![]() |
Gambar oleh Elias Sch. dari Pixabay |
Semua keluargaku mati oleh laut. Laut menghempas dan membawa keluarga ku ke dalam samudera kesengsaraan hidup. Lalu, hingga saat ini, aku tidak pernah menemukan di mana makam mereka. Makam ayahku, makam ibuku dan makam adik-kakakku. Aku tidak tahu di mana kuburan mereka. Aku tidak tahu di mana jasad mereka berada. Hilang, ya, hilang. Pihak pemerintah menyatakan keluargaku hilang, bukan wafat bukan pula meninggal dunia. Semua itu dinyatakan, karena bangkai-bangkai mereka itu tidak pernah ditemukan, sampai tahun 2010, hingga aku larut dalam peringatan menghilangnya mereka itu dalam ulang tahun tragedi Tsunami Aceh 24 Desember 2010 lalu. Melakukan tahlil akbar mengenang tragedi Tsunami Banda Aceh, 24 Desember 2004, beberapa saat setelah SBY dilantik sebagai Presiden RI ke enam.
Adik Bungsuku Lolos Dari Bencana Air Bah - Tapi, pada suatu malam, bagaikan dalam suatu impian, aku masuk ke suatu alam. Alam dengan pemandangan yang nyaman daan asri, di mana mereka semuanya aku temukan berbahagia di sana. Berbahagia dengan keceriaan ganda, dan mungkinkah itu sebuah surga sebelum surga yang sesungguhnya di akhir zaman?
Tanggal 24 Desember 2004, pukul 09.14, gempa bumi tektonik berkekuatan 8,9 skala richter mengguncang Banda Aceh. beratus-ratus rumah roboh dan beribu rumah yang retak. Rumah kami pun tidak selamat dari ayakan gempa itu. Ayahku memerintahkan semua anak-anaknya ke luar rumah. Ibu, adik-adikku, kakakku beserta pembantu kami, semuanya keluar rumah menyelamatkan diri.
Dinding rumah retak dan genting ambruk jatuh ke tanah. Semua warga berlarian, panik dan kami juga sangat cemas. Rasa kaget dan rasa takut bergerinjang hebat menjadi satu. Jantungku berdebar-debar dan otakku terasa terputar-putar tidak menentu. Kami semua cemas dan gundah gulana.
Setengah jam setelah gempa, kami pikir keadaan akan membaik. Di luar dugaan, dari arah laut, bergemuruh ombak raksasa setinggi puluhan meter, bergulung dengan kecepatan ratusan kilometer per-jam, menenggelamkan Banda Aceh. Ombak dan gelombang dengan kecepatan tinggi menabrak rumah-rumah, menggiring reruntuhan bangunan dan membunuh ratusan ribu manusia. "Kiamat, kiamat!" teriakku, sambil meneriakkan Allahu Akbar.
Tubuhku terhempas air bah. Badanku terasa melayang dibawa ombak dan selama beberapa menit aku kehilangan ingatan. Bagaikan mimpi, aku diterjang badai air dan terbawa arus dengan cepat. Beberapa saat kemudian, aku terhempas di atap rumah, tubuhku dibanting oleh pintu papan yang hanyut. Akibat bantingan itu, tubuhku malah terangkat ke atas dan aku selamat. Beberapa luka menganga di tubuhku dan mengucurkan darah segar yang bercampur air laut.
Seorang malaikat menyelamatkan nyawaku. Malaikat itu mendorong pintu kayu dan membanting tubuhku ke atas genting rumah tetangga. Seorang tetangga yang juga selamat, melihat sosok orang berpeci putih, bersorban putih mendorong aku menaiki pintu, lalu pintu itu menjungkalkan aku ke atap rumah. Setelah itu, sosok berbaju putih yang diyakini oleh tetanggaku sebagai malaikat itu, ikut hanyut bersama papan pintu menuju arah kota. Setelah itu, kami tidak tahu ke mana dia dan hingga sekarang aku tidak melihatnya lagi.
"Tapi mengapa malaikat itu menyelamatkan aku? Kenapa aku dibiarkannya hidup, padahal dalam hati kecilku, aku ingin mati saja bersama ayah, ibu serta adik dan kakakku", kataku, pada tetangga yang belakngan kukenal bernama Haji Sarkowi, laki-laki berumur 60 tahun yang juga kehilangan istri dan anak-anaknya, hanyut dibawa badai dan hingga kini mayat keluarganya juga tidak ditemukan.
"Kematian adalah takdir Allah yang terukur dan Allah tidak mungkin salah memutuskan. Keluarga kita sudah diputuskan untuk mati dalam tragedi besar ini dan kita diputuskan untuk selamat. Mari kita berdoa semoga semua saudara kita yang tewas, semua warga yang terkena musibah ini, diterima layak di sisi Allah dan semuanya menjadi syuhada, sahid lalu dimasukkan Allah ke surga. Aamiin!" doa Kyai, berusaha membimbingku, agar ikhlas menerima kenyataan ini.
