AKU DIGUNA-GUNAI ISTRI KEKASIHKU
Gambar oleh Claudio_Scott dari Pixabay

Cinta dan kebutaan hati bak dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Kenyataan inilah yang pada awalnya terjadi pada diriku. Sebagai seorang gadis yang terbilang masih sangat belia, aku memang belum begitu mengenal arti cinta yang sesungguhnya. Yang ada dalam bayanganku hanyalah gambaran cinta yang seutuhnya indah, mesra, bahagia, dan penuh dengan bunga-bunga asmara. Tak pernah terlintas dalam benakku bahwa cinta itu dapat melahirkan suatu kekejaman. Bahkan, kekejaman yang hampir sulit dibayangkan.

Aku Diguna-Gunai Istri Kekasihku - Semuanya berawal dari perkenalanku dengan Mas Hima. Momentum ini terjadi tanpa suatu kesengajaan, tapi mungkin merupakan bagian takdir yang harus ku jalani.

Sore itu, aku dan dua orang temanku, Lastri dan Sari, baru saja pulang kerja. Mendung pekat menggantung di atas cakrawala. Gerimis pun mulai turun saat kami sama-sama menunggu angkutan umum yang mengarah ke kediaman kami. Harap-harap cemas kami menunggu angkutan. Sialnya, gerimis mulai berubah menjadi hujan. Saat kami bermaksud segera lagi mencari tempat berteduh, tiba-tiba di depan kami berhenti sebuah sedan.

"Kalau kalian tidak keberatan, silahkan naik ke mobilku. Ya, daripada kehujanan!" Kata si pengemudi sedan sambil menurunkan kaca pintu bagian depan. Aha, ternayta dia seorang pria yang cukup tampan!

Beberapa detik lamanya aku, Lastri, dan Sari saling bersitatap. Kedipan mata Sari kemudian menjadi isyarat bahwa kami harus menerima tawaran baik itu. Lastri dan Sari segera naik di jok belakang. Aku sendiri terpaksa naik di jok depan karena tak enak harus desak-desakan di jok belakang.

Setelah kami bertiga naik, mobil pun berjalan menembus hujan yang akhirnya memang turun dengan deras.

"Namaku Himawan, tapi cukup panggil Hima saja!" Pria klimis itu memperkenalkan dirinya. "Oya, boleh aku tahu siapa nama kalian semua?"

Sari yang memang paling centil di antara kami segera memperkenalkan dirinya. Bahkan, dia juga mewakili aku dan Lastri menyebutkan nama kami.

Dengan gayanya yang sangat simpatik, pria bernama Hima itu sesekali bertanya tentang pekerjaan kami. Semua pertanyaannya dijawab oleh Sari yang sepertinya memang bertindak sebagai juru bicara kami. Maklum saja, kami bertiga memang bekerja di kantor yang sama. Persisnya di kantor sebuah lembaga keuangan non bank yang ada di Kota Bandung.

Sekitar seperempat jam perjalanan, Sari dan Lastri minta diturunkan di depan gang yang menuju rumah kontrakan mereka. Kedua temanku ini memang tinggal satu rumah, sebab mereka memang bukan asli warga Bandung. Keduanya berasal dari Lampung, tetapi, kami sudah berteman sedari kecil.

Mulanya, aku ingin ikutan turun jgua dengan mereka. TIdak enak rasanya kalu harus berduaan dengan [ria yang belum lama ku kenal. Tapi sebelum aku sempat membuka pintu di sebelahku, Sari yang centil itu buru-buru nyeletuk, "Kamu nggak usah turun. Kan masih gerimis. Nanti asmamu kumat. Lagian Mas Hima pasti nggak bakal keberatan nganterin kamu sampai rumah. Bukan begitu, Mas?"

Hima tersenyum penuh simpatik, sementara wajahku berubah seperti kepiting rebus. Tanpa peduli dengan perasaanku, Sari dan Lastri segera turun. Mereka kemudian berlari-lari kecil meunuju gang.

"Rumahmu di mana, Nena?" Tanya Hima setelah kedua kawanku itu menghilang. Pertanyaan ini membuatku sedikit terkejut. Dengan gugup kusebutkan nama jalan tempat rumahku berada.

