BERTEMU MAKHLUK PENGHISAP DARAH PENUNGGU HUTAN LARANGAN
Gambar oleh Robert Balog dari Pixabay

Kisah menyeramkan ini terjadi di Kotawaringin Timur. Tepatnya di salah satu desa yang ada disana. Peristiwanya sendiri bermula ketika beberapa kawanku bermaksud membuka lahan penebangan baru di tengah hutan belantara yang jauh dari pemukiman Penduduk.

Bertemu Makhluk Penghisap Darah Penunggu Hutan Larangan - Karena lahan penebangan yang makin menipislah yang menyebabkan Rudih, Abdi dan Toro nekat mendatangi hutan belantara paling jauh yang pernah dijangkau para penebang kayu selama ini.

"Kau gila, Din! Untuk apa kita jauh-jauh datang ke sana? Daerah itu kan sudah dinyatakan terlarang oleh tetua kita!" protes Abdi.

Tapi Rudin tak menggubris "Aku sudah tahu. Itu sejak dulu dikatakan oleh nenek moyang kita. Tapi aku tak percaya. Aku sudah capek mendengar cerita-cerita yang tak jelas kebenarannya. Lagi pula untuk apa legenda seperti itu dipertahankan di tengah zaman modern sekarang ini? Itu sudah basi! Sudah bukan zamannya lagi!" Abdi geleng-geleng kepala. "Kau tidak takut dengan apa yang dikatakan tetua-tetua kampung kita? Siapapun yang masuk wilayah hitan itu tak pernah ada yang kembali!" Dia coba mempengaruhi Rudin.

Tapi Rudin tetap pada pendiriannya. Bahwa dia tak takut dengan apapun. Bahwa semua cerita-cerita itu hanya omong kosong belaka. Tahayul! Bagi Rudin, mungkin saja cerita itu hanya dihembuskan oleh orang-orang yang ingin menguasai hutan itu dan tak ingin dijamah orang lain.

"Kalau kalian tak mau ikut, ya terserah. Aku tak memaksa. Tapi coba kalian pikir, hutan itu hutan tak terjamah, yang menyimpan kayu besar-besar, tinggi-tinggi, dan mungkin ribuan kubik jumlahnya. Kita bisa kaya kalau kita merambahnya", kata Rudin bersemangat. "Lagipula siapa yang pernah masuk ke sana? Mana ada yang pernah kembali dari sana, karena memang tak pernah ada yang ke sana", dia menambahkan.

Abdi terdiam. Kalau dipikir-pikir kata-kata Rudin betul juga. Selama ini semua tetua-tetua di kampung hanya dicekoki oleh cerita mistik mengenai hutan belantara itu, tanpa ada kepastian benar apa tidaknya. Bahkan tidak ada yang tahu siapa yang menghembuskannya hingga cerita itu begitu melegenda.

"Kalau begitu aku ikut denganmu", kata Toro yang semenjak tadi diam.

Rudin memandang Abdi. "Bagaimana dengan kau, Abdi? Apakah kau mau ikut denganku atau mau bekerja sendirian?"

"Aku ikut", kata Abdi meski dengan sikap ragu-ragu.

Akhirnya terjalinlah kesepakatan mereka akan merambah hutan larangan itu. Mereka sama sekali tak tahu jika apa yang dilakukan justru mendatangkan bahaya dikemudian hari.

Setelah tiga hari sejak kesepakatan itu, Rudin dan kawan-kawannya bersiap untuk menjelajahi hutan belantara yang mereka tuju. Banyak bekal yang mereka bawa, di antaranya beras, ikan asin dan mie instant untuk persediaan selama berada di hutan.

Dua buah tenda yang terbuat dari terpal untuk mereka bermalam selama beberapa hari pun tak ketinggalan pula mereka bawa.

Untuk mencapai tempat yang dituju, mereka menjelajahi hutan lebat, semak-semak dan jalan setapak yang berbelok-belok.

Setelah mencapai penghujung jalan setapak yang jarak tempuhnya sekitar dua jam berjalan kaki, ketiganya berbelok ke arah kiri mengambil jalan memutar yang tak pernah dilalui oleh kebanyakan penebang.