"Saya berbohong besar apabila saya mengatakan bahwa saya tidak sedih atas hilangnya istri dan empat anak saya dalam peristiwa ini. Saya sangat bersedih dan sangat berduka, tapi semuanya itu kita kembalikan kepada Allah, Allah Yang Agung dan Maha Besar, Allah yang menginginkan hal ini terjadi dengan maksud-maksud tersembunyi yang kita tidak tahu maknanya sekarang. mari kita tidak bersu'uzon, berprasangka baik saja kepada Allah dan kita makin meningkatkan sikap berserah diri yang makin besar kepada-Nya", desis Haji Sarkowi, beberapa hari setelah musibah, saat kami mencari-cari keluarga di antara ratusan jenazah yang berserakan di Banda Aceh.
Batinku sangat mengagumi sosok Haji Sarkowi. Dia seorang yang sangat ikhlas dan senantiasa tawakal kepada Allah, padahal semua keluarganya ditenggelamkan oleh kekuatan tertentu, yang hingga detik itu tidak satupun ditemukan jasad mereka. Haji Sarkowi tetap tenang, kalem dan nyaman saja menjalani ibadah. Mulutnya selalu berdzikir, selalu mengucapkan asma Allah dan doa-doa untuk seluruh korban musibah Tsunami yang maha dahsyat itu.
Sedangkan aku, aku langsung berhenti sholat. Aku tidak mau makan dan tidak mau ibadah lagi. Aku merasakan kejadian ini begitu jahat, peristiwa itu begitu kejam dan menyakitkan. Untuk itu aku menjadi dendam, benci, murka kepada keadaan. Adik bungsuku yang masih sangat kecil, berumur 4 tahun masih duduk di taman kanak-kanak kelas nol kecil, dihabisi ombak, hanyut secara sadis. Kekejaman Tsunami membuat aku berang yang teramat sangat karena adik kecilku yang belum berdosapun disapu air laut dan raib entah kemana.
"Haji Sarkowi boleh bersifat ikhlas seperti itu, tapi aku tidak. Bencana ini terlalu sadis, kejam dan tidak pantas dirasakan oleh wanita lemah yang masih belia seperti aku", bentakku, kepada Haji Sarkowi, haji yang terlalu banyak memberi nasehat sementara nasehatnya itu tidak dapat aku terima dengan akal sehat.
"Harusnya kau bersyukur, karena kau telah diselamatkan oleh malaikat dan aku telah melihat malaikat yang membantumu itu, Winda. Tidak banyak orang yang ditolong langsung oleh malaikat dan malaikat itu menampakkan diri secara nyata. Dengan begitu, artinya Winda diselamatkan oleh Allah dan menjadi pilihan khusus unutk diselamatkan. Allah pasti punya maksud tertentu sehingga Winda diselamatkan. Winda adalah orang hebat dan kelak akan menjadi orang besar", ungkap Haji Sarkowi.
Mengerikan. Mayat berserakan dimana-mana dan bau tidak sedap menyengat hidung. Tim penolong dari Indonesia dan luar negeri banyak turun tangan membantu mengumpulkan mayat. Tiga ratus ribu lebih orang mati di Aceh. Nyaris tanpa henti selama berhari-hari aku mencari keluargaku. Pikirku, kalau tidak dalam keadaan hidup, mungkin aku akan menemukan mereka dalam keadaan wafat.
Aku meminta jasa 'orang pintar' semacam paranormal untuk menemukan ayah, ibu, adik dan kakaku. Namun usaha itu tetap gagal dan aku tidak menemukan mereka. Aku mendatangi radio, koran dan televisi meminta bantuan mencarikan keluargaku. Kuberikan foto-foto mereka yang dapat aku temukan di bekas reruntuhan rumah kami. Aku mengumpulkan barang-barang yang tersisa, yang mungkin dapat aku kumpulkan. Aku menangis lagi saat aku menemukan baju-baju Artha, adik bungsuku yang biasa dipakainya saat bermain. Begitu juga saat aku menemukan baju-baju ibuku, ayah dan kakak-kakakku.
Pada peristiwa Tsunami itu, kami sekeluarga berkumpul di depan rumah. Kami baru saja tersentak oleh gempa yang berkekuatan besar. Karena gempa maha dahsyat itu, maka ibuku memerintahkan kami diam di depan rumah. Bila kami masuk ke dalam, dikuatirkan oleh ibuku akan ada gempa susulan yang sangat berbahaya bagi nyawa kami.