Mobil kembali melaju dengan sorot mata Hima yang sesekali melirik ke arahku. Batinku tergetar saat tanpa sengaja tatapan kami saling bertubrukan. Ah, aku baru menyadari kalau lelaki di sebelahku ini punya tatapan yang istimewa. Bagiku, sorot matanya itu memberikan keteduhan tersendiri. Bisa jadi, ini penilaian yang terlampau terburu-buru. Tapi kadang-kadang orang memang bisa terpesona di saat pandangan pertama.

Sambil berusaha mengendalikan perasaan, dengan suara berat kuminta Hima menghentikan mobilnya saat beberapa meter lagi tiba di depan rumahku, yang kebetulan letaknya memang dekat dengan jalan raya. Waktu itu gerimis masih turun renyai-renyai.

"Makasih ya, Mas!" Ucapku sambil bermaksud segera membuka pintu.

"Hai, tunggu dulu! Biar kuambilkan payung dulu buatmu!" Cegah Hima. Tanpa memberi kesempatan padaku untuk menyampaikan penolakan, dia segera turun, membuka bagasi, dan mengambilkan payung itu buatku. Bahkan, dengan sikapnya yang hangat dia membukakan pintu buatku, lalu memyungiku berjalan sampai ke beranda rumah. Tubuhku terasa dijalari oleh udara yang sangat hangat saat berjalan beriringan dengannya. padahal, udara Bandung pasti lebih dingin di saat hujan turun.

"Sekali lagi aku ucapkan terimakasih, sebab sudah merepotkan Mas Hima", kataku sambil tertunduk, sebab aku merasa tak sanggup untuk bersitatap dengannya.

"Ah, justru aku merasa senang sebab sudah memiliki teman baru seperti kamu", ujarnya. Lalu dia mengambil dompet dan menyodorkan kartu namanya padaku, "Demi persahabatan kita, kalau kau tidak keberatan simpanlah kartu namaku ini!"

"Tentu saja aku juga senang. Tapi maaf, aku nggak punya kartu nama!" Aku tersipu.

Dia membalasnya dengan senyumnya yang begitu khas. "Nggak apa-apa! Tapi nggak keberatan kan kalau aku minta nomor HP-mu?"

"Oh.. tentu saja tidak!"

Segera kusebutkan tiga belas digit nomor HP-ku. Dia mengetiknya pada ponsel miliknya, dean setelah itu dia segera berpamitan. Dengan santun dia menolak tawaranku untuk sekedar duduk dna menikmati secangkir teh panas.

"Mungkin lain waktu", katanya sambil kembali tersenym menggetarkan batinku. Lalu dia mengingatkanku, "Oya, lekas masuk dan jangan lupa mandi air hangat. Nanti asmamu kumat!"

Aha, batinku terasa berdesir mendengar kata-katanya yang bijak ini, yang sekaligus telah menyadarkan diriku akan kekuranganku. Jujur saja, aku memang alergi air hujan. Kalau terkena air hujan dan sampai telat mandi dengan air hangat, maka asmaku memang bisa saja kambuh.

Begitulah awal perkenalanku dengan Mas Hima. Relatif sederhana, tapi cukup mengesankan. Dan yang pasti, sejak pertemuan sore itu, hubungan di antara kami berdua memang terus bertambah akrab dari hari ke hari. Bahkan, hanya selang seminggu setelah pertemuan itu, aku merasa ada sesuatu yang telah terjadi dengan diriku. Bila sehari saja tak mendengar suara Mas Hima, hidupku seakan-akan tak lengkap lagi. Aku merasa kehilangan sesuatu. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku memang telah jatuh cinta kepadanya.

Ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan. Mas Hima pun merasakan hal yang sama dengna diriku. Bahkan dia menyatakan perasaannya ini persisi di saat hari ulang tahunku, yang sengaja dirayakannya secara sederhana di sebuah restoran terkenal di pinggiran Kota Bandung.

"Selamat Ulang Tahun ya, Na! Semoga kamu panjang umur dan senantiasa dalam limpahan rahmat serta kasihNya!" Ucap Mas Hima dengan tulus.