Kalau penebang lain biasanya akan mengambil jalan setapak yang sebelah kanan untuk mencapai lokasi penebangan. Tapi mereka justru mengambil jalan ke kiri yang mau tak mau harus mereka tembus dengan membuat jalan baru.

Selama perjalanan itu parang mereka kibaskan untuk menebas semak-semak berduri agar mudah mereka lalui.

Tak terasa setelah satu jam berjalan ketiganya merasakan lelah yang teramat sangat. Untung saja ketiganya kini tak perlu lagi menebas semak-semak karena jalan yang mereka lalui telah lapang. Kini hanya pohon-pohon besar yang membentang di hadapan dan di belakang mereka. Semuanya tinggi menjulang bagaikan raksasa, membuat ketiganya terheran-heran.

"Luar biasa, tempat ini penuh dengan pohon-pohon besar! Ini akan membuat kita kaya!" ujar Rudin terperangah.

Kedua temannya pun tercengang tapi tidak berkata apa-apa. Mereka hanya terus melangkah mengikuti arah kaki Rudin.

Sampai suatu ketika Rudin berhenti tepat di depan tiga buah pohon raksasa yang letaknya berdampingan. Satu pohon yang letaknya di tengah tampak paling besar. Menjulang bagaikan raksasa yang di dampingi oleh dua pengawalnya.

Rudin meletakkan bekal yang mereka bawa. Lalu memandang kedua kawannya.

"Kita istirahat di sini. Ini perbatasan antara wilayah yang dilarang dan yang tidak", kata Rudin kepada dua rekannya. Lalu dia menyuruh kedua rekannya turut meletakkan barang bawaaan mereka.

"Kau yakin ini daerah perbatasan hutan angker itu?" bisik Abdi sedikit ngeri. Matanya memandang kian kemari meneliti segenap penjuru hutan yang sangat lebat, sehingga hanya sedikit sinar matahari yang mampu mengintip dari celah dedaunan.

"Ini kali pertama kita datang ke sini", kata Rudin bangga.

Toro berdecak-decak kagum. "Luar biasa! Sungguh aku tak menyangka kau seberani ini, Rudin!" Dia kemudian tertawa sambil mematahkan sebatang ranting lalu memukul-mukulkannya ke arah sekumpulan semut merah yang ada di bawah pohon.

Toro mematahkan lagi ranting berikutnya ketika tiba-tiba saja Abdi yang berdiri di sampingnya terkulai lemas.

"Hei, Abdi, kau kenapa!?" Toro terperangah Rudin menoleh kaget. Lalu cepat-cepat menyambut tubuh Abdi yang tiba-tiba pingsan dan membaringkannya di rerumputan.

"Kenapa dia?" Rudin bertanya bingung.

Toro tak kalah bingungnya "Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja dia begitu".

Belum habis rasa bingung mereka, Abdi tiba-tiba membuka matanya. Tapi dengan melotot. Matanya nyalang menatap ke atas, dengan tatapan liar. Lalu mulutnya menceracau.

"Pergi! Pergi kalian dari sini!" Suaranya parau. Abdi mengibas-ngibaskan tangan sambil sesekali menuding Rudin dan Toro.

Keduanya saling berpandangan.

Abdi masih terus menceracau menyuruh mereka pergi.

"Pergi! Pergilah kalau kalian masih ingin hidup!"

"Heh, apa kau bilang?" Rudin mengerutkan alis.

Tapi Toro cepat menyela, "Dia sepertinya sedang kesurupan!" bisiknya.

Rudin segera sadar, sesuatu memang sedang memasuki tubuh temannya.

"Kau bilang kami harus segera pergi dari sini, memangnya ada apa?" selidiknya. Dia berjongkok sambil mendekatkan telinganya ke arah Abdi yang sedang kesurupan.

"Kalian harus segera pergi karena dia akan terusik..." sahut Abdi yang masih kesurupan. 

"Dia? Dia siapa?" Desak Rudin.