Namun apa yang terjadi setelah perintah itu. Dalam beebrapa menit setelah gempa, ternyata air laut bergelora, naik setinggi 10 meter dan menerjang Banda Aceh. Semua orang terbawa arus, hanyut, terhempas dan terbanting hingga sebagian meninggal dunia seketika. Kini, rasanya aku yang terselamatkan, menjadi sebatang kara, menjadi seorang diri setelah kehilangan seluruh keluarga yang kucintai.
Belakangan aku merasa hampa, kesepian dan sunyi menjalani kehidupan. Aku hidup di penampungan, di teda-tenda dan memakan makanan seadanya pemberian relawan. Nafsu dan selera makanku hilang secara total, tidak ada satupun makanan maupun minuman yang nikmat di lidahku. Semuanya terasa hambar, anta dan sia-sia. Aku melakukan itu secara paksa agar aku dapat tetap berdiri dan bertahan hidup.
Beberapa bulan di penampungan, diam-diam aku meninggalkan barak dan naik bis ke Medan. Sesampainya di medan, aku pergi ke Pelabuhan Belawan dan naik kapal ke Jakarta. Ongkos perjalanan itu aku dapatkan dari bantuan seorang donatur Amerika Serikat yang berada di barak. Dia memberikan aku uang seribu dolar dan uang itu aku gunakan untuk pergi. Donatur bernama Andy William bisa memahami keputusanku. Dia turut berdoa agar aku dapat melupakan kesedihan itu dan dapat sukses di perantauan.
Di dalam kapal selama perjalanan berhari-hari dari Medan menuju Jakarta, aku berkenalan dengan seorang nenek-nenek berumur 80 tahun. Nenek-nenek itu aku panggil Eyang Putri, melakukan perjalanan bersama cucunya dari Belawan menuju Bangka. Walau tidak bertanya kepadaku, tapi Eyang Putri itu tahu apa yang terjadi terhadap keluargaku. "Eyang ikut berkabung, turut berduka dan turut berbelasungkawa atas hilangnya satu keluargamu. Tapi, adik bungsumu, masih hidup, dia selamat dan hanya menderita luka-luka sedikit. Sekarang adikmu itu terbawa arus laut ke Pulau Weh, carilah ke sana!" uangkap Eyang Putri menerawang.
Si Cucu, Endang Haryati, menceritakan bahwa neneknya itu mempunyai kemampuan lebih. Sejak kecil si nenek punya ilmu sakti mandraguna. Bahkan pada waktu-waktu tertentu si nenek mampu terbang, bisa ke Medan dari Bangka tanpa menaiku kapal, tapi terbang di angkasa gelap malam hari.
Mendengar keterangan ini aku sangat tertarik dan aku meminta kepada Si Nenek untuk belajar ilmu yang dimilikinya. Eyang Putri ternyata langsung tertarik saat aku mau belajar dengannya. "Bila kau sungguh-sungguh, kau bisa menguasai ilmu ini selama 40 hari. Kau tinggal di rumah Eyang di Pangkalpinang dan setelah itu, temukan adikmu di Pulau Weh. Kau tidak usah naik kapal lagi, tapi terbanglah ke sana. Tidak ada satupun anak atatu cucu Eyang, yang Eyang beri ilmu itu. Eyang menurunkan ilmu ini hanya kepada orang yang punya kemampuan lebih. Kamu, punya kelebihan itu, karena kamu disayang Malaikat dan Malaikat itu yang menyelamatkanmu saat diterjang Tsunami 24 Desember lalu", ungkap Eyang.
Rencana ke Jakarta pun, kontan aku batalkan. Saat kapal sandar di Bangka, aku langsung turun, bersama Eyang Putri dan Endang ke rumah mereka. Selama empat puluh hari aku ditempa Eyang, belajar ilmu-ilmu linuwih, mengobati orang sakit dan ilmu terbang. Lain dari itu, aku diajari juga melihat sesuatu yang bakal terjadi di depan, meramal dengan jitu dan ilmu teleportasi. Yang paling hebat, aku dapatkan pula ilmu berdialog dengan arwah. Arwah bisa aku bangkitkan, dipanggil dan aku bisa berbicara dengan arwah itu. Hal itu telah teruji selama aku dibina, dibimbing oleh Eyang Putri.
Setelah empat puluh hari diasuh Eyang Putri, aku diberi ijazah. Aku diritual pelepasan di Selat Bangka dan malam itu aku diperkenankan terbang latihan langsung di atas Selat Bangka. Dari Pangkalpinang, aku terbang ke Muntok lalu terbang ke Sungsang lalu ke atas Kota Palembang, Sumatera Selatan.