Ucapan tulus itu, ditambah dengan kue tar mungil yang tersaji di atas meja yang di puncaknya terdapat lilin berukir angka 22, tanpa terasa telah membuatku menangis. Sungguh aku tak menyangka kalau tiba-tiba ternyata ada orang yang peduli pada saat-saat hari kelahiranku. Padahal, aku sendiri sudah hampir melupakannya, sebab sejak kematian ayah 3 tahun silam kami sekeluarga, aku dan Sigit, adikku satu-satunya, juga Ibu, tak pernah lagi bisa merayakan hari yang amat bersejarah ini walau hanya dengan pesta paling sederhana sekalipun. Ya, bagaimana bisa kami melakukannya sebab uang pensiunan ayah hanya cukup untuk biaya makan kami sehari-hari. Bahkan agar Sigit bisa melanjutkan sekolahnya ke SMA, aku yang terpaksa berhenti kuliah dan memilih bekerja.

"Jujur saja, ini adalah saat yang paling mengharukan dalam hidupku, setelah kematian ayahku tiga tahun yang lalu", kataku dengan tulus pula.

Mas Hima nampak terkejut mendengar kata-kataku ini. "Nena, maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu bersedih!"

Aku berusaha tersenyum. "Justru aku merasa bahagia, ternyata masih ada orang yang mau mengenang hari yang paling bersejarah bagi hidupku ini".

lembut dia meraih jemari tanganku. Sambil meremasnya dengan mesra, tulus dia berkata, "Maafkan aku juga, sebab di hari ulang tahunmu ini tak ada sesuatu barang yang berharga yang bisa kuberikan padamu".

Batinku bergetar, anganku bagai melambung ke cakrawala tertinggi. Tak sepatah katapun yang bisa kuucapkan, sebab aku memang tak sanggup untuk berkata-kata.

"Nena..!" Lembut dia memanggil namaku.

Sesaat kuberanikan diri untuk menatapnya. Lalu, dengan suara bergetar dia melanjutkan kata-katanya, "Maafkan aku ternyata aku telah berbuat lancang pada dirimu. bahkan mungkin akan menjadi naif. Tapi sejujurnya aku tak bisa mengendalikan perasaan ini. Aku tak bisa membohongi diriku. Aku sayang kamu. Aku cinta kamu, Nena!"

Seolah tak percaya terhadap kata-katanya, kuberanikan diri untuk menatapnya. Ooo...kulihat mata setajam elang itu tampak berkaca-kaca, dan nun jauh di dalam sinarnya ada pengharapan yang sangat tulus.

"Nena... maafkan aku yang harus jatuh cinta padamu!" Cetusnya lagi sambil mempererat genggaman tangannya.

Aku berusaha menahan tangis bahagia. Namun, tangisku akhirnya meledak juga dalam pelukan Mas Hima. Ya, kami saling bertangisan seperti layaknya sepasang kekasih yang melepas kerinduan setelah lama terpisahkan oleh jarak dan waktu.

Waktu mempererat persahabatan, dan cinta menguraikannya. Begitulah yang terjadi antara aku dengan Mas Hima. Sejak peristiwa hari itu, hubungan aku dengannya semakin bertambah mesra. Dan kemesraan itu bukan lagi kemesraan antara dua orang sahabat, melainkan kemesraan sepasang kekasih yang saling mencintai.

Mas Hima bagiku adalah cinta pertama. Mungkin karena itulah aku menganggap dia adalah segala-galanya dalam hidupku. Apapunyang diinginkannya dari diriku, pasti akan kuberi. Bahkan mungkin juga kehangatan tubuhku. Tapi syukurlah, Mas Hima bukan tipe lelaki semacam itu. Dia selalu bertanggung jawab dalam menjaga kesucianku. tak pernah sedikitpun dia berani menyentuhnya. Bahkan untuk sekedar mencium bibir pun dia selalu meminta izin dariku.

"Nena, boleh aku mencium bibirmu, Sayang?" Dia selalu berbisik seperti itu. Ah, lucu memang! Tapi, justru ini adalah sisi romantis yang paling kusuka dari dirinya.

Dengan perbedaan usia kami yang lebih dari sepuluh tahun, Mas Hima memang kerap memperlakukanku seperti layaknya seorang adik. Dia sering mencubit pipiku kalau aku berbuat kesalahan sedikit saja. Ya, misalnya saja ketika aku menyuguhkan teh manis kesukaannya, dan aku lupa memberinya tatakan.