"Sesuatu... sesuatu yang sedang terlelap selama ratusan tahun. Ya, sesuatu yang haus darah. Yang sedang meunggu-nunggu kedatangan manusia ke hutan ini. Dia akan terusik kalau kalian tidak cepat pergi..."

Rudin memandang heran ke arah Toro.

Abdi mengatupkan matanya kembali. Tangannya terkulai. Lalu dia sadar kembali. Matanya mengerjap-ngerjap.

"Aku...aku kenapa?" Dia bertanya bingung sambil menatap RUdin dan Toro bergantian.

"Kau baru saja kesurupan", kata Rudin. Senyumnya terlihat sinis. "Tapi kupikir kau cuma main-main untuk menakut-nakuti kami". Rudin lalu mengambil ransel yang tadi dia turunkan. "Sekarang tak ada waktu lagi untuk kita main-main. Kita hampir sampai. Ayo ikuti aku!"

Rudin berjalan duluan di depan memimpin dua temannya yang melangkah terseok-seok melewati ranting-ranting kecil.

Toro menyusul Rudin yang berjalan di depan, lalu berbisik, "Kau yakin kalau kesurupan Abdi tadi cuma main-main?"

"Kau lihat sendiri kan? Sejak semula dia yang paling keras menentang rencana kita!" kata Rudin sambil menoleh sekilas ke arah Abdi. Tampak Abdi berjalan santai dibelakang mereka sambil sesekali mengibaskan parangnya ke arah semak-semak di sampingnya.

"Kau begitu yakin. Aku justru berpendapat sebalinya. Dia serius. Ada sesuatu yang memperingatkan kita sebelum sampai ke tempat tujuan", kata Toro sambil menatap Rudin serius, sembari mensejajarkan langkahnya. "Aku belum pernah melihat Abdi bersikap aneh, jadi tak mungkin kalau di acuma berpura-pura!"

Rudin mengacuhkan saja ucapan itu dan terus berjalan di antara semak-semak yang rendah.

"Aneh. Di tempat ini tidak begitu banyak semaknya. Padahal ini di tengah hutan", kata Abdi sambil menebas-nebas tanaman perdu di sekitarnya. Namun, suatu ketika parangnya membentur sesuatu yang keras, yang mencuat di antara semak-semak. Parangnya bergetar sehingga tangannya berasa kesemutan.

Abdi segera menyarungkan parangnya, dan membungkuk untuk meneliti apa yang membentur parangnya itu.

"Kau sedang melihat apa, Abdi?" tanya Rudin menghentikan langkah.

"Sebentar!" Abdi mengais-ngais di sekitar semak seperti mengambil sesuatu, lalu mengangkat tangannya sambil memperlihatkan sebuah benda panjang berwarna kekuning-kuningan.

"Ini dia bendanya, tapi aku tak tahu ini apa?" Abdi mengangsurkan benda yang ditemukannya ke arah Rudin.

Rudin yang penasaran segera mengambil benda itu dan menelitinya. Dahinya berkerut "Ini seperti tualng belulang manusia", desahnya pelan. Tapi dia sendiri tidak yakin.

Toro tiba-tiba membelalak. "Betul, ini tulang manusia!" Dia mengambil tulang itu dan mengamatinya. Matanya melotot. "Astaga! Berarti ada seseorang ke sini, dan ia mati!" Toro menggigil ketakutan. Begitu pula Abdi. Wajahnya langsung memucat!

"Artinya kalian menganggap hutan ini benar-benar angker? Begitu!?" Rudin melotot kesal. "Bisa saja dia mati karena dipatuk ular. Iya kan?".

Abdi dan Toro terdiam.

"Nah, sekarang terserah kalian saja! Kalian mau pulang juga silakan. Aku tetap bertahan di sini", kata Rudin sambil bersiap-siap beranjak.