Pada pukul 21.00 malam, 23 Desember 2005 aku diantar Eyang Putri dan Endang. Aku terbang dari depan rumah Eyang Putri langsung menuju Aceh dan turun di Pulau Weh. Alhamdulillah, dengan kasatmata, aku melihat sosok Artha adikku di sebuah rumah gubuk nelayan Kampung Sengon, di pinggir Pulau Weh. Kecepatan terbang yang luar biasa, hampir menyamai kecepatan pesawat. Itulah gaib, sesuatu yang tidak pernah terjangkau oleh akal sehat dan hal itu ada, terjadi karena aku sendiri yang mengalami. Kecepatan terbangku 250 kilometer per-jam. Untuk itulah, pagi-pagi subuh, aku sudah turun di Pulau Weh dan sandar di depan rumah nelayan yang menampung Artha, adik bungsuku yang kala itu berumur empat tahun.
Artha masih tidur saat aku memasuki rumah nelayan itu. Si Nelayan mengangkat Artha sebagai anaknya dan nelayan itu tidak pernah melaporkan penemuannya ats korban Tsunami yang ditemukannya. Arkian, maka aku pun tidak menemukan adik kandungku itu.
Walau aku berada di dalam rumah, tapi nelayan yang baru saja sholat subuh itu tidak melihat sosokku. Begitu juga dengan istrinya yang menyiapkan makanan pagi. Aku memakai jimat batu titipan Eyang Putri dan jimat itulah yang membuat aku tidak terlihat oleh siapapun. "Bila kau lepas jimat itu, kau simpan di dalam tanah, maka sosokmu akan terlihat dan keadaan fisikmu akan normal dapat dipandang oleh siapapun!" pesan Eyang Putri, sebelum aku meninggalkan Bangka.
Saat jimat aku simpan di dalam tanah depan rumah nelayan itu, aku pun mengucapkan salam. Mereka tersentak bahwa aku adalah kakak kandung dari Artha dan aku berniat secara baik-baik mengambil adikku itu. Nelayan yang sudah menikah 10 tahun tapi tidak punya anak itu, sangat terpukul dan terlihat terguncang. Mereka terlanjur cinta dan sayang kepada Artha, adikku itu. Mereka menemukan adikku itu terapung-apung di laut Pulau Weh di atas selembar kayu. Artha ditemukan di dalam keadaan terluka parah dan pingsan total. Lalu mereka mengobati Artha dan mengangkatnya sebagai anak.
"Artha itu sangat kami sayangi dan dia benar-benar menjadi buah kebahagiaan kami, Dik!" kata sang Nelayan, yang belakangan ku ketahui bernama Kosim dan Maumunah, istrinya. "Pada saat dia tersadar dan sembuh kami bertanya siapa namanya dan dia menyebut namanya Artha. Kami pun, tidak merubah namanya dan namanya tetap Artha, tapi kami menambahkan nama lengkap yang kami buat, jadi Aryani WUlandari", tambah Kosim.
Keharuan segera terjadi saat Artha terbangun. Adikku itu memeluk aku dengan erat dan kami pun berpelukan erat sambil mengangis berdua. Kosim dan Maimunah pun ikut terhanyut dan mereka pun menangis haru.
Karena kasihan kepada sepasang keluarga tanpa anak itu, maka aku memilih tinggal dengan mereka. Hal itu kami setujui bersama agar Artha tetap bersama mereka. Artha pun sangat senang dengan keputusan ini, karena dia sudah betah bersama orangtua angkatnya itu dan sangat berbahagia bersama mereka. Kini aku menjadi nelayan Pulau Weh dan hidup sederhana di Kampung Sengon. Kami sudah seperti satu keluarga, yang aku rasakan sebagai pengganti orangtuaku yang lenyap bersama Tsunami yang megadahsyat di Aceh itu.
Alhamdulillah, aku sudah kembali ke jalan Allah dan tidak pernah lagi su'uzon kepadaNya. Kuasa Tuhan, sifat rahman dan rahim Nya, telah aku rasakan ketika aku bertemu dengan Eyang Putri yang mengajarkan ilmu kesaktian kepadaku. Semua itu kuyakini jalan Allah, jalan Malaikat suruhan Allah yang dengan kasih-Nya, telah menyelamatkanku dair musibah dan bencana besar kiamat sugro, 24 Desember 2004 itu. Sesekali, aku dan Artha memanggil arwah ibu, arwah ayah dan kakak-kakak yang wagat dalam tragedi Tsunami itu. Walau tidak sering, bebreapa kali kami berdialog dengan arwah orang-orang tercinta, bila kami sudah sangat rindu berat. Lebih dari itu, kini aku tidak trauma dan tidak fobia lagi terhadap laut. Bahkan aku mencari nafkah justru dari luasnya air laut Selat Malaka.
Kisah ini dialami oleh Winda Susilowati, Tia Aweni D. Pramitha menulis cerita itu untuk Kita semua.
Paramitha, Tia Aweni D. 2012. Majalah Misteri Edisi 527. Jakarta: Yayasan Sinar Berdiri Jaya.