"Ini kebiasaan yang tidak baik. Kamu harus ingat, karena aku sayang kamu, maka kamu harus berbuat yang terbaik buatku", katanya setelah mencubit pipiku.

Kadang-kadang Mas Hima juga bersikap seperti layaknya seorang ayah. Contohnya sewaktu aku marah pada Lastri dan Sari, dua sahabat kentalku, karena mereka berbuat kesalahan terhadap diriku.

"Pertengkaran dalam hubungan persahabatan itu biasa. Nanti kalau kalian berbaikan lagi, pasti kalian akan merasa semakin dekat", nasihatnya. Jujur saja gayanya dalam memberikan nasihat, selalu mengingatkanku pada almarhum Ayahku yang sudah lama tiada.

Ringkas kata, sebagia kekasih Mas Hima memang teramat lengkap bagiku. Dia tak hanya bersikap mesra dan memberi rasa hangat, namun dia juga melindungi dan mengayomiku.

Mungkin karena cinta yang begitu menggelora, sehingga aku lupa bahwa tak ada yang sempurna di muka bumi ini, sebab kodrat kehidupan yang sesungguhnya adalah ketidaksempurnaan itu. Demikian pula dengan Mas Himaku. Dia juga manusia biasa yang kadang-kadang terpaksa atau dipaksa harus menyembunyikan kekurangannya.

Hari Minggu sore itu, entah mengapa aku sangat ingin mencari angin segar dengan jalan-jalan sendirian ke sebuah Mall terkenal di jantung Kota Bandung. Rupanya, keinginanku didorong oleh naluriku sebagai seorang wanita.

Ya, karena dorongan naluri itu aku melihat siapa sesungguhnya Mas Hima. Di tengah keramaian pengunjung Mall, kulihat dia berjalan sambil menggendong anak berusia 3 tahunan. Di sisinya kulihat juga seorang perempuan cantik yang menuntun anak berusia sekitar 7 tahunan.

Mataku mendadak perih seperti tersiram air garam demi melihat pemandangan itu. Walau batin ini berusaha melawan prasangka burukku, namun naluriku mengatakan hal yang sebenarnya. Tentulah perempuan itu adalah istri Mas Hima, sedangkan kedua anak itu adalah anak dari hasil perkawinan mereka.

Naluri seorang wanita tak pernah salah. Begitulah yang terjadi! Mas Hima hanya terntunduk lesu saat aku meminta kejujurannya untuk menjawab pertanyaanku; "Apakah benar Mas Hima telaha beristri dan memiliki dua orang anak?"

"Maafkan, Nena! mungkin sudah saatnya kau tahu siapa diriku yang sebenarnya", desahnya dengan penuh sesal.

"Jadi Mas selama ini telah membohongiku? Bahkan Mas telah berjanji pada Ibuku untuk segera melamarku. Bagaimana ini... bagaimana dengan hubungan kita, Mas?" Protesku sambil bersimbah air mata.

Mas Hima meremas jemariku sambil berkata, "Nena, sekali lagi maafkan aku, sebab aku tak berkata jujur padamu. Tapi ketahuilah, hal ini terpaksa aku lakuakn karena aku terlalu mencintaimu. Aku tak ingin kehilangan dirimu".

Kulihat mata elang itu berkaca-kaca. Tak ada kelicikan dan tipu muslihat di balik kedalaman sinarnya. Yang ada jsutru adalah kejujuran dan kepasrahan. Kenyataan inilah yang malah membuatku menaruh iba padanya.

"Sekarang, pilih aku atau dia, Mas!" Pintaku, yang mungkin sesekali teramat bodoh, naif, atau bahkan mungkin egois.

Dengan penuh kash sayang Mas Hima membersihkan air mata yang menganak sungai di atas wajahku. Lembut sekali dia berkata, "Sekarnag ini bukan saat yang tempat bagiku unutk memilih. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah mencintaimu dengan segenap hati dan jiwaku, sebab hanya itulah yang bisa kuberikan padamu. Dan aku rela hancur untuk semua ini".

kata-kata ini sungguh membuat perasaanku mengharu-biru. Segala dendam dan amarah sirna, berganti menjadi kecintaan yang kian mendalam. Gila atau kurang waraskah diriku? Atau mungkin ini adalah ketulusan cinta yang sesungguhnya?