"Tidak, kami tetap ikut kau, Din. Kita berangkat sama-sama. Pulangnya pun demikian", kata Abdi sambil melirik ke arah Toro. Dia melanjutkan, "Tapi yang aku tidak mengerti kau berani mempertaruhkan nyawa hanya demi sebuah areal hutan. Aku tidak mengerti apa yang ada di kepalamu itu. Kalau masalah rezeki ya, kenapa kita tidak cari daerah yang aman saja? Bukan begitu, Toro?".

Toro mengangguk.

Rudin meletakkan kembali ranselnya di atas tanah, lalu bersiul.

"Baiklah kalau begitu. Kalian sebenarnya kuajak kesini bukan karena masalah hutan. Itu cuma akal-akalanku saja, agar kalian mau ikut bergabung. Terus terang saja aku mengajak kalian ke sini adalah untuk mencari yang namanya BATARA KARANG!" Katanya dengan santai.

"Batara Karang?" Toro dan Abdi berseru berbarengan sambil melotot.

"Ya! Batara Karang! Sejenis boneka hidup yang kekuatan gaibnya bisa melebihi ilmu apapun, yang harganya bisa mencapai miliyaran rupiah juga dijual kepada kolektor. Kalian beruntung bisa ikut denganku, karena kita akan berbagi kekayaan jika ini berhasil". Rudin setengah membujuk.

"Gila!" Abdi ternganga. "Tapi dari mana kau tahu 'Batara Karang' itu ada di sini?"

Rudin tersenyum. "Aku mencuri dengar pembicaraan seorang Kyai yang mendapatkan petunjuk kalau benda keramat itu ada di sini. Dia di sekitar salah satu pohon yang ada di sini". Rudin menunjuki pohon-pohon yang ada di sekitar situ.

"Bisa jadi di pohon yang paling besar itu... atau mungkin di situ..." Dia menunjuki pohon-pohon besar satu-persatu lalu berjalan berkeliling meneliti keadaan sekitarnya.

Tak terasa hari menjelang sore. Rudin menyuruh teman-temannya untuk bersama-sama mendirikan tenda, sedang dia mempersiapkan masakan untuk makan malam.

Mereka makan dengan lahap, meskipun hanya berlauk ikan sarden.

Saat malam datang ketiganya bersiap-siap akan tidur, karena keesokan harinya mereka harus bangun pagi-pagi sekali untuk memulai pencarian.

Keesokan harinya saat mereka bangun pagi-pagi sekali, terjadi keanehan. Torolah yang pertama kali melihat kejanggalan itu!

Saat dia keluar dair tenda, matanya membelalak melihat sebuah kolam yang sangat bening membentang di hadapannya. Puluhan kali rasanya dia menggosok-gosok matanya namun pemandangan tidak berubah. Dia berteriak memanggil kedua temannya.

Rudin keluar tenda sambil menggosok-gosok matanya. "Ada apa? Pagi-pagi sudah teriak...?" Nmaun belum selesai dia berbicara matanya juga menatap kolam misterius yang ada di hadapannya. Dia pun terpana.

"Ya Tuhan! Mimpi apa aku semalam?" Geragap Rudin.

Kolam itu bening sekali airnya. Sejuk dan menyegarkan. Sedang di dasarnya terhampar bebatuan yang sangat indah. Beberapa di antaranya bahkan mengeluarkan sinar yang menyilaukan.

Rudin melihat tepian kolam itu ditumbuhi oleh rerumputan yang halus dan diselingi oleh bunga-bunga mekar berwarna putih. Sedang di dalam kolam sendiri terdapat ikan-ikan kecil berwarna-warni.

Toro tanpa sadar menelan ludah. "Indah sekali", gumamnya berbisik.

Tapi Rudin segera mencengkram pundaknya. "Kita harus waspada. Ini rasanya mustahil! Ini pasti ulan penghuni gaib hutan ini, Kita belum tahu apa maunya".

Tapi Toro sudha terlanjur terpikat.

