syal warna hitam.

Mungkin karena aku diam membisu, Nyai Centring Manik menatapku. Kedua matanya bagaikanmatahari kembar. Sinarnya serasa sampai menyentuh dasar hatiku. Aku merasa ada hawa hangat mengalir di seluruh tubuhku. Di saat yang sama kulihat tubuh Centring Manik ternyata hanya dibalut kain putih tipis yang tembus pandang.

Darahku berdesir. Baru kali ini aku terpesona melihat wanita. Di usiaku yang telah 27 tahun ini aku belum pernah menyentuh wanita. Pacarpun aku tak punya. Teman-teman kuliahku sering mengejekku sebagai laki-laki banci, karena takut mendekati wanita.

Kini aku sungguh-sungguh terpesona dan sekaligus jatuh cinta pada wanita yang tinggi semampai dan selalu menebar senyum ini. Seolah dapat membaca gejolak batinku, Nyai Centring Manik perlahan-lahan membuka pakaiannya. Di saat yang sama tubuhku serasa terserang demam mendadak.

Lalu...

Dengan lemah lembut wanita jelita itu merengkuh tubuhku. Aku tak ingat berapa lama kami bermain cinta. Yang pasti, saat terjaga, dari sela-sela jendela kamar kulihat mega-mega tersenyum dalam kebahagiannya. Tak lama kelihatan ada mendung merah menyelimuti bumi. Perlahan-lahan Nyai Centring Manik menggeliat melepaskan dirinya dari dekapanku.

Senyum masih menghias bibirnya yang merah merekah "Kang Bagja terima kasih!" Katanya dengan suara lembut.

Aku membisu. Dan memang tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Sepanjang malam itu aku bermandi cinta bersamanya. Terasa ada benda lemas dan berat melepaskan diri dari badanku. Mataku terbelalak melihat wujud bagian bawah tubuh Nyai Centrik Manik. Demi Tuhan, ternyata tubuh itu bersisik! Namun, di mataku sisik ular berwarna putih kekuningan ditambah garis hitam pekat itu justru menambah kecantikan Nyai Centring Manik. Bahkan, ketika ular berkepala wanita jelita itu menggelosor pergi dari sisiku, sukmakupun seakan ikut bersamanya.

"Nyai jangan tinggalkan aku!" pekikku, penuh permohonan. Tapi suaraku terdengar hanya seperti rintihan.

Sampai hilangnya Nyai Centring Manik dari hadapanku, setelah tubuhnya yang gemulai itu meliuk-liuk di balik kerimbunan semak, mataku tetap tak berkedip. Tapi anehnya, tak ada rasa takut sedikitpun di hatiku. Yang terjadi justru sebaliknya. Aku merasa sangat kehilangan dirinya. Ya, serasa ada barang milikku yang sangat berharga, yang mendadak hilang dari sisiku.

Pagi bagai hilang dalam keganasan sang surya. Keheningan merebak. Di bawah mentari pagi, keheningan itu bagaikan makhluk putih, mengkilat, untuk kemudian redup. Masuk ke kerajan cinta di seberang jagat raya. Oh, mata bintang dan wajah rupawan yang selalu menebarkan senyum itu tak bisa lepas dari pelupuk mataku.

Namun, kantuk menyerangku dengan ganasnya. Aku tertidur pulas. Ketika kesadaran bertengger di hatiku, aku terkejut karena ternyata di sekelilingku tampak temanku, Nandang, bersama beberapa orang petani yang setiap hari bekerja merambah hutan. Mereka menatapku penuh keheranan.

"Bagja kenapa kau tidur di sini?" Tanya Nandang dengan wajah cemas.

Aku tersipu malu, karena aku tidur di atas seonggok tanah kuburan. Bagaimana ini bisa terjadi?

Sebelum kesadaranku kembali memenuhi otakku, aku dibawa ke saung. Pakaian yang basah kuyup karena embun pagi, cepat-cepat kuganti.

Setelah kesadaranku datang sepenuhnya aku bercerita tentang kejadian tadi malam. Semua orang yang mendengar kisahku, termasuk Nandang, nampak sangat terkejut.

Akhirnya, dari salah seorang sesepuh di tempat itu, aku mendapat penjelasan bahwa di hutan yang belum terjamah itu memang ada sebuah kuburan kuno. Konon, kabarnya hutan itu tempat bersemayam siluman ular yang bernama Nyai Centring Manik. Siluman itu sering menampakkan dirinya dengan wujud ular berkepala wanita jelita. Namun, dia tidak pernah mengganggu manusia. Hanya kadang-kadang dia memang tertarik dan jatuh cinta kalau ada jejaka tampan yang kebetulan lewat di hutan tersebut. Dan, kuburan tempat aku tidur itu katanya tempat peraduan Nyai Centring Manik.

Lama aku merenung. Kehangatan dan gairah cinta ular siluman yang jelita itu masih sangat terasa. Aku bahkan tak peduli, apakah dia siluman atau bukan. Andai dia datang lagi kepadaku, akan kusambut dengan tangan terbuka. Namun sampai kebun cabai itu berkali-kali dipanen, Nyai Centring Manik tak pernah lagi menampakkan dirinya. Oh, aku rindu kepadamu, Nyai Centring Manik.



Sukandar, Tarlin. 2006. Majalah Misteri Edisi 408. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.