Cinta menutupi penyelewengan. Saat cinta datang, maka segala aturan pun pergi. Mungkin, itulah yang terjadi atas diriku dan Mas Hima.

"Karena tujuh detik cinta, karena tujuh menit hayalan, maka hasilnya seumur hidup adalah derita". Kata-kata bijak inilah yang akhirnya tepat untuk menggambarkan keadaan diriku yang sebenarnya.

Ya, aku kini terkapar dalam deraan penyakit yang sulit kumengerti. Sejumlah dokter telah kudatangi, bahkan juga beberapa orang pintar. Tapi tak seorang pun yang bisa menyembuhkan penyakitku.

Kalau tidak salah menghitungnya, sudah hampir setengah tahun penyakit in mendera tubuhku. Kulitku yang dulu putih mulus, kini berubah menjijikkan sebab di sana-sini, terutama di bagian yang berlemak, sudah dipenuhi dengna bercak-bercak merah seperti layaknya gangguan yang ditimbulkan oleh penyakit eksim basah. Setidaknya, sejumlah dokter spesialis kulit yang kudatangi memang menduga demikian. Tapi, obat yang terbaik dan paling mahal sekalipun yang mereka berikan untuk kesembuhanku, ternyata semuanya berakhir nihil. Malahan, bercak-bercak itu semakin menjalar di sekujur tubuhku, bahkan kini sudah menyerang bagian wajahku.

Benarkah penyakit kulit yang menderaku ini adalah karena guna-guna? Beberapa orang pintar yang kuhubungi memang mengatakannya demikian, meski mereka tak bisa memberikan solusi yang terbaik bagi diriku. Keyakinanku juga didukung oleh sejumlah keanehan, baik yang terjadi sebelum atau sesudah penyakit itu bersarang dalam tubuhku.

Awalnya, aku menganggap gatal-gatal itu sebagai hal yang biasa. Ceritanya, malam itu aku terserang demam karena sorenya kehujanan saat pulang dari kantor. Anehnya persis tengah malam aku yang sulit tidur tiba-tiba mendengar suara ledakan yang sangat keras pas di atas genting kamarku. Karena khawatir di atas sana ada kabel listrik yang tersambar petir, maka segera kubangunkan ibu yang malam itu memang sengaja tidur menemaniku. Ibu kemudian kumintai tolong agar membangunkan Sigit untuk melihat apa yang terjadi.

Ternyata tidak ada apa-apa. Malahan Sigit yang memantau keadaan di luar rumah mengatakan bahwa langit cerah bertabur bintang, meski sore tadi hujan lebat sempat turun. "Melihat cuaca yang cerah, jadi mustahil ada petir yang menyambar kabel listrik!" Kata adikku.

Lantas, suara ledakan apa yang kudengar itu?

Sebelum teka-teki ini terjawab, keanehan lain kembali menimpaku. Entah bagaimana tiba-tiba saja aku merasakan pandanganku dapat menembus tembok. Dengan pandangan seperti ini, kulihat ada seorang nenek renta mengenakan batik lurik-lurik yang tengah berdiri di pintu depan rumah. Sepertinya, si nenek ingin masuk, namun pintu dalam keadaan terkunci. Karena merasa iba kepada si nenek, kuminta ibu segera ke depan untuk membukakan pintu.

"Memangnya ada apa, Nak?" Tanya ibu yang merasa heran dengan permitaanku.

"Aku lihat ada seorang nenek di depan pintu rumah kita, Bu. Cepatlah ibu bukakan pintu untuknya. Mungkin nenek itu butuh bantuan kita", kataku.

Sambil memendam keheranannya, ibu segera melangkah untuk memnuhi permintaanku. Namun, sebentar kemudian dia kembali dan melaporkan apa yang terjadi.

"Di depan tidak ada siapa-siapa. Lagi pula mana ada sih tamu yang daatang tengah malam begini!"