"Ini benar-benar surga! Aku melihat surga!" Perlahan-lahan dia melangkah mendekati tepian kolam dan duduk di salah satu gundukan batunya. Matanya tak berkedip-kedip memandang ke dalam kolam. Anehnya dari dalam kolam muncul seorang wanita yang menghadirkan senyum memikat, rambutnya terurai panjang dengan gaun berwarna kuning keemasan. Dia memandang Toro maupun Rudin dengan matanya yang indah. Senyumnya yang memabukkan itu membuat Rudin berkali-kali menelan ludah. Apalagi Toro yang melongo di tempatnya duduk.

Dengan gayanya yang anggun dan tubuh yang putih mulus, dia naik di tepian kolam dan duduk di samping Toro, lalu berujar, "Kalian para manusia, ada apakah datang ke sini?" Suaranya merdu mendayu.

Toro duduk di tempatnya dengan gugup. Belum pernah dia bertemu wanita secantik ini!

"Ah maaf. Aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Mayang. Aku penjaga kolam di hutan ini. Ada apkah kalian datang ke tempat ini?" Dia mengulang lagi pertanyaannya sambil menatap Toro lekat-lekat.

"Kami mencari Batara Karang", jawab Toro setelah muncul keberaniannya. Meski dia masih takut kalau-kalau perempuan itu bisa berubah menyeramkan. Bulu kuduknya merinding.

Tapi tubuh wanita cantik itu justru mengeluarkan bau harum. Toro sampai mengendus-endus.

Rudin mendekat tapi tetap waspada. Perlahan-lahan dia duduk di samping Toro sambil terus memandang perempuan itu lekat-lekat.

"Kau tahu letaknya? Tolong kami ditunjukkan!" Ujar Rudin penuh harap. Hatinya berdetak-detak tidak keruan.

Perempuan itu menoleh. Memperhatikan Rudin. Matanya yang bercahaya indah menatap Rudin hingga membuat pemuda itu berdebar terpesona.

"Kau ingin tahu letaknya? Di sana, di bawah pohon meranti itu!" Perempuan itu menunjukkan sebuah pohon meranti paling besar dan paling menyeraman di hutan itu. Daunnya paling lebat hingga hampir menutupi tempat itu dari sinar matahari. Pohonnya menjulang tinggi.

Rudin hampir saja berseru gembira ketika perempuan itu kembali berkata, "Sebaiknya benda itu jangan kalian ambil demi keselamatan kalian sendiri".

"Kenapa?"

"Batara Karang itu ada penunggunya. Dengan memindahkannya berarti kalian juga mengusik penunggunya yang telah tertidur ratusan tahun. Aku berani menjamin kalian tak akan sanggup menghadapinya. Sebaiknya kalian pergilah. Biarkan benda itu tersimpan di tempat ini sepanjang zaman sampai ada seseorang yang berjodoh dengan benda itu!" Perempuan cantik itu menatap mata Rudin lekat-lekat seakan-akan minta pengertian darinya. Lalu dia tiba-tiba lenyap! Lenyapnya bersamaan dengan kolam beserta isinya.

Ya, semuanya lenyap, hingga yang tersisa hanya hutan belantara yang sunyi senyap!

Rudin bagai tersadar dari mimpinya. Dia menepuk-nepuk pipinya sambil menatap hutan itu. Takjub! Lalu dia menatap Toro yang tak kalah bingungnya.

"Kita melihat alam gaib! Kita melihat alam gaib!" Seru Rudin bagai tak percaya dengan apa yang dialaminya.

Rudin dan kedua kawannya terkesima menatap seonggok patung kecil di bawah pohon meranti besar itu. Matanya melotot namun dia tak berani berbuat apa-apa. Patung kecil yang memiliki taring panjang, serta kuku yang panjang itu hanya terbaring dan sambil menunggu nasib selanjutnya, akan diapakan oleh ketiga pemuda itu.

Rudin hanya terdiam sambil menahan nafas.

"Sayang sekali... patung ini ada penjaganya. Aku tak mau ambil resiko", ujarnya sambil terus mendesah. Dia masih teringat akan pesan yang disampaikan perempuan cantik yang ada di kolam itu.

"Sebaiknya kita pulang. Hari sudah siang" kata Abdi mengingatkan sambil tangannya memegang ransel siap untuk dibawa.