Kta-kata ibu itu hanya sempat kusimak secara samar-samar, sebab saat itu, entah kenapa, tiba-tiba saja mataku terserang rasa kantuk yang teramat sangat. Bahkan, aku baru terjaga pagi harinya ketika jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi.

Meski badanku masih terasa pegal-pegal, aku segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku dengna air hangat yang telah disediakan oleh ibu. Nah, saat di kamar mandi inilah aku melihat ada bercak merah di paha sebelah kiriku, sebesar lingkaran koin lima ratus rupiah. Anehnya, ketika terkena air bercak merah itu berubah sangat gatal, bahkan gatalnya membuat menular ke tempat lain. Yang tak kalah aneh, saat kugaruk sepertinya mengeluarkan serbuk halus seperti layaknya buluh bambu.

Ibu yang melihat penyakitku ini mengira hanya gatal-gatal biasa yang disebabkan karena bulu ulat pohon. Apalagi ibu juga sempat memberi tahukan hal ini", Mungkin tadi sore tadi kamu lupa membersihkan tempat tidurmu, sebab sewaktu ibu bersihkan tadi ibu mendapatkan banyak ulat-ulat kecil di atas tempat tidurmu. Ya, mungkin itu ulat-ulat bulu dari pohon jambu air di samping kamarmu itu. Makanya, berkali-kali ibu bilang supaya pohon jambu itu ditebang saja. Tapi kau bilang sayang kalau harus ditebang, sebab pohon itu dulu ditanam oleh almarhum ayahmu".

Ulat-ulat bulu? Aku merasa aneh dengan pengaduan ibu ini. Bagaimana mungkin ada ulat-ulat bulu di atas seprai tempat tidurku. Aku yakin sepenuhnya kalau sore tadi aku tak melihat keberadaan hewan-hewan menjijikkan itu. Lagi pula, dair mana datangnya ulat-ulat bulu itu? Pohon jambu air di samping kamarku selama ini selalu terawat dan tak pernah disinggahi ulat. Tambahan lagi, aku juga selalu rajin membersihkan kamarku setiap pagi dan petang.

Jelas, bagiku keberadaan ulat-ulat bulu ini merupakan fakta yang sangat aneh dan berselimut misteri. Aku juga mulai menghubung-hubugnkan keanehan ini dengan SMS kaleng yang kuterima tiga hari berturut-turut sebelum keberangkatan Mas Hima ke Amerika untuk menjalankan tugas belajar yang dibebankan perusahaan kepada dirinya.

"JANGAN COBA-COBA BERANI MEREBUT SUAMI ORANG. TANGGUNG SENDIRI AKIBATNYA".

Demikian bunti salah satu SMS yagn nomornya dirahasiakan itu. Yang lain berbunyi seperti ini:

"KECANTIKAN JANGAN DIJADIKAN ALAT MENJERAT LAKI2. RASAKAN SENDIRI KALAU KAMU TIDAK CANTIK LAGI".

Kalau tak salah ingat, ada sekitar 5 sampai 7 SMS kaleng yang masuk ke HP-ku selama 3 hari berturut-turut itu. Isinya, semua bernada hampir sama: ancaman!

Apakah SMS itu dikirim oleh Giska, istri Mas Hima? Dugaanku ini sangat mungkin bener. Tak perlu diperdebatkan bagaimana caranya Giska bisa mendapatkan nomor HP-ku. Yang jelas, rangkaian kalimat dalam SMS itu sangat jelas menunjukkan rasa sakit hati dari orang yang mengirimnya. Orang itu, siapa lagi kalau bukan Giska? Apalagi Mas Hima pernah bercerita bahwa dia telah berterus terang soal hubungannya denganku kepada perempuan yang telah dinikahinya sejak sebelas tahun silam itu.

"Aku yakin Giska akan mengerti dan mau menerima dirimu, sebab selama ini dia sadar sepenuhnya kalau ada sesuatu yang tidak sempurna dengan perkawinan antara aku dengan dirinya?" Ungkap Mas Hima saat kami berduaan di sebuah taman. Mungkin seulan sebelum keberangkatannya ke Amerika.

"Maksud Mas apa?" Tanyaku.

Mas Hima memandang jauh ke depan. Dengan sorot mata menerawang dia bercerita, "Waktu itu ibuku mengidap Kanker Darah stadium akut, dan dokter telah memprediksi sisa usia ibu yang relatif pendek. Sebelum kematiannya ibu menginginkan agar aku, anak laki-laki satu-satunya, sebab ketiga saudaraku yang lain adalah perempuan, menikah dengan gadis pilihannya. Ibu menjodohkanku dnegn Giska, putri dair Uwakku sendiri. Aku tak bisa menolak perjodohan ini. Demi melihat ibu bahagia di penghujung hayatnya, aku terpaksa menikah dengan Giska.

Ya, begitulah! Sampai akhirnya kami beroleh dua orang anak. Ajaibnya, Tuhan berkehendak lain. Ibuku meninggal sat Giska mengandung anak kedua kami. Padahal, dulu dokter memvonis bahwa umur ibu hanya tinggal beberapa bulan saja. Mungkin mukjizat ini terjadi karena beliau begitu bahagia melihat aku telah melaksanakan wasiatnya".

"Tapi Mas mencintai dia kan?" Tanayku sambil menahan haru.

Dia menatapku dengna teduh, dan kemudian berkata, "Kalau beda antara cinta dan sayang itu teramat tipis, mungkin yang terjadi antara aku dan Giska hanyalah rasa sayang itu. Aku tak pernah menemukan cinta pada dirinya, sebab cintaku yang sesungguhnya hanya ada pada dirimu".

"Tapi aku ragu dia mau menerima diriku dalam kehidupannya?"

Mas Hima menggenggam jemariku. Indah sekali kata-katanya, "Aku tahu tak ada satupun wanita di dunia ini yang sudi dimadu. Tapi percayalah, waktu akan mengajarkan kita menjadi orang-orang yang bijak dalam menerima keadaan, kendati itu sangat pahit sekalipun. Bukankah cinta itu adalah anugerag illahi? Jadi, jangan pernah salahkan cinta. Jika seorang lelaki harus mencintai dua orang wanita, maka ini bukanlah takdir yang buruk. Demikain jgua wanita yang harus hidup di antara dua cinta, maka jangan jadikan cinta itu sebagai kemurkaan. Hakikat cinta adalah saling berbagi. Terima keadaan ini dengan ikhlas dan lapang dada. Ingat, hanya waktu yang akan membuat kita menjadi semakin dewasa".

Waktu? Ah, kini aku begitu membenci sang waktu, sebab bagiku dia adalah penyiksaan. Dia telah menciptakan neraka bagi hidupku. Kalau saja bunuh diri bukanlah suatu dosa, mungkin aku telah menempuh jalan ini. Rasanya, aku semakin tak tahan menghadapi deraan penyakitku. Dari hari ke hari, rasa gatal itu terus menghebat. Dia hanya akan berhenti ketika senja tiba, persisnya di saat matahari tenggelam di langit ufuk barat.

Ya, selepas matahari tenggelam gatal-gatal itu memang sepenuhnya sirna, meski masih menyisakan perih di sana-sini. Lalu, ketika malam semakin beranjak naik, maka aku pun tertidur pulas seperti layaknya orang yang terkena hipnotis. Dan anehnya, aku selalu terjaga tepat pukul 9 pagi.

Begitulah yang terjadi di sepanjang hari-hariku belakangan ini. Segalanya, seperti telah diskenario oleh suatu kekuatan yang tak kasat mata. Bahwa setiap malam aku harus tertidur pulas seperti mayat, untuk kemudian bangun tepat pukul 9 ketka semuat orang telah pergi dengan kesibukannya masing-masing. Dan siangnya, aku harus bergelut dengan rasa gatal itu, sehingga aku sama sekali tak bisa melakukan kegiatan hidup yang normal sebagaimana wajarnya. Ya, aku terpenjara oleh penyakit ini. Dan orang yang melakukannya seperti memang sengaja ingin memenjarakan hidupku.

Waktu terus berlalu. Tak terasa hampir setengah tahun lamanya aku bergelut dengan derita ini. Mas Hima tak pernah tahu keberadaanku yang sebenarnya, sebab aku memang tak pernah menceritakannya karena takut akan mengganggu konsentrasi belajarnya di luar negeri.