Tapi sekonyong-konyong Toro yang sejak tadi kelayapan berteriak ngeri, "Hei... lihat!"

Toro menunjuk sebatang pohon besar di dekat mereka. Pohon itu tak beda dengan pohon yang lain hingga membuat keduanya bingung apa yang menyebabkan Toro jadi sedemikian ribut.

"Kalian lihatlah apa yang ada di belakang pohon itu!" Toro masih berteriak ngeri sambil menunjuk-nunjuk sisi belakang pohon yang tak terlihat.

Rasa penasaran membuat Rudin dan Abdi berputar mengitari pohon itu. Sampai suatu saat keduanya berhenti, menatap ke arah yang ditunjukkan Toro.

Mula-mula mereka melihat batang pohon itu saja. Tapi setelah diteliti lagi mereka melihat sesuatu yang lonjong hitam menempel ketat pada batang pohon itu, seperti seonggok lintah berukuran raksasa yang memanjang dair ujung pohon hingga ke pangkalnya.

"Astaga!" Rudin ternganga. Selama hidup belum perna di amelihat lintah rawa sebesar itu, apalagi di sekujur permukaan kulitnya dipenuhi kutil-kutil berwarna merah, serta mengeluarkan lendir!

"Cepat! Cepatlah kalian pergi dari tempat ini sebelum dia bangun dan mengisap darah kita satu-persatu!" Rudin bergerak panik, dan tergesa mengambil ransel yang dia letakkan tadi. Dia bergidik ngeri.
Toro dan Abdi masih tampak bengong menatap makhluk aneh menyeramkan.

"Cepatlah, kalian tunggu apa lagi? Menunggu dihisap?" Teriak Rudin pada kedua temannya. Dia mencekal Toro hendak menyeretnya pergi sambil memandang ke  atas, menatap si makhluk.

"Abdi! Menyingkirlah cepat! Ayo pergi!" Rudin masih memperingatkan.

Tiba-tiba makhluk itu bergerak.

Pertama-tama dia mengeluarkan ratusan kakinya yang runcing. Lalu dia merayap turun! Anehnya cepat sekali ia bergerak! Sampai-sampai di luar kesadaran Abdi dan Toro.

Rudin terpekik ngeri "Lari! Lari! Cepat lari!"

Tapi terlambat...

Sedetik kemudian makhluk itu telah sampai di tanah dan merayap menuju ke arah mereka. Cepat sekali. Dan tak terduga. Detik berikutnya Abdi terpekik ngeri karena tubuhnya langsung digulung makhluk itu hingga berguling-gulingan di tanah. Tubuhnya dibelut tanpa mau dilepaskan oleh si makhluk menyeramkan.

Rudin sendiri terpaku menyaksikan bagaimana makhluk itu membelit dan menghisap darah mangsanya. Sampai habis. Sampai Abdi tak bergerak-gerak lagi di dalam belitan si pemangsa ganas itu.

Bahaya juga pasti mengancam dirinya dan Toro! Rudin, lalu melarikan diri sambil membuang ranselnya ke sembarang tempat, disusul oleh Toro yang menjerit-jerit ketakutan.

"Rudin! Tunggu aku!" Toro menjerit-jerit dibelakangnya.

Tapi Rudin tak peduli. Dia terus saja lari bagai dikejar setan. Beruntung keduanya selamat. Hanya Abdi yang tak jelas nasibnya. Mungkin dia telah mati dimangsa makhluk menyeramkan itu.

Hutan di kawasan itu memang angker!

Sampai sekarangpun tak ada yang berani masuk ke sana. Hanya cerita Rudin dan Toro lah yang mampu sedikit menyibak misteri apa di balik rimbunnya pepohonan di kawasan hutan itu.

Tapi itu pun hanya sedikit yang percaya. Sedang selebihnya menganggap cerita Rudin dan Toro itu hanya bualan belaka. Yang hanya sekedar dibuat untuk menutup-nutupi kelalaiannya karena telah meninggalkan Abdi di tengah hutan belantara.



Nafiri. 2006. Majalah Misteri Edisi 408. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.