"Begitu pulang ke Tanah Air nanti, aku pasti akan datang padamu, Nena! Aku ingin kau menjadi bagian dari hidupku. Aku ingin kita bahagia bersama-sama".

Kata-kata itu sering kali diucapkan oleh Mas Hima setiap kali menelponku dari Amerika. Kata-kata indah yang semestinya bisa membuatku tersenyum bahagia. Tapi segalanya berubah. Aku justru takut setiap kali mendengar dia mengatakan itu. Aku sulit membayangkan, apakah mungkin Mas Hima masih sudi menerimaku setelah dia tahu keberadaanku yang sebenarnya. Bukankah kini aku sudah tak cantik lagi? Aku tak ubahnya seperti monster yang menjijikkan, sebab tubuhku yang dulu indah berbalut kulit kuning langsat kini telah dipenuhi bercak-bercak merah yang bisa membuat siapa pun bergidik melihatnya. Jangankan orang lain, bahkan aku sendiri pun benci melihat diriku saat kuberanikan diri berkaca di depan cermin. Lihatlah, wajahku yang dulu putih mulus kini dipenuhi bercak-bercak merah yang menjijikkan!

Ya, Tuhan! Apakah ini azab bagi seorang hamba yang selama ini tak pernah menyebut kebesaran namaMu? ataukah ini perbuatan setan yang menjadi suruhan dari orang-orang yang sesat? Dalam sujud aku bersimpuh dan berharap semoga kiranya Engkau memberikan jalan keluar yang terbaik bagi diriku.


Nena, Bandung.


TANGGAPAN AHLI ILMU HIKMAH: SAIPUDIN

Jalinan kisah yang Anda tuutrkan sungguh menyentuh perasaan. Tapi baiklah, mari kita letakkan pokok persoalan yang Anda hadapi pada koridor yang benar. Artinya, Anda tak perlu menyalahkan orang lain, sebab Anda pun pada dasarnya ikut andil besar dalam kesulitan yang kini Anda hadapi.

Memang, bisa jadi Giska yang merasa sakti hatinya, adalah orang yang mengirim guna-guna untuk mencelakakan diri Anda. Kalau saja tuduhan ini benar, maka selayaknya kita mendoakan agar Giska dibukakan pintu hatinya oleh Allah SWT, sehingga dia mendapatkan hidayah dan menjadi sadar atas perbuatan yang telah dilakukannya.

Ingat manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Karena itulah, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan Giska. Karena sakit hatinya, maka mungkin Giska khilaf. Di tengah kekosongan jiwanya, setan lalu datang dan berbisik agar Giska melakukan tindakan yang sangat dimurkai Tuhan itu.

Santet, guna-guna dan sejenisnya adalah ilmu sesat yang pada intinya selalu melibatkan jasa jin kafir dan setan. Karena itu, untuk melawan kekuatan ilmu ini modal yang terutama adalah menegakkan kembali iman dan takwa kita kepada illahi. Setelah itu, untuk mempermudahnya barulah kita lakukan ritual-ritual yang sifatnya sangat khusus.

Nah, berikut ini saya akan beberkan sebuah amalan rahasia dari khazanah ilmu-ilmu Hikmah warisan para Ulama Sufi, yang karomahnya sangat ampuh untuk menawarkan serangan jahat guna-guna, santet, teluh, dan sejenisnya. Dengan mengamalkan ilmu ini, insya Alalh, Saudari Nena di Bandung akan berkurang penderitaannya. Ingat, lakukan dengan istikomah, sehingga dengan demikian kekuatan jahat guna-guna akan sirna secara perlahan namun pasti.

Lakukanlah petujuk ini:

Setiap pukul 3 tengah malam dirikanlah sholat hajar 2 rakaat. Seusai salam amalkan wiridan ini:
  • INNAL ABROORO LAFII NA'IIM, WA INNAL FUJJAARO LAGII JAHIIM 21x (Catatan: Amalan ini berasal dari Q.S. AL Infitar: 13-14).
  • YA JAAMI' 114x.  
Amalkanlah selama 7 malam berturut-turut. Insya Allah hasilnya akan segera terasa. Sehebat apapun kekuatan ilmu hitamyang menyerang, pasti akan tawar dengan sendirinya.



2006. Majalah Misteri Edisi 408